“Demikianlah Daud telah memerintah atas seluruh
Israel, dan menegakkan keadilan dan kebenaran bagi seluruh bangsanya” (1
Tawarikh 18:14).
Kita sering menjumpai betapa pemerintahan raja-raja
Israel diringkas dengan kata-kata negatif. Raja Nadab “melakukan apa yang jahat
di mata TUHAN” (1 Raj.15:26); Baesa juga “melakukan apa yang jahat di mata
TUHAN” (ay.34). Raja Omri “melakukan apa yang jahat di mata TUHAN dan ia
melakukan kejahatan lebih dari pada segala orang yang mendahuluinya” (1 Raj.
16:25); Yoram “melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, tetapi bukan seperti
ayahnya dan seperti ibunya” (1 Raj. 3:2). Dan bahkan Raja Salomo dicatat
“melakukan apa yang jahat di mata TUHAN” (1 Raj.11:6).
Namun ayat Alkitab hari ini mengatakan bahwa Raja
Daud ( di samping beberapa catat celanya) “menegakkan keadilan dan kebenaran
bagi seluruh bangsanya.” Sebenarnya apakah yang membuat pemerintahannya
mendapat predikat yang gemilang seperti itu? Ayat ini ternyata menggunakan kata
Ibrani “asah”. Kata ini menempati
urutan ketiga sebagai kata yang paling banyak digunakan di dalam Perjanjian
Lama, dan dapat berarti “membuat,” “menciptakan”, “melakukan.” Dengan kata lain,
Daud telah menciptakan sesuatu, membuat sesuatu menjadi ada.
Dan apakah yang telah dijadikan oleh Daud? Ayat
hari ini menjelaskan dengan menggunakan kata benda mishpat (keadilan) dan tsedaqah
(kebenaran). Daud menciptakan dua kondisi ini—keadilan dan kebenaran. Dua kata
yang nampak sama bagi kita, tapi memiliki nuansa yang berbeda.
Kata pertama, misphat,kadang-kadang merujuk pada tindakan
memberi keputusan dalam suatu peradilan, tetapi sebenarnya memiliki arti lebih
dari itu. Semua raja—baik atau buruk—membuat banyak keputusan hukum. Lalu
mengapa Daud yang dipuji-puji karena melakukan hal itu? Karena kata tersebut
mengandung arti adanya tatanan sosial yang dilanggar—dua pihak yang saling
berselisih. Kemudian datanglah pihak ketiga—dalam hal ini Daud—untuk
mengembalikan keselarasan dengan menegakkan misphat.
Kata kedua, tsedaqah,
memiliki makna yang luas kesetiaan dan kemurahan hati. Hal ini menunjukkan
bahwa keputusan-keputusan yang dibuat oleh Raja Daud adalah adil dan tak
berpihak. Yang bersalah dihukum secara adil, yang tak bersalah dibebaskan.
Singkatnya, Daud memulihkan keadilan.
Sekarang, itulah yang disebut kepemimpinan yang
baik—hanya pilih kasih terhadap mereka yang tak bersalah! Ketika yang bersalah
dihukum keadilan pun ditegakkan—bagi seluruh masyarakat. Sikap- pilih kasih
merusak hubungan, tetapi ketidakberpihakan memelihara hubungan. Para pemimpin
kelas satu, termasuk orang tua, ciptakanlah atmosfer di dalam mana
kesejahteraan selaras bisa bertumbuh.
“Dan Aku menegakkan dia dalam rumah-Ku dan dalam
kerajaan-Ku untuk selama-lamanya dan takhtanya akan kokoh untuk selama-lamanya”
(1 Tawarikh 17:14).
Kita sering berbicara tentang kerajaan Saul atau
pemerintahan Daud atas bangsanya. Dan berbicara seperti itu tidak terlalu
salah. Tapi ada sesuatu yang lain dalam potret ini ketimbang hanya Saul, Daud,
salomo, Yoas, atau para penguasa lain yang duduk di singgasana, yang sedang
memimpin kerajaan mereka.
