Friday, June 1, 2018

Renungan Pagi 1 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
1 Juni 2018

Tanda Sabat
Berbahagialah orang yang melakukannya, dan anak manusia yang berpegang kepadanya: yang memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya” (Yesaya 46:2).
Di sepanjang Alkitab kita telah menjumpai sejumlah Upacara Bahagia, yaitu ayat-ayat yang biasanya diterjemahkan dengan “Berbahagialah...” Ayat kita hari ini adalah satu diantaranya—sebuah ucapan berkat bagi mereka yang memelihara hari Sabat.
Sepantasnyalah bagi orang Israel untuk memelihara hari Sabat, karena bagi mereka Sabat adalah peringatan akan kuasa penciptaan dan penebusan Allah. Tetapi kitab Yesaya menggambarkan pemelihara Sabat lainnya. Yesaya 56 berharap bahwa “orang asing” pun akan “menggabungkan diri kepada TUHAN untuk melayani Dia…dan untuk… memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya, dan yang berpegang kepada perjanjian-Ku” (ay.6). Dari ayat-ayat lain di Perjanjian Lama ditemukan bahwa orang-orang bukan-Israel, memandang diri mereka sebagai orang luar yang “tidak layak.” Di sinilah pintu terbuka bagi mereka untuk melayani TUHAN dan merayakan Sabat bersama dengan orang Yahudi. Sebagai tambahan, ayat 6 mengatakan bahwa (yang sebelumnya) orang luar ini akan menjadi pelayan-pelayan Allah, sebuah istilah yang merujuk pada kelompok imam. Dan Allah menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa “dari antara segala bangsa… akan Kuambil imam-imam” (Yes.66:20,21).
Senada dengan itu, Allah mengatakan bahwa orang-orang kebiri, yang nyata-nyata tidak memiliki keturunan dan karenanya tidak memperoleh berkat, akan “memelihara hari-hari Sabat-Ku dan…berpegang kepada perjanjian-Ku” (Yes.56:4). Allah mengatakan bahwa kepada jiwa-jiwa yang malang ini, yang didiskriminasi dalam Pentateukh, “Akan Kuberikan dalam rumah-Ku dan di lingkungan tembok-tembok kediaman-Ku suatu tanda peringatan dan nama—itu lebih baik dari pada anak-anak lelaki dan perempuan—, suatu nama abadi yang tidak akan lenyap akan Kuberikan kepada mereka (ay.5).
Menjadi jelas kiranya dalam ayat-ayat Alkitab tersebut bahwa sesuatu telah berubah—dengan drastis. Jika sebelumnya di dalam Pentateukh tanda istimewa sebagai bagian dari umat perjanjian adalah sunat, sekarang menjadi pemelihara Sabat. Hak istimewa perjanjian telah diperluas. Perjanjian telah menjadi inklusif, tidak lagi eksklusif.
TUHAN menghendaki “untuk mengumpulkan segala bangsa dari semua bahasa” (Yes.66:18) dari Tarsis, Libia, Lidia, Tubal, dan Yunani. Mereka akan tiba di Yerusalem “di atas kuda dan kereta dan di atas usungan, di atas bagal dan unta betina yang cepat” (ay.20). “Aku akan berkenan kepada korban-korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbah-Ku, sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa” (Yes.56:7).

Renungan Pagi 31 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
31 Mei 2018

Allah Ialah Ibu
Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melakukannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yesaya 49:15).
Selama berabad-abad umat Allah memiliki berbagai kesempatan untuk mencurigai bahwa TUHAN telah melupakan mereka. Selama mereka tinggal di Mesir—atas perintah Yusuf—mereka menderita sebagai budak Firaun. Pada masa hakim-hakim, berkali-kali orang Filistin menindas mereka. Di zaman kerajaan, kesulitan datang dari segala sudut—dari tetangga Kanaan mereka, dari bangsa Mesir, dari bangsa Asyur, dan dari bangsa Babel. Selain itu, teguran dan peringatan keras dari Allah telah mengantarkan dugaan bahwa Allah telah meninggalkan mereka.
Tidak mengherankan ketika ”Sion berkata: ‘TUHAN telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku’” (Yes.49:14).
Allah menjawab pikiran negatif mereka dengan membandingkan diri-Nya dengan seorang ibu. “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehinga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau (ay.15).
Setiap bulan Mei, orang-orang di pelbagai bangsa merayakan kasih ibu. Lebih dari 150 juta lembar kartu Hari Ibu dibeli setiap tahun di Amerika Serikat. Kartu-kartu itu berisikan kata-kata sanjungan yang indah tentang tinggi dan dalam serta lebarnya kasih seorang Ibu. Sungguh menyenangkan bisa menghargai kasih setia mereka. Namun, Allah mengatakan bahwa dapat saja terjadi hal yang tak terbayangkan—seorang ibu melupakan bayinya. Kendati demikian, kasih Allah kekal selamanya.
Masih ada lagi mengenai potret kasih Allah sebagai seorang ibu yang mengasihi ini. Musa mempelajari bahwa Allah itu penuh kasih sayang (Ul.30:3). Dan pemazmur menulis bahwa Allah “itu pengasih dan penyayang” (Mzm.111:4). Kita menerima pernyataan itu begitu saja; tentu TUHAN itu mengasihi umat-Nya. Apa yang kebanyakan kita tidak menyadarinya adalah bahwa kata Ibrani yang diterjemahkan “kasih” dan “sayang” itu memiliki arti “rahim.” Itu adalah akar kata yang sama untuk kata “menyayangi” dalam ayat hari ini. Seperti halnya seorang ibu yang membawa bayinya selama sembilan bulan di rahimnya hingga terbentuk ikatan yang kuat di antara mereka, demikianlah Allah membawa umat-Nya di dalam “rahim-Nya.” Hati-Nya mendambakan “anak-anak”-Nya.
Ya, kasih Allah lebih dalam daripada, bahkan kasih yang kita peringati di Hari Ibu.

