Saturday, May 12, 2018

Renungan Pagi 13 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
13 Mei 2018

Kelupaan Allah

Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ngingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?” (Mazmur 130:3).

Orang-orang di daerah Timur Dekat kuno memiliki ingatan yang panjang. Karena pribadi-pribadi dyadic yang membentuk masyarakat dan karena kehormatan menjadi sebuah kebutuhan penting bagi mereka (terutama kaum pria), pembalasan utang darah menjadi praktik yang umum untuk mempertahankan kehormatan keluarga. Dendam kesumat itu diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan hari ini di banyak budaya, orang masih menaruh dendam untuk kesalahan yang dilakukan berabad-abad yang lampau. Pengampunan dalam budaya dyalic tidak dapat diperoleh dengan mudah.

Penulis Mazmur 130 menggambarkan TUHAN, bertolakbelakang dengan gambaran masyarakat di atas. Meskipun ada ayat-ayat tertentu yang membuat kita percaya bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, ada hal-hal tertentu pula yang tidak diingat oleh-Nya. Sebagai contoh, Ia tidak mengingat lagi dosa yang telah dilupakan-Nya. Dan di dalam ayat hari ini, kita belajar bahwa “jika…TUHAN, mengingat-ngingat kesalahan…siapakah yang dapat tahan?” Bahasa yang digunakan di sini menunjukkan bahwa Allah tidak menyimpan sampai anak cucu kesalahan seseorang—tentu saja dengan asumsi, bahwa orang itu mengakui dosanya.  Allah mungkin, seperti ditunjukkan dalam ayat-ayat lain di Alkitab, menyimpan catatan dosa-dosa, tetapi catatan itu tidaklah abadi. Menurut kitab Mazmur, meskipun Allah menjagai Israel (Mzm. 121:4), Ia tidak menyimpan catatan kesalahan mereka.

Karena sikap Allah maha pengampun dan belas kasihan-Nya yang selalu hadir—Ia tidak mengawasi dosa kita dengan saksama—kita menyembah Dia. “Pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang” (Mzm.130:4). Mazmur 86:5 menggambarkan TUHAN sebagai Allah yang “baik dan suka mengampuni”. (Kata kerja sallach yang berarti “mengampuni, jarang ditemui di dalam Alkitab, dan menarik sekali bahwasanya Perjanjian Lama hanya memakai kata itu untuk Allah. Hanya Allah yang mengampuni, bukan manusia.)

Demikian pula Mazmur 130 berakhir dengan nada tinggi. “Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel! Sebab pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan. Dialah yang akan membebaskan Israel dari segala kesalahannya” (ay.7,8).

Untuk orang-orang di dalam budaya yang gembar mengingat-ingat kesalahan dan melanggengkan permusuhan, gambar Allah yang dipotret oleh pemazmur di sini menjadi sebuah pengingat yang menggembirakan. Dan sesuai perintah Yesus berabad-abad kemudian, itu niscaya sangat bermanfaat untuk diteladani.

Friday, May 11, 2018

Renungan Pagi 12 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
12 Mei 2018

Kepantasan Ibadah

Mazmur untuk korban syukur. Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” (Mazmur 100:1, 2).

Mazmur ke seratus ini adalah syair penyembahan singkat di dalam mana sang pemazmur bercerita kepada kita bagaimana umat Allah seharusnya menyebah di bait suci. Seluruh syair ini bertaburan nada dan irama.

Tempat-tempat penyembahan kuno, baik di Mesir, Mesopotamia, Kanaan, atau Israel, bukanlah tempat di mana para penyembah duduk mengikuti kebaktian. Bagi mereka duduk menjadi sesuatu yang sangat pasif. Para penyembah berdiri sepanjang ritus religi mereka. Teks Ibrani memang tidak menyebut jelas tentang posisi berdiri tegak tatkala menyembah Allah, tetapi Eugene Peterson beranggapan, tentu saja dengan tepat, bahwa berdiri adalah sikap yang biasa ditemui di dalam bait Allah.