Samuel tidak senang ketika mendengar tuntutan orang
Israel yang menghendaki seorang raja (1 Sam.8:5). Tetapi Allah menjelaskan
kepadanya bahwa “bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka
tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (ay.7). namun Allah tidak
menyerah begitu saja. Boleh jadi mereka menolak-Nya sebagai raja mereka, tapi
Ia tak pernah menolak mereka sebagai umat-Nya.
Kesetiaan mereka dalam perjanjian yang dibuat Allah
dengan Abraham tergantung pada ketaatan mereka terhadap kehendak Allah, tapi
kesetiaan Allah muncul dari sifat belas kasihan-Nya yang tidak berubah.
Karenanya bukanlah sesuatu yang aneh bagi kita bila
Allah masih menganggap diri-Nya sebagai raja. Ia tak pernah melupakan
janji-Nya: “Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi
Allahmu” (Kel.6:6). Allah juga berkata bahwa mereka akan menjadi “harta
kesayangan”—Nya (Kej.19:5), dan di tempat lain Musa menunjukkan bahwa Allah
telah memilih Israel sebagai “umat kesayangan-Nya” (Ul.14:2). Di dalam
terjemahan bahsa Inggris, digunakan istilah “Peculiar” (peculiar treasure dan
peculiar people) yang berarti “aneh”
atau “ganjil”. Sedangkan bahasa aslinya, Ibrani, menggunakan kata yang berarti “milik
pribadi” atau “milik yang berharga”. (Ternyata kata peculiar” berasal dari kata dalam Bahasa Latin yang berarti “milik
pribadi”.) Dan juga disepanjang Alkitab, orang Israel sering disebut sebagai “umat-Nya,”
dan Allah sendiri memangil mereka “umat-Ku.”
Sehingga bukan tanpa makna bila Allah mengatakan
kepada Daud bahwa Ia akan “menegakkan dia (Salomo) dalam rumah-Ku dan dalam
kerajaan-Ku” (1 Taw.17:14). Orang Israel masih menjadi umat Allah. TUHAN masih
memerintah mereka karena yang mereka dirikan adalah kerajaan-Nya. Salomo,
dengan kata lain, adalah raja bawahan dari TUHAN. Allah masih memerintah;
Salomo adalah penguasa kedua. Dan karena itulah dikatakan bahwa Salomo duduk di
“atas takhta pemerintahan TUHAN atas Israel” (1 Taw.28:5).
Kita adalah makhluk terbatas, manusia lemah yang
tidak berdaya mengusir Allah yang tak terbatas dan maha kuasa dari atas takhta-Nya.
Kita bisa saja mengusir-Nya dari hati kita, tetapi itu tidak dapat membuat-Nya
menyingkir dari kita.
PELAJARAN 1, *31 Mar - 6 Apr
Saya ingin kita memulai dengan melihat ayat hafalan untuk Sabat ini: Wahyu 12:17 Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus. Inilah yang akan kita pelajari sepanjang sabat ini “peperangan"ataupun yang kita sering dengan “pertentangan besar."Dalam pelajaran kita kali ini, kita akan melihat bagaimana akar dosa itu terjadi dalam diri Lucifer yang kemudian membawa pemberontakannya kedunia ini dengan mengikuti sertakan Adam dan Hawa. Mari kita memulaikannya dengan pertanyaan “bagaimana hal ini (dosa ataupun kejahatan) dapat dimulaikan?" mengingat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatunya adalah sempurna. Sebelum kita menjawab pertanyaan diatas, saya ingin menyelipkan satu pengertian yang kita terima, bahwa tentu dosa itu berasal atau bermula dari Lucifer, kita bisa lihat ayatnya dalam Yehezkiel 28:1, 2, 11-17 dan Yesaya 14:12-14. [1] Serta tulisan Roh Nubuat berikut ini:
“Telah begitu lama seluruh makhluk ciptaan menyatakan kesetiaan kasih, yang adalah telah menjadi kesempurnaan yang selaras bagi seluruh alam semesta milik Tuhan. Itu adalah kebahagiaan dari seluruh penduduk surgawi untuk memenuhi tujuan dari pencipta mereka. Mereka telah berbahagia didalam merefleksikan kemuliaan-Nya dan menunjukkan pujian dihadapan-Nya. Dan ketika kasih kepada Allah telah menjadi hal yang terpenting, kasih kepada satu dengan yang lain bersifat tulus dan tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada satu nada sumbang yang menganggu keselarasan alam semesta. Tetapi perubahan telah terjadi atas kebahagiaan yang ada saat ini. Ada satu pribadi yang telah menyalahgunakan kebebasan yang telah diberikan Tuhan kepada semua ciptaan-Nya. Dosa berasal dari dia, yang setingkat lebih rendah dari Kristus, dan yang paling dihormati oleh Tuhan. Patriarchs and Prophets, p. 35. [2]
—tetapi pertanyaan yang lebih dalam adalah darimana dan bagaimana bisa ada timbul embrio dosa dalam diri atau hati Lucifer yang adalah ciptaan yang sempurna ini? Mari kita lihat langsung jawabannya dalam Alkitab dan tulisan E. G. White
2 Tesalonika 2:7-8Karena secara rahasia kedurhakaan telah mulai bekerja, tetapi sekarang masih ada yang menahan. Kalau yang menahannya itu telah disingkirkan, pada waktu itulah si pendurhaka baru akan menyatakan dirinya, tetapi Tuhan Yesus akan membunuhnya dengan nafas mulut-Nya dan akan memusnahkannya, kalau Ia datang kembali.
Saya tidak akan membahas perkataan setelah yang saya garis bawahi, tetapi agar tidak kehilangan konteks ayatnya maka saya ikut sertakan sampai ayat 8. Perhatikan bahwa kedurhakaan, kejahatan, dosa itu telah mulai bekerja secara rahasia—alias susah untuk dapat diterangkan “misterius"—bagaimana mungkin dalam dunia tanpa dosa, tidak mengenal dosa, sempurna—bisa terjadi dosa? How come? Ingat tidak semua pertanyaan kita manusia yang terbatas ini dapat terjawab! Kemudian Ellen White mengatakan demikian: “Adalah tidak mungkin untuk menjelaskan asal mula dosa juga sebagaimana dalam memberikan sebuah alasan untuk keberadaan dosa itu sendiri... dosa adalah penyusupan, sehingga tidak ada alasan yang dapat diberikan untuk keberadaan dosa itu sendiri. Dosa adalah sesuatu yang misterius, dan tidak dapat diketahui; mengijinkan keberadaan dosa adalah sama dengan mempertahankannya, kemudian itu akan menjadi dosa."—Alfa dan Omega, jld. 8, hlm. 516. [3]
Kemudian mari kita melihat catatan Alkitab untuk kejatuhan manusia. Kita bisa melihat dalam Kejadian 3:1-7—ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita tarik dari pelajaran, yang mungkin sudah sering kita dengar ini. Perhatikan kata-kata Hawa kepada ular yang mengatakan bahwa "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" ... jawaban Hawa: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati. —Hawa dan Adam bukan tidak mengerti tentang firman Tuhan, bukan tidak meresapi arti dari setiap firman itu—tetapi ada satu hal penting yang tidak ada dalam pikiran Adam dan Hawa yaitu gantinya berserah dan percaya pada firman Tuhan, mereka menaruh kepercayaan mereka kepada iblis. Mari kita belajar untuk berserah dan percaya kepada firman Tuhan, bukan hanya sekedar mengetahui atau bahkan ahli dalam menjelaskan firman Tuhan—tetapi kita harus berserah, percaya dan melakukan firman Tuhan itu. Peperangan itu telah terjadi dan kita bisa melihatnya dengan lebih jelas melalui Alkitab dalam Wahyu 12:1-17—yang akan saya coba bagi sebagai berikut:
Wahyu 12:1-17 = peperangan sepanjang zaman sejak surga sampai saat ini Wahyu 12:7-9 = ini adalah pertempuran pertama yaitu antara setan dan Mikhael (Who is like God?)—Yesus. Setan kalah disurga Wahyu 12:4 = setan berusahan menyerang-Nya di dunia setelah kelahiran manusia-Nya. Gagal melawan Kristus, dan kemudian gagal melawan Dia di padang gurun dan kemudian di Salib, Setan—setelah kekalahan yang tidak dapa diubah di Golgota—pergi berperang melawan umat Allah. Wahyu 12:6, 14-17 = Peperangan disepanjang sejarah pengikut Kristus (Kristena) dan dilanjutkan sampai akhir zaman.
Artinya jika kita membaca baik-baik kitab Wahyu 12 kita melihat peperangan ini adalah antara ciptaan (setan) dengan pencipta (Tuhan). Lalu dilanjutkan serangan kepada Yesus sebagai manusia, anak perempuan itu, kemudian kepada perempuan itu sendiri, lalu kepada keturunan perempuan yang lain—yang menuruti hukum Allah dan kesaksian Yesus. Satu pertanyaan yang sangat penting adalah bagaimana kita dapat bertahan? Umat-umat Tuhan dapat bertahan menang menghadapi serangan-serangan setan? Karena jika Tuhan menang, tentu itu wajar. Tapi bagaimana dengan kita? Bagaimana suapaya menang? Sama halnya dengan Adam dan Hawa, mereka tidak akan kalah bila tetap percaya dan berserah pada firman-Nya—karena Allah mengasihi mereka dan kita juga wajib merespons kasih-Nya dengan percaya dan melakukan firman-Nya, meskipun mungkin kematian menjadi resiko kita mengikuti Yesus. Seperti yang dikatakan oleh Paulus:
2 Timotius 4:8 Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.
Inilah yang telah memberikan kekuatan disepanjang jaman, keriduan akan kedatagan Yesus Kristus yang kedua kali—menjadi pengharapan bagi semua orang, termasuk mereka yang telah dianiyaya—yang disebutkan dalam Wahyu 12:6, 14—(satu masa, dua masa dan setengah masa; 1260 hari = tahun 538-1798) . Disebutkan oleh Ellen G. White sebagai berikut:
“Penganiayaan ini bermula pada zaman Kaisar Nero, pada waktu Rasul Paulus mati syahid, berlangsung terus dengan semakin kejam atau tidak kurang kejam selama berabad-abad. Orang-orang Kristen dituduh dengan tuduhan palsu melakukan kejahatan yang paling mengerikan, dan dinyatakan sebagai penyebab bencana-bencana besar seperti bahaya kelaparan, wabah dan gempa bumi. Sementara mereka menjadi sasaran kebencian dan kecurigaan, para penuduh, demi keuntungannya menkhianati orang yang tidak bersalah itu. Mereka dituduh sebagai pemberontak yang melawan kerajaan, sebagai musuh agama, dan sebagai wabah bagi masyarakat. Banyak yang dilemparkan kepada binatang buas dan dibakar hidup-hidup di amfiteater."—Alfa dan Omega, jld. 8, hlm. 41. [4]
Dan ini semua tergambar dengan jelas dalam nama kita. Pengharapan kita dan yang kita ingin lakukan diatas dunia ini dalam menantikan pengharapan itu. Gereja Masehi Advent hari Ketujuh. Bagian hari ketujuh menunjukkan Sabat hari ketujuh, yang menunjuk kepada keyakinan kita, bukan hanya dalam satu hukum itu sendiri tetapi, melalui maksud, keyakinan kita dan sepuluh hukum. Advent menunjuk kepada keyakinan pada kedatangan Yesus yang kedua kali. Oleh karena itu, nama Masehi Advent Hari Ketujuh menunjuk kepada dua komponen kebenaran masa kini yang krusian yang tidak dapat dipisahkan: hukum dan Injil. [5] Yang tentunya sesuai dengan firman Tuhan yang mengatakan:
Wahyu 14:12 Yang penting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus, yang menuruti perintah Allah dan iman kepada Yesus.
Marilah kita menjadi para pengikut Kristus yang menuruti firman ataupun perintah Allah dan yang percaya (iman) kepada Yesus serta melakukannya.
Tuhan memberkati
“Juga diangkatnya dari orang Lewi itu beberapa
orang sebagai pelayan…TUHAN, Allah Israel dan menyanyikan syukur dan
puji-pujian bagi-Nya…Yeiel yang harus memainkan gambus dan kecapi, sedang Asaf
harus memainkan ceracap” (1 Tawarikh 16:4,5).
Bukan hal yang mengejutkan apabila Daud, “pemazmur
yang disenangi di Israel” (2 Sam.23:1), sangat memperhatikan musik yang
digunakan dalam menyembah Allah. Ia bukan hanya pemain musik istana yang
berpengalaman (di istana Raja Saul, Anda ingat?) tapi juga seorang penulis lagu
yang berbakat. Para ahli Perjanjian Lama mengaitkannya dengan terbentuknya
kelompok musik Bait Allah.
Sejak zaman Perjanjian Lama, musik telah menjadi
bagian dari ibadah penyembahan. Sejak saat itu menyanyikan lagu-lagu pujian
atau memainkannya dengan alat musik telah menjadi bagian tak terpisahkan untuk
menyembah dan memuji Allah, serta menambah kekhidmatan ibadah umat-Nya.
Musik yang dimainkan di Timur Dekat kuno mungkin
terdengar aneh dan kurang harmonis bagi telinga kita. Tetapi penelitian
baru-baru ini menemukan bahwa musik Timur Dekat kuno tidak sepenuhnya buruk
bagi citarasa orang Barat (sebagai contoh, Anda dapat membuka situs: www.oeaw.ac.at/kal/mane/ [khususnya
dengarkan RS h.6] atau www.mythinglinks.org/neareast.html
[perhatikan Hurrian Hymn di bagian
bawah situs ini].) Orang Yahudi bukan satu-satunya bangsa Timur Dekat yang
menggunakan musik untuk mendukung ritual penyembahan mereka. Orang Mesir,
Mesopotamia, dan Kanaan juga melakukannya. Apakah Anda tahu bahwa petikan musik
paling awal yang diketemukan memiliki usia yang sama dengan abjad dalam
bentuknya yang paling awal juga—sebuah lagu pujian kepada Nikkal, seorang dewi
bulan?
Saat ini hampir tidak mungkin bagi seorang ahli
arkeologi musik untuk mengetahui dengan tepat bagaimana bunyi musik timur Dekat
kuno sebenarnya, tapi mereka mengetahui bahwa alat musik yang digunakan mencakup
senar, tiupan, dan alat-alat perkusi. Diduga setidaknya beberapa musik religious
ini memiliki irama ketukan yang kuat, yang membantu para penyembah untuk
mencapai kondisi gembira yang luar biasa, seperti yang dialami Daud ketika ia menari
di depan tabut sampai membuat malu Mikhal, anak perempuan Saul (2 Sam. 6:16),
atau ketika Elisa meminta seorang pemain harpa untuk membantunya mendapatkan
inspirasi (2 Raj.3:15).
Seperti dicatat sebelumnya, nampaknya Allah dapat
menerima perbedaan budaya kita masing-masing, seperti juga ekspresi musikal kita
dalam penyembahan. Jadi marilah kita bersikap lebih toleran terhadap mereka
yang memiliki selera musik rohani yang berbeda dengan kita.
“Dari bani Isakhar orang-orang yang mempunyai
pengertian tentang saat-saat yang baik, sehingga mereka mengetahui apa yang
harus diperbuat orang Israel: dua ratus orang kepala dengan segala saudara sesukunya
yang di bawah perintah mereka” (1 Tawarikh 12:32).
Tiba-tiba kita menemukan daftar nama-nama…lagi. Hanya
saja, kali ini daftar nama tersebut tidak berupa daftar keturunan seperti
sebelumnya, tapi berkenaan dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Raja Daud
untuk melayani bait suci—tenda yang dibangunnya sebagai rumah tabut perjanjian
(dan kemudian menjadi pelayan Bait Allah yang dibangun oleh Salomo) dan untuk
mengawasi administrasi pemerintahan.
Di pasal 12 kita menjumpai daftar nama prajuirt yang
bergabung di sekeliling Daud sebelum dan sesudah ia menjadi raja. Konteks ayat
hari ini terdapat dalam 1 Taw. 12:23: “Inilah jumlah pasukan bersenjata untuk
berperang yang datang kepada Daud di Hebron untuk menyerahkan jabatan raja dari
pada Saul kepada Daud.” Menurut perhitungan ini, suku Zebulon menyertakan
prajurit paling banyak—50.000 orang (ay.33) dan suku Isakhar mengirimkan jumlah
paling sedikit—200 orang.
Meskipun suku Isakhar paling sedikit secara
kuantitas, kitab Tawarikh memuji-muji mereka sebagai: “orang-orang yang
mempunyai pengertian tentang saat-saat yang baik, sehingga mereka mengetahui
apa yang harus diperbuat orang Israel,” Sebuah rangkaian empat pembeda kata
Ibrani yang menggambarkan dua karakteristik suku Isakhar seperti yang
ditonjolkan oleh kitab ini.
Pertama, para pria suku Isakhar bisa membedakan
waktu yang istimewa dalam hidup mereka. Mereka mengetahui bahwa ada waktu-waktu
yang tidak berbeda dengan saat lainnya, yaitu saat-saat rutin—menjemukan. Tetapi
ada saat-saat tertentu di mana situasinya berbeda dengan yang lain—sebuah kesempatan
yang langka. Kemampuan untuk membedakan mana yang biasa dan mana yang luar
biasa sangatlah penting. Tidak setiap orang mempunyai ketajaman untuk
membedakan kedua saat tersebut.
Kedua, para pria suku Isakhar memiliki kearifan
untuk mengetahui tindakan tepat yang harus dilakukkan pada saat-saat istimewa
tersebut. Mereka tahu bagaimana harus mengambil tindakan. Tindakan istimewa
untuk saat istimewa. Tidak cukup hanya mengenali keunikan sebuah situasi. Seorang
bijaksana juga mengetahui bagaimana mengambil manfaat dari saat yang istimewa
tersebut.
Betapa sering kita merasa gagal ketika harus
memutuskan langkah terbaik apa yang harus diambil. Oh, menjadi seorang suku Isakhar—mengetahui
apa yang harus dilakukan dan kapan harus melakukannya! Sungguh merupakan
anugerah dari Allah sendiri, yang maha mengetahui.
“Uza mengulurkan tangannya memegang tabut itu,
karena lembu-lembu itu tergelincir. Maka bangkitlah murka TUHAN terhadap Uza,
lalu Ia membunuh dia oleh karena Uza telah mengulurkan tangannya kepada tabut
itu: (1 Tawarikh 13:9,10).
Dalam keseluruhan Alkitab, terkadang kita menjumpai
ayat-ayat yang membingungkan. Untungnya yang seperti itu tidak banyak, namun
cukup untuk menantang cara pandang yang biasa kita anut. Penggalan kisah Uzi
ini adalah salah satu cerita yang membingungkan itu.
Raja Saul telah menelantarkan tabut perjanjian,
yang pada saat itu berarti sangat menyepelekan Allah, karena tabut itu mewakili
kehadiran pribadi TUHAN sendiri. Seperti halnya bangsa Israel telah “menampar”
Allah langsung di wajah-Nya dengan meminta seorang raja, demikianlah kerajaan
pertama mereka melanjutkan penghinaan itu dengan menelantarkan tabut-Nya. Daud memutuskan
untuk memperbaiki situasi ini.
Setelah meminta pendapat para pengikutnya, Daud
bersama-sama dengan rombongannya pergi ke Kiryat Yearim, dimana tabut
ditempatkan di rumah Abinadab. Mereka meletakkan tabut di atas sebuah kereta
lembu, dan dengan semangat tinggi bernyanyi, bermain musik dan menari, dan
memulai perjalanan +130 km ke Yerusalem, di mana Daud sudah mendirikan
sebuah tempat suci—tenda untuk menaunginya.
Ketika menjejakkan kaki mereka di tanah Kidon,
lembu-lembu itu terantuk sesuatu sehingga keretanya bergoyang, dan tabut
terjungkit. Uza, anak Abinadab yang mengemudikan kereta mengulurkan tangannya
menahan tabut agar tidak terjatuh ke tanah dan hancur berantakan. Malang baginya,
TUHAN menganggapnya sesuatu yang lancang, dan “membunuh dia.”
Maka iring-iringan itu pun tidak beranjak lebih
jauh, dan benda berlapis emas itu pun disemayamkan di tempat kediaman
Obed-Edom. Lama setelah kejadian itu barulah Daud mencoba lagi usahanya. Kali ini
ia menyuruh suku Lewi untuk membawa tabut dengan cara mengusungnya di atas bahu
mereka sesuai apa yang diajarkan Musa. Sekali lagi prosesi tabut berjalan
diiringi tari-tarian dan nyanyian sukacita menuju ke Yerusalem, di mana tabut
itu ditaruh di tempat suci yang telah disiapkan oleh Daud.
Daud dengan tulus hati hendak memberikan rumah bagi
tabut Allah di ibukota. Uza, juga dengan tulus hati mencoba menyelamatkan tabut
agar tidak jatuh dan hancur berantakan. Lalu mengapa Allah murka sebagaimana
yang dilakukan-Nya? Di saat lain TUHAN berkenan menerima situasi yang ada. Reaksi
Allah cukup membingungkan—karena biasanya murka Allah dijatuhkan pada mereka
yang memberontak kepada-Nya. Barangkali, betapapun baiknya niat seseorang, yang
terpenting adalah melakukan dengan cara yang benar.
“Lalu makin lama makin besarlah kuasa Daud, sebab
TUHAN semesta alam menyertainya” (1 Tawarikh 11:9).
Daud adalah seorang buronan, memimpin gerombolan
400 hingga 600 pemberontak yang menjadi pelarian karena memiliki utang yang tak
sanggup mereka bayar atau orang-orang yang marah dan kecewa karena satu dan
lain hal. Dan selama waktu itu ia dan gerombolannya yang selalu membuat onar itu
terus diburu seperti binantang oleh tentara kerajaan Saul.
Setelah meninggalnya Raja Saul, Daud, yang jauh
hari sebelumnya telah diurapi secara diam-diam oleh Samuel, menyatakan dirinya
sebagai raja di Hebron. Selama tujuh tahun ia memerintah Yehuda dari kota itu,
sementara Isyboset (“orang yang memalukan”) yang berusia 40 tahun, satu-satunya
anak Saul yang masih hidup, menjadi lawannya dan memerintah Israel. Pada suatu
saat setelah kematian Isyboset di tangan Rekhab dan Baana, para penjahat dari
pemerintahan Saul yang telah tak berfungi itu mengunjungi Daud di Hebron. Meskipun
sediki sekali rincian yang tersedia tentang ini, pertemuan itu menghasilkan
sebuah perjanjian antara Daud dengan mereka. Dan sebagai puncaknya, mereka
mengurapi Daud (pengurapan Daud yang ketiga kalinya) sebagai penguasa atas
Yehuda dan Israel—sebuah kerajaan yang bersatu.
Dalam sebuah langkah diplomatik yang jenis Daud
memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Yerusalem, sebuah kota yang dihuni oleh
orang-orang Yebusi dan merupakan daerah netral bagi Israel maupun Yehuda,
meskipun hal ini bukan merupakan berkat bagi penduduk di sana! Setelah menaklukkan
Zion dan daerah sekitarnya, kejayaan Daud semakin bertambah kuat karena “TUHAN
semesta alam menyertainya”.
Agak mengagetkan saat membaca bahwa Daud “makin
lama makin besar.” Pertama, ia lahir di keluarga Isai dan tidak diperhitungkan.
Kedua, ia adalah seorang pembelot dan orang paling dicari oleh penguasa
sebelumnya. Ketiga, ia hanya memimpin 600 orang pria dan belakangan hanya
segelintir orang Israel. Keempat, ia telah menaklukkan diri kepada penguasa
lain, seperti Akhis, raja Filistin di Gat.
Tapi bahkan lebih mengagetkan lagi membaca bahwa “Allah
tidak pernah menghendaki umat-Nya hidup dalam sebuah kerajaan. Bahkan Allah
menganggap permintaan mereka akan seorang raja sebagai tamparan di wajah-Nya. Meskipun
Allah kecewa terhadap perkembangan situasi ini, Ia dengan murah hati
menyesuaikan diri-Nya pada kondisi yang disebabkan oleh kehausan umat-Nya untuk
menjadi sama dengan dunia, dan “menyertai” Daud—meskipun seorang raja Israel
adalah sesuatu yang dalam istilah kita “di luar kehendak Allah.”
“Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan
memperluas daerahku, dan kiranya tangan-Mu menyertai aku, dan melindungi aku
dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!” (1 Tawarikh 4:10).
Kitab terakhir dalam Alkitab Ibrani (ya benar,
kitab Tawarikh) dimulai dengan daftar silsilah yang menjemukan (bagi kita)
berhalaman-halaman. “Abraham memperanakkan Ishak. Anak-anak Ishak ialah Esau
dan Israel. Anak-anak Esau ialah Elifas… Anak-anak Elifas…” (1 Taw. 1:34-36).
Namun secara berkala, daftar nama “anak-anak” dan
yang “memperanakkan” itu diberi selingan-selingan singkat yang sering tidak
kita sadari. Salah satu selingan itu bercerita tentang seorang bernama Yabes,
yang “lebih dimuliakan dari pada saudara-saudaranya” (1 Taw.4:9). Mengapa ia “lebih
dimuliakan” merupakan sebuah misteri” tapi bukan suatu rahasia mengapa Yabes
saat ini “lebih dimuliakan” ketimbang seluruh keluarganya. Bruce Wilkinson
menulis sebuah buku laris berjudul The
prayer of Jabez, dan yang menjadi sangat terkenal.
Wilkinson menulis: “Saya ingin mengajarkan kepada
Anda bagaimana mendoakan sebuah doa yang berani yang selalu dijawab oleh Allah”
dan menyuruh pembacanya untuk mengulangi doa Yabes setiap hari sehingga
hari-hari mereka boleh diberkati oleh Allah dengan mukjizat-mukjizat yang belum
pernah terjadi sebelumnya.
Apakah yang didoakan oleh Yabes? Permintannya yang
unik terdapat pada ayat hari ini. Ia berdoa untuk memperluas wilayah
kekuasaannya dan memohon dilepaskan dari “malapetaka, sehingga kesakitan tidak
menimpa” dia. Sementara berjuta-juta pembaca saat ini mengulangi doa tersebut
setiap hari, akan bermanfaat bagi kita untuk membandingkannya dengan doa
Salomo: “Berilah sekarang kepadaku hikmat dan pengertian, supaya aku dapat
keluar dan masuk sebagai pemimpin bangsa ini” ( 2 Taw. 1:10). Kelihatan sekali
bahwa kedua doa ini sangat berbeda. Di satu pihak, doa Yabes menonjolkan
kepentingan sendiri—bertambah luasnya kepemilikan tanah dan kebebasan dari
kesulitan dan penyakit. Di lain pihak, doa Salomo menunjukkan penyangkalan diri—kehausan
akan hikmat sehingga dapat memimpin dengan bijak.
Barangkali yang paling mengejutkan tentang doa
Yabes ini adalah “Allah mengabulkan permintaannya itu’ (1 Taw. 4:10). Bukankah
kebanyakan kita belum mengalami hal yang serupa dalam hidup ini—padahal doa
yang kita panjatkan sudah sangat egois? Seperti seorang gembala yang sering
mengatakan, “Allah itu baik,” yang dijawab oleh jemaat, “Setiap waktu.” Dan ia
mengulangi, “Setiap waktu,” dan disambut oleh jemaat dalam satu suara, “Allah
itu baik.”
Tentu saja doa Salomo, yang juga dikabulkan oleh
Allah, adalah contoh doa yang jauh lebih baik untuk ditiru oleh kita.