Tuesday, May 29, 2018

Renungan Pagi 30 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
30 Mei 2018

Allah Ialah Pencipta
Tetapi sekarang, beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: ‘Janganlah takut…engkau ini kepunyaan-Ku’” (Yesaya 43:1).
Salah satu tema yang banyak dijumpai di sepanjang Alkitab adalah konsep penciptaan. Dimulai dari ayat pertama Alkitab Ibrani, Allah digambarkan sebagai Pencipta, julukan yang diberikan bahkan oleh para teolog liberal. Tema ini tidak berubah hingga zaman Yesaya. Terkandung di dalam pesan-pesan sang nabi suatu pernyataan tegas tentang kuasa penciptaan dari Allah.
Berikut ini hanya sebuah contoh: “Ya TUHAN semesta alam, … Hanya Engkau sendirilah Allah … Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi” (Yes.37:16). “TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi” (Yes.40:28). “Akulah TUHAN…yang menciptakan Israel” (Yes.43:15). Aku telah membentuk engkau” (Yes.44:21). “Akulah TUHAN, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi—siapakah yang mendampingi Aku?” (ay.24). “Beginilah firman TUHAN, Yang Mahakudus, Allah dan Pembentuk Israel… Akulah yang menjadikan bumi dan yang menciptakan manusia di atasnya; tangan-Kulah yang membentangkan langit, dan Akulah yang memberi perintah kepada seluruh tentaranya” (Yes.45:11,12). “Sebab beginilah firman TUHAN, yang menciptakan langit,—Dialah Allah—yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang menegakkannya,—dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong, tetapi Ia membentuknya untuk didiami” (ay.18).
Perhatikan bahwa kuasa penciptaan dari Allah dinyatakan dengan dua cara: (1) dalam penciptaan bumi dan (2) dalam penciptaan umat-Nya, Israel. Pesan-pesan Yesaya secara bergantian merujuk kepada dua penciptaan ini. Keduanya datang dari tangan Allah yang satu dan sama—TUHAN. Dalam kenyataannya, keduanya nyaris merupakan satu pertunjukan kreativitas Allah. TUHAN menciptakan Planet Bumi, dan Ia menghendaki agar planet ini berpenghuni. Untuk itu, Ia membentuk Israel, dan mempercayakan kepada mereka suatu daerah, Tanah Perjanjian. Bangsa Israel bertindak sebagai petani penyewa, sedangkan Allah sebagai pemilik tanah, dan ketika mereka menjualnya untuk menyambung hidup, Ia akan menjadi goel dan menebus tanah itu bagi mereka, seperti yang kita catat dalam renungan kemarin.
Hari ini kita membaca ayat Alkitab tentang Penciptaan seperti pembaca sebuah buku geologi. Kita menggali penjelasan dan petunjuk tentang umur bumi. Kita mencoba memeras informasi tentang bagaimana dan bilamana ia terbentuk. Pokok utama dari semua ini, bagaimanapun, adalah sebuah pernyataan kuasa penciptaan dari Allah dengan sebuah tujuan besar—membentuk sebuah bangsa. Untuk itulah, Ia berhak memanggil mereka “umat-Ku.” Dan hari Sabat mengabadikan hal itu.

