Renungan Pagi “POTRET KASIH ALLAH”
18 Maret 2018
Terbebas
dari Kesalahan
“Kata raja kepadanya: ‘Perbuatlah seperti
yang dikatakannya; pancunglah dia dan kuburkanlah dia; dengan demikian engkau
menjauhkan dari padaku dan dari pada kaumku noda darah yang ditumpahkan Yoab
dengan tidak beralasan’” (1 Raja-raja 2:31).
Segera setelah naik takhta, Raja Salomo mulai
membangun basis pendukungnya. Salah satu panglima andalan Daud adalah Yoab,
tapi waktu memadamkan pemberontakan Absalom ia tidak mengindahkan perintah Daud
dan melakukan pembunuhan atas Absalom.
Salomo
memutuskan inilah saatnya membereskan utang darah yang dimiliki Yoab. Lalu Salomo
memerintahkan Benaya, tangan kanannya, untuk membunuh Yoab, yang melarikan diri
dan berlindung di kemah suci sambil berpegang erat-erat pada mezbah. Tetapi sikap
ini tidak menyelamatkannya. Salomo menyuruh Benaya masuk ke dalam kemah TUHAN
untuk “menjauhkan dari padaku dan dari pada kaumku noda darah yang ditumpahkan
Yoab dengan tidak beralasan. Dan TUHAN akan menanggungkan darahnya kepadanya
sendiri, karena ia telah membunuh dua orang yang lebih benar dan lebih baik
dari padanya” (1 Raj. 2:31, 32).
Di
dalam Alkitab kita sudah sejak awal berkenalan dengan balas dendam berdarah
seperti itu. Dalam Kejadian 4 kita membaca kisah pembalasan Lamekh, “Berkatalah
Lamekh kepada kedua istrinya itu: ‘Ada dan Zila, dengarkanlah suaraku: hai
isteri-isteri Lamekh, pasanglah telingamu kepada perkataanku ini: Aku telah
membunuh seorang laki-laki karena ia melukai aku, membunuh seorang muda karena
ia memukul aku sampai bengkak; sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali
lipat. Maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat’” (ay. 23, 24).
Cara
untuk membuat impas utang darah seperti itu masih berlaku hingga kini di
belahan dunia tertentu. Anggota kelompok dari orang yang menderita dianggap
bertanggung jawab untuk membawa “kedamaian” dengan cara membalaskan dendam
kepada orang (dan keluarga) pelaku. Di sinilah kesalahan diperbaiki, dan
penebusan dosa dilakukan, dan pengampunan diperoleh. Prinsip yang sama
mendasari filosofi di balik persembahan hewan korban. Semburan darah hewan
korban dipandang sebagai penebusan.
Dalam
masyarakat sipil di Barat, kesalahan antar pribadi dapat diselesaikan secara
psikologis, misalnya dengan cara memaafkan tanpa perlu membalas. Kita telah
mendengar kisah-kisah tentang orang-orang berjiwa besar yang memaafkan—betapapun
dalamnya sakit yang telah ditimbulkan oleh—pejabat yang menyakiti mereka. Seperti
halnya balas dendam memakan korban, demikian pula memaafkan tak mudah
dilakukan. Tetapi tentu saja, yang terakhir itu adalah perbuatan sangat
terpuji.