Saturday, March 17, 2018

Renungan Pagi 18 Maret 2018


Renungan Pagi “POTRET KASIH ALLAH”
18 Maret 2018

Terbebas dari Kesalahan

“Kata raja kepadanya: ‘Perbuatlah seperti yang dikatakannya; pancunglah dia dan kuburkanlah dia; dengan demikian engkau menjauhkan dari padaku dan dari pada kaumku noda darah yang ditumpahkan Yoab dengan tidak beralasan’” (1 Raja-raja 2:31).

Segera setelah naik takhta, Raja Salomo mulai membangun basis pendukungnya. Salah satu panglima andalan Daud adalah Yoab, tapi waktu memadamkan pemberontakan Absalom ia tidak mengindahkan perintah Daud dan melakukan pembunuhan atas Absalom.


Salomo memutuskan inilah saatnya membereskan utang darah yang dimiliki Yoab. Lalu Salomo memerintahkan Benaya, tangan kanannya, untuk membunuh Yoab, yang melarikan diri dan berlindung di kemah suci sambil berpegang erat-erat pada mezbah. Tetapi sikap ini tidak menyelamatkannya. Salomo menyuruh Benaya masuk ke dalam kemah TUHAN untuk “menjauhkan dari padaku dan dari pada kaumku noda darah yang ditumpahkan Yoab dengan tidak beralasan. Dan TUHAN akan menanggungkan darahnya kepadanya sendiri, karena ia telah membunuh dua orang yang lebih benar dan lebih baik dari padanya” (1 Raj. 2:31, 32).

Di dalam Alkitab kita sudah sejak awal berkenalan dengan balas dendam berdarah seperti itu. Dalam Kejadian 4 kita membaca kisah pembalasan Lamekh, “Berkatalah Lamekh kepada kedua istrinya itu: ‘Ada dan Zila, dengarkanlah suaraku: hai isteri-isteri Lamekh, pasanglah telingamu kepada perkataanku ini: Aku telah membunuh seorang laki-laki karena ia melukai aku, membunuh seorang muda karena ia memukul aku sampai bengkak; sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat. Maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat’” (ay. 23, 24).

Cara untuk membuat impas utang darah seperti itu masih berlaku hingga kini di belahan dunia tertentu. Anggota kelompok dari orang yang menderita dianggap bertanggung jawab untuk membawa “kedamaian” dengan cara membalaskan dendam kepada orang (dan keluarga) pelaku. Di sinilah kesalahan diperbaiki, dan penebusan dosa dilakukan, dan pengampunan diperoleh. Prinsip yang sama mendasari filosofi di balik persembahan hewan korban. Semburan darah hewan korban dipandang sebagai penebusan.

Dalam masyarakat sipil di Barat, kesalahan antar pribadi dapat diselesaikan secara psikologis, misalnya dengan cara memaafkan tanpa perlu membalas. Kita telah mendengar kisah-kisah tentang orang-orang berjiwa besar yang memaafkan—betapapun dalamnya sakit yang telah ditimbulkan oleh—pejabat yang menyakiti mereka. Seperti halnya balas dendam memakan korban, demikian pula memaafkan tak mudah dilakukan. Tetapi tentu saja, yang terakhir itu adalah perbuatan sangat terpuji.

Renungan Pagi 17 Maret 2018

Renungan Pagi "POTRET KASIH ALLAH"
17 Maret 2018

Rencana Sang Nabi

“Lalu berkatalah Natan kepada Betsyeba, ibu Salomo: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Adonia anak Hanit, telah menjadi raja, sedang tuan kita Daud tidak mengetahuinya? Karena itu, baiklah kuberi nasihat kepadamu, supaya engkau dapat menyelamatkan nyawamu dan nyawa anakmu Salomo”’ (1 Raja-raja 1:11, 12).

Daud berusia 70 tahun dan lemah. Anak tertuanya, setelah kematian Absalom, adalah Adonia. Tidak seperti saudara tirinya, Adonia bukan pemberontak. Ia hanya berharap dapat naik taktha setelah ayahnya meninggal. Ia tidak memproklamasikan diri sebagai raja, hanya dengan bangga berkata kepada para pendukungnya, “Aku ini mau menjadi raja” (1 Raj. 1:5).

Natan, nabi penasihat Daud, berniat mengubah keadaan. Ia bercerita kepada Betsyeba tentang perilaku Adonia, dengan bumbu di sana-sini yang tak pasti kebenarannya. Ia mendesak Betsyebah untuk memberitahu Daud tentang apa yang sedang dilakukan Adonia. Bahkan Natan mengajari kata-kata apa yang harus disampaikannya kepada Daud untuk membangkitkan amarah raja tua itu. Besyeba juga di suruh mengingatkan raja yang sudah lemah itu akan janjinya untuk mendudukkan Salomo di taktha kerajaan – hal yang meragukan karena janji tersebut tak tercatat di dalam Alkitab.

Ketika Besyeba datang ke hadapan Daud. Natan pun muncul untuk mendukung ceritanya. Ia memilih kata-katanya  dengan hati-hati, membuat seolah-olah Adonia telah menyatakan diri sebagai raja, seperti yang dilakukan oleh Absalom. Natan menambahkan bahwa orang banyak telah bersumpah setia kepada Adonia dengan mengatakan, “Hidup raja Adonia” (ay.25) . ia membingkai kata-katanya sedemikian rupa seolah-olah Daud telah merestui tindakan anaknya itu.

Sebagai akibat dari tuduhan Betsyeba dan Natan, Daud mengumpulkan sisa tenaganya untuk mengumpulkan para pendukungnya dan menobatkan Salomo sebagai raja pada hari itu juga – bahkan di saat itu juga. Zadok, sang imam, dan Natan sang nabi, melakukan pengurapan Salomo sebagai raja dan mengumumkan, “Hidup Raja Salomo” (ay. 34). Dan ketika Adonia dan pendukungnya mendengar tentang perayaan di Yerusalem itu, kegembiraan mereka pun langsung menguap.

Banyak yang mengkritik sikap Natan yang terlalu mencampuri urusan Negara. Jabatan nabi dan politik, menurut mereka, tak bisa dicampuradukkan. Mungkin kini mereka lupa bahwa sepanjang sejarah kerajaan Israel, Allah memiliki juru bicara yang selalu terlibat dalam urusan politik. Mereka menegur raja-raja yang tidak adil, dan berpihak kepada mereka yang tertindas secara politis. Sikap mereka adalah, jika boleh dikatakan, semacam sebuah pekabaran Injil sosial! Allah memperhatikan kaum yang tersingkirkan.