Monday, May 28, 2018

Renungan Pagi 29 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
29 Mei 2018

Allah Ialah Penebus
Janganlah takut, hai si cacing Yakub, hai si ulat Israel! Akulah yang menolong engkau, demikianlah firmkan TUHAN, dan yang menebus engkau ialah Yang Mahakudus, Allah Israel” (Yesaya 41:14).
Kembali ke zaman Musa, kata benda Ibrani goel sungguh meragukan. Ia diturunkan dari kata kerja yang berarti “membeli kembali.” Kondisi ekonomi seseorang di Timur Dekat kuno sangat tidak mapan. Ekonomi yang tidak berdasarkan uang tetapi hasil bumi termasuk berkebun dan bertani, membuat kesejahteraan finansial tidak menentu. Pinjam meminjam menjadi hal yang umum, dan banyak orang yang selalu menjadi pihak berutang. Petani seringkali menjaminkan jubah atau tanahnya untuk mendapatkan pinjaman. Jika peminjam tidak dapat membayar utang mereka, maka pemilik uang dapat menyita tanah mereka dan/atau menjebloskan mereka ke dalam penjara, di mana mereka akan disiksa sampai mereka menyanggupi untuk membayar. Beberapa petani yang putus asa bahkan menjual anak-anak atau diri mereka sendiri sebagai budak untuk memenuhi kewajiban finansial mereka.
Para janda bahkan terperangkap dalam situasi yang lebih buruk, apalagi jika suami mereka meninggalkan tanpa memiliki anak. Tanpa anak yang dapat membantu pekerjaan rumah, berladang, atau menggembala ternak, para janda niscaya terjerat dalam kemiskinan. Malangnya, selalu saja ada bajingan tengik yang mengintai dan siap mengambil keuntungan dari janda-janda miskin tersebut.
Kelegaan, akhirnya, datang melalui kerabat pria terdekat, yang di sebut goel, biasanya diterjemahkan menjadi “penebus.” “pembalas,” “sanak,” atau “penuntut balas.” Peran dari goel ini adalah untuk menyelamatkan kerabat yang miskin dan tertindas. Pembebasan biasanya datang dalam beberapa cara: (1) menuntut balas darah (kematian) dari kerabat yang dibunuh dengan memenuhi lex talionis, yang mensyaratkan “nyawa ganti nyawa”, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki” (Kel.21:23,24); (2) membeli kembali rumah yang telah hilang dan mengembalikannya ke pemilik semula (Im.25:25); (3) menebus kerabat miskin yang terlanjur menjual diri mereka dalam perbudakan (ay.48); atau (4) menjadi seorang levir, dengan membuahi ipar yang telah menjadi janda tanpa anak, dan dengan demikian memberikan seorang anak untuk saudara lelakinya yang telah meninggal (Ul.25:5) dst.).
Di dalam kitab Rut, Boas kerabat dekat Naomi, menjalankan dua fungsi goel. Ia membeli kembai tanah yang telah dijual, dan mengawini Rut, janda yang tidak memiliki anak (Rut.4). Yeremia juga menjalankan fungsi goel. Tapi yang paling menakjubkan adalah di dalam ayat hari ini, Allah dikatakan menjadi goel bagi umat-Nya. Dan Ia menjadi Penebus (goel) kita, juga.

Sunday, May 27, 2018

Renungan Pagi 28 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
28 Mei 2018

Hati yang Terluka
Hatiku menjerit melihat keadan Moab” (Yesaya 16:11).
Orang-orang di tanah Moab dapat menelusuri garis keturunan nenek moyang mereka hingga ke Lot, keponakan Abraham. Setelah penghancuran Sodom, Anda kembali ingat, Lot dan dua anak perempuannya tinggal di sebuah gua yang menghadap ke Laut Mati. Karena tidak ada calon suami yang lain di daerah terpencil itu, mereka lalu membuat mabuk Lot dan mengandung anak darinya. Si sulung menamai anaknya Moab, leluhur suku bangsa Moab, yang terus tinggal di daerah terpencil itu.
Para sepupu bangsa Israel ini tidak selalu bersikap ramah. Musa berniat mengajak bangsa Israel melewati daerah bangsa Moab setelah keluar dari Mesir, tetapi penguasa Moab menolak permintaan itu. Belakangan Balak, raja Moab, mengupah Bileam untuk mengutuk bangsa Israel. Puncaknya, bangsa Moab menarik sepupu mereka menuju kemurtadan. (Kamos adalah dewa utama bangsa Moab.) hubungan antara bangsa Moab dan bangsa Israel berlanjut naik turun. Persahabatan jarang mewarnai hubungan kedua bangsa tersebut.
Allah memberi ramalan malapetaka melalui Yesaya untuk bangsa Moab yang angkuh dan terlalu percaya diri itu (Yes.16:6). Bangsa Moab pun mengalami masa-masa sulitnya. “Rumput sudah kering… tidak ada lagi tumbuh-tumbuhan hijau” (Yes.15:6). Bangsa itu pun berpencaran melarikan diri, meninggalkan tanah air mereka (Yes.5:8). “Seperti…isi sarang yang diusir, demikianlah anak-anak perempuan Moab” (Yes.16;2).
Meskipun bangsa Yehuda menyadari bahwa sepupu mereka sedang berada di ladang mereka, Allah menyuruh mereka untuk melakukan apa yang beberapa abad lalu ditolak oleh bangsa Moab—membiarkan mereka lewat dan memberikan bantuan. “Sembunyikanlah orang-orang yang terbuang, janganlah khianati orang-orang pelarian! Biarlah orang-orang terbuang dari Moab menumpang padamu, jadilah tempat persembunyian baginya terhadap si pembinasa!” (ay.3,4).
Penghakiman atas Moab tidak boleh disambut dengan sorak-sorai. “Sebab itu biarlah orang Moab meratap, seorang karena yang lain, biarlah sekaliannya meratap” (ay.7). Selama masa penuh terror itu “orang-orang bersenjata di Moab berseru-seru, jiwanyapun gemetar” (Yes.15:4), tetapi mereka sendirian dalam kegentaran. Allah turut pedih melihat penderitaan mereka, dan bersama mereka turut gemetar, meski mereka bukan bangsa pilihan-Nya. “Aku berteriak karena Moab” (Yes.16:11).
Begitulah cara Allah berhubungan dengan penderitaan manusia. “Dalam segala kesesakan mereka… Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka” (Yes.63:9). Terlepas dari alasan penderitaan kita, Allah turut menderita bersama kita. Ia terluka tatkala kita terluka.

Renungan Pagi 27 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
27 Mei 2018

Imanuel
Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel” (Yesaya 7:14).
Ahas, raja Yehuda yang berusia 21 tahun, takut kehilangan nyawanya—dan bukan tanpa alasan. Rezin, raja Aram, dan Pekah, raja Israel, telah membentuk raksasa yang dahsyat untuk menyerang Asyur. Malangnya (bagi mereka dan belakangan bagi Yehuda), raja Ahas menolak bergabung dengan mereka dan meminta pertolongan raja Asyur Tiglat-Pileser III. Sebagai akibatnya, raja Rezin dan Pekah menyerang wilayah kerajaan Yehuda dan bahkan mengepung Yerusalem, ibukota Ahas. Tujuan mereka adalah untuk membunuh Ahas, sekaligus mengakhiri keturunan Daud, dan mengangkat raja boneka, anak Tabeel (Yes.7:6).
Masuklah nabi Yesaya. Namanya (yang berarti “TUHAN akan menyelamatkan”) dan nama anak-anaknya, Syear-Yasyub (“suatu sisa yang akan kembali”) dan kemudian Maher-Syalal-Hash-Bas (“perampasan yang cepat, penjarahan yang buru-buru,” merujuk pada penyerangan Asyur ke Samaria dan Damsyik), berperan sebagai “tanda dan alamat” dari inspirasi Ilahi (Yes.8:18). Terlepas dari kemurtadan Ahas, Allah telah mengirim Yesaya dan si kecil Syear-Yasyub (dan mungkin istri Yesaya juga) untuk meneguhkan sang raja.
Di samping ancaman yang nyata dari Raja Rezin dan Pekah, Allah meyakinkan Raja Ahas bahwa keturunan Raja Daud tidak akan lenyap oleh rancangan jahat mereka. Yesaya menunjuk pada seorang istri yang masih muda, yang sedang berdiri di sana, dan berkata, “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak-anak.” Dan kepada wanita itu ia memerintahkan, “Ia akan menamakan Dia Imanuel” (Yes.7:14). Seperti nama Yesaya dan anak sulungnya, nama ini juga disebut oleh para sarjana mengandung arti sebuah kalimat. Artinya “Allah beserta kita.” Selanjutnya, ketika “anak pertanda” itu berusia 2 tahun, Raja Rezin dan Raja Pekah tidak lagi menjadi ancaman, karena mereka telah mati.
Di dalam pasal 8, yang tata kalimatnya menyatu dengan pasal 7, Yesaya menjelaskan bagaimana “anak pertanda” itu akan tumbuh. Ia menghabiskan malam yang indah dengan istrinya. Sembilan bulan kemudian ia melahirkan si “perampasan yang cepat, penjarahan yang buru-buru” alias “Allah beserta kita.” Nama ini juga yang kelak diterapkan pada Yesus, seorang “anak pertanda” lain, yang meyakinkan orang-orang yang susah bahwa Allah, sesungguhnya Ia, beserta kita.
Seringkali kita melupakan, di saat-saat dirundung krisis, bahwa kita tidak sendirian. Ketika segalanya menjadi berat, kita juga perlu mengingat pesan yang abadi dan menawan hati ini: Allah beserta kita—Imanuel!