Secara harfiah, ayat di atas menyentuh kita untuk datang ke hadirat Allah dengan berteriak. Kata Ibrani yang diterjemahkan “bersorak” memiliki arti mengeluarkan suara keras yang merujuk pada suara tanduk domba (shofar) yang ditiup, atau suara manusia yang nyaring, dan sering digunakan sebagai tanda kemenangan dan/atau sukacita.  Di dalam budaya Barat kita mengasumsikan bahwa sikap khidmat itu haruslah hening, tetapi orang Israel di Timur Dekat kuno menghargai suara yang keras sebagai bagian dari sikap penghormatan.

Selain itu, umat Allah mengungkapkan pemujaan mereka dengan sukacita. “Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita” (ay.2). Mereka juga diperintahkan oleh mazmur ini untuk “beribadah” kepada-Nya. Kata kerja ini datang dari kata benda Ibrani ebed, yang berarti “budak” atau “pelayan”. Cara untuk menunjukkan bakti kepada TUHAN adalah melalui kegembiraan—sukaria. “Datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” (ay.2). Kebaktian dan penyembahan ditunjukkan dengan sikap yang sama—sorak-sorai.

Allah berhak mendapatkan penyembahan yang penuh sukaria karena “Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembala-Nya” (ay.3). TUHAN bukan hanya Pencipta tetapi juga Pemelihara. Karenanya, rasa syukur mesti ditambahkan kepada kegembiraan yang memuncak di dalam menyembah “TUHAN” yang “baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun” (ay.5).

Meskipun konteks Mazmur 100 secara keseluruhan tentang bangsa Israel—nama Allah adalah YHWH, yang menciptakan satu bangsa, yang membuat perjanjian dan memelihara bangsa yang diciptakan-Nya itu, yakni keturunan Abraham—rasanya bukan sesuatu yang salah jika kita menerapkan kata-kata tersebut untuk diri kita. Para penulis Perjanjian Baru berbicara tentang perjanjian yang baru (atau diperbarui), yang mengikat kita di dalamnya.

Thursday, May 10, 2018

Renungan Pagi 11 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
11 Mei 2018

Janji yang Diingkari?

Terpujilah TUHAN untuk selama-lamanya! Amin, ya amin” (Mazmur 89:53).

Kita banyak mendengar tentang keinginan Allah untuk memenuhi janji-janji-Nya, namun terkadang janji-janji tersebut Nampak kosong belaka—tidak ditindaklanjuti.. oleh Allah. Mazmur 89 mungkin dapat menjadi sebuah contoh untuk menjadi pegangan kita di kala kecewa dan mencerca Allah.

Etan, anak Kusaya, telah ditunjuk oleh Daud menjadi penyanyi, sekelompok dengan Herman dan Asaf. Bukan hanya menyanyi, mereka juga memainkan ceracap tembaga (1 Taw.15:19). Etan dikenal bijak, meskipun tidak menandingi kebijaksanaan Raja Salomo ( 1 Raj.4:30,31). Etanlah yang menulis mazmur ini.

Mazmur ini dibuka dengan pujian kepada Allah atas kasih-Nya. “Aku hendak menyanyikan kasih setia TUHAN selama-lamanya” (Mzm.89:2). Setelah itu pemazmur langsung beralih ke kuasa penciptaan Allah yang baginya menunjukkan kasih Allah. “Punya-Mulah langit, punya-Mulah juga bumi, dunia serta isinya Engkaulah yang mendasarkannya. Utara dan selatan, Engkaulah yang menciptakannya” (ay.12,13). Allah bukan hanya Pencipta yang penuh kasih tetapi juga dapat dipercaya. “Keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Mu, kasih dan kesetiaan berjalan di depan-Mu” (ay.15).

Selanjutnya pemazmur memuji-muji pilihan TUHAN atas Daud sebagai raja. “Pernah Engkau berbicara dalam penglihatan kepada orang-orang yang Kaukasihi, kata-Mu: ‘Telah Kutaruh mahkota di atas kepala seorang pahlawan… Aku telah mengurapinya dengan minyak-Ku yang kudus” (ay.20,21). Dengan kata lain Allah membuat Daud sebagai mesias—seorang yang diurapi. Lebih jauh lagi, Allah bersumpah, “Aku akan memelihara kasih setia-Ku bagi dia untuk selamanya, dan perjanjian-Ku teguh bagi dia. Aku menjamin akan adanya anak cucunya sampai selama-lamanya” (ay.29,30). Tapi janji Ilahi itu telah menguap tanpa bekas. Allah telah “membatalkan perjanjian dengan hamba-Mu, menajiskan mahkotanya laksana debu” (ay.40). “Di manakah kasih setia-Mu yang mula-mula, ya Tuhan, yang telah Kaujanjikan dengan sumpah kepada Daud demi kesetiaan-Mu?” (ay.50).

Dinasti Daud telah hilang. Masa keemasan telah berlalu. Kerajaannya tinggal reruntuhan. Orang-orang pilihan Allah diasingkan—sebagai tawanan perang. Apa yang telah terjadi? Ini sungguh merupakan sebuah krisis iman, dan mazmur 89 tidak menyajikan jawaban, tak sepatah katapun dari Allah yang telah berjanji begitu banyak—takhta selama-lamanya bagi keturunan Daud.

Lalu mazmur itu pun berakhir… dengan diamnya Allah. Namun diakhiri dengan sebuah pujian yang sama seperti pembukaannya. “Terpujilah TUHAN untuk selama-lamanya! Amin, ya amin” (ay.53). Ya, sungguh ini sebuah contoh doa.

Wednesday, May 9, 2018

Renungan Pagi 10 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
10 Mei 2018

Allah yang Melakukannya?

Telah Kautaruh aku dalam liang kubur yang paling bawah, dalam kegelapan, dalam tempat yang dalam” (Mazmur 88:7).

Kita semua mengalami masa-masa baik dan buruk, dan rupanya hari itu adalah hari yang buruk—bahkan mungkin tahun yang buruk—bagi sang pemazmur yang mengutarakan isi hatinya kepada Allah. Kita tidak tahu yang sebenarnya. Yang kita tahu adalah si penyair merasa sebagai orang yang paling malang di saat ia menulis Mazmur 88.

“Ya TUHAN, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau.” (Mzm.88:2). “Sendengkanlah telinga-Mu kepada teriakku; sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka” (ay.3,4). “Aku telah dianggap termasuk orang-orang yang turun ke liang kubur; aku seperti orang yang tidak berkekuatan” (ay.5).

Darimana kesulitan-kesulitan berasal? Ia menjelaskannya dalam ayat kita hari ini. “Telah Kautaruh aku dalam liang kubur yang paling bawah, dalam kegelapan, dalam tempat yang dalam” (ay.7). Ingat, ia sedang bercakap dengan Allah. Ia sedang menyalahkan Allah, dari antara semua orang, untuk segala penderitannya. “Aku tertekan oleh panas murka-Mu, dan segala pecahan ombak-Mu Kautindihkan kepadaku” (ay.8). lebih jauh lagi, karena Allah pula, pemazmur telah ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya. “Telah Kaubuat aku menjadi kekejian bagi mereka” (ay.9).

Apakah teologi yang dianut pemazmur sudah benar? Apakah kesulitannya datang langsung dari Allah? Apakah Allah yang menimpakan nasib itu kepadanya? Apakah Allah marah kepadanya? Apakah Allah sumber penderitaan umat manusia? Memang ada ayat-ayat Alkitab yang menempatkan Allah sebagai penyebab segala akibat, bahkan segala kekejian—bencana, penyakit, dan kematian. Namun berdasarkan ayat-ayat lain mengenai kasih Allah yang sempurna dan kudus, kita boleh mengambil kesimpulan bahwa penulis yang terinspirasi sedang berusaha untuk mempertahankan keutuhan monoteisme dengan cara menghubungkan semua kejadian baik maupun buruk kepada satu-satunya Allah.

Apabila sang pemazmur menggunakan bahasa kognitif dalam menulis syairnya, kita harus menerimanya mentah-mentah sebagai teologi yang menyalahkan Allah. Seperti Anda ketahui, kita menggunakan bahasa kognitif untuk menyampaikan gagasan—filsafat, teologi. Tetapi mazmur adalah syair, dan syair bukanlah bentuk percakapan kognitif. Syair menggunakan bahasa afektif, yang berguna untuk mengungkapkan (dan membangkitkan) emosi. Dan Allah dengan murah hati telah mengizinkan kita—bahkan para penulis suci-Nya—untuk menyalurkan rasa frustasi kita, tanpa menghukum kita, atau membinasakan kita, terlepas dari betap menghujatnya ucapan afektif yang kita gunakan. Akan tetapi kita harus berhati-hati, agar saat menggunakan kata-kata afektif itu, kita tidak mempersalahkan Allah. Itu adalah teologi yang sesat.

Tuesday, May 8, 2018

Renungan Pagi 09 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
09 Mei 2018

Pengendalian Diri Allah

Tetapi Ia bersifat penyayang, Ia mengampuni kesalahan mereka dan tidak memusnahkan mereka; banyak kali Ia menahan murka-Nya dan tidak membangkitkan segenap amarah-Nya” (Mazmur 78:38).

Pemazmur mengingat kembali tiga hal di dalam mazmur 78—apa yang Allah lakukan untuk bangsa Israel, apa yang mereka lakukan sebagai balasannya, dan lalu apa tanggapan Allah. Ini adalah syair yang panjang karena perbuatan Allah bagi umat-Nya dan tanggapan suram mereka pun banyak. Kita tidak memiliki cukup halaman untuk membahas semuanya. Dari semuanya ada, “puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan perbuatan-perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya” (ay.4) dan bangsa Israel yang adalah “angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah” (ay.8). Akhirnya, ada murka-Nya yang diiringi oleh pengampunan-Nya yang murah hati.

Perbuatan Allah—Pemeliharaan Allah untuk bangsa Israel, umat-Nya yang patut dikenang. “Dilakukan-Nya keajaiban-keajaiban, di tanah Mesir,…dibelah-Nya laut, diseberangkan-Nya mereka” (ay.12,13). Allah menyuruh “umat-Nya berangkat seperti domba-domba, dipimpin-Nya mereka seperti kawanan hewan di padang gurun” (ay.52). “Ia…menurunkan kepada mereka hujan manna untuk di makan, dan memberikan kepada mereka gandum dari langit” (ay.23-24). “Dipilih-Nya Daud, hamba-Nya… Ia menggembalakan mereka dengan ketulusan hatinya” (ay.70-72).

Tanggapan bangsa Israel—Terlepas dari kebaikan Allah kepada umat-Nya, “mereka mencobai dan memberontak terhadap Allah, Yang Mahatinggi, dan tidak berpegang pada peringatan-peringatan-Nya” (ay.56). “Mereka tidak berpegang pada perjanjian Allah dan enggan hidup menurut Taurat-Nya” (ay.10). “Mereka terus berbuat dosa terhadap Dia” (ay.30). “Mereka masih saja berbuat dosa dan tidak percaya kepada perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib” (ay.32).

Tanggapan Allah—Kadang-kadang Allah menghukum ketidaksetiaan mereka. “Mereka menyakiti hati-Nya dengan bukit-bukit pengorbanan mereka, membuat Dia cemburu dengan patung-patung mereka” (ay.58). Tetapi lagi dan lagi Ia memaafkan mereka (ay.21-27). “Banyak kali Ia menahan murka-Nya dan tidak membangkitkan segenap amarah-Nya” (ay.38).

Sungguh bangsa Israel adalah orang-orang yang tegar tengkuk! Kendatipun Allah telah memberkati dan menegur mereka, terus saja mereka berbuat dosa. Namun demikian, Allah terus saja mengampuni mereka!

Tetapi kita tidak seharusnya juga bersikap terlalu keras terhadap mereka. Karena nampaknya kitapun melakukan hal yang sama… dan mendapatkan perlakuan murah hati yang sama dari Allah. Mengapa? Karena, dijawab oleh pemazmur: “Ia ingat bahwa mereka itu daging, angin yang berlalu, yang tidak kembali” (ay.39).

Renungan Pagi 08 Mei 2018




“POTRET KASIH ALLAH”
08 Mei 2018

Kesejahteraan Orang Fasik

Sebab aku cemburu…melihat kemujuran orang-orang fasik” (Mazmur 73:3).

Kitab Mazmur dibuka dengan gambaran tentang orang benar dan orang fasik. Di satu sisi, orang benar seperti pohon yang ditanam di tepi sungai yang tak berhenti mengalir. Mereka pun tak hentinya berbunga dan menghasilkan buah, musim demi musim. Di lain sisi, orang fasik seperti kulit sekam yang diterbangkan angin dari bebijian dan terbuang saat ditampi.

Teologi yang disajikan dalam Mazmur 1 adalah apa yang boleh disebut “teologi ulangan,” karena filosofi yang sama disajikan dalam gambaran yang rinci di sepanjang kitab Ulangan. Orang baik berkembang di bawah anugerah Allah, sementara orang fasik lisut dan layu di bawah kutuk-Nya. Cara pandang ini memang sangat masuk akal…bahkan hingga saat ini… sampai…

Bukan rahasia lagi bahwa terkadang (barangkali lebih sering daripada tidak!) ada pemutar-balikan peran yang mengejutkan. (Rabi Harold Kushner menulis sebuah buku laris berjudul When Bad Things Happen to Good People = Ketika Hal-hal Jelek Menimpa Orang-orang Baik.) Inilah tema utama yang didiskusikan di kitab Ayub. Ayub tidak dapat mengerti mengapa orang tak berdosa seperti dirinya dapat mengalami begitu banyak kemalangan. (Bahkan kitab ini dibuka dengan pernyataan bahwa ia adalah orang baik. Allah sendiri yang membanggabanggakannya: “Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayub 1:8). Tetapi sahabat-sahabat Ayub menyampaikan tuduhan keras dan panjang lebar bahwa pasti ada suatu alasan di balik penderitaan Ayub. Ia pasti telah melakukan sesuatu yang menjijikkan dan harus bertobat. Kemudian barulah Allah akan mengampuninya dan mengubah kemalangannya menjadi sebuah berkat.

Dalam ayat hari ini penyair yang terinspirasi itu bergumul dengan disonansi kognitif, yakni suatu keruwetan mental, emosional, dan spiritual yang dialami seseorang tatkala dalil teologisnya tidak sesuai dengan pengalaman hidupnya. Teori menyatakan satu hal, tapi pengalaman hidup meruntuhkan teori itu. Kita dapat memilih satu dari beberapa sikap dalam menghadpai disonansi kognitif. Kita dapat mengulang-ulang teori itu dengan suara nyaring. Tanpa mempedulikan ketidaksesuaian dalil dan kenyataannya. Kita dapat juga melepaskan teori itu, dan kehilangan kepercayaan kita padanya. Atau kita dapat meninjau ulang itu bukti-bukti dan menyesuaikan teori, sambil tetap memelihara iman kita.

Pemazmur pada akhirnya memilih yang terakhir. Ia tetap memelihara kepercayaannya kepada Allah sambil juga mengakui bahwa ada teori yang tidak sesuai—setidaknya dalam jangka pendek. Bagaimana pendapat Anda?

Sunday, May 6, 2018

Renungan Pagi 07 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
07 Mei 2018

Lagi, Mazmur yang Mengutuk

Orang-orang yang membenci aku tanpa alasan lebih banyak dari pada rambut di kepalaku…Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang benar!” (Mazmur 69:5-29).

Apakah arti kata terakhir dalam judul renungan kita hari ini—“Mengutuk”? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita menemukan kata kerja “mengutuk” artinya mengatakan (mengenakan) kutuk, memohon kesusahan atau bencana menimpa seseorang. Dan terdapat cukup banyak syair semacam itu di dalam Mazmur. Dalam gejolak emosi mereka, para pemazmur menyalurkan perasaan mereka, berharap bukan yang terbaik tapi yang terburuk menimpa lawan-lawan mereka. Sebenarnya kita semua juga barangkali pernah mengalami perasaan-perasaan seperti itu.

Mengucap berkat atau kutuk di dalam masyarakat Timur Dekat kuno adalah hal yang serius, karena ada anggapan bahwa akibat yang diharapkan itu akan benar-benar terjadi. Ini berarti bahwa berkat atau kutuk adalah contoh-contoh Bahasa performatif. Asumsinya adalah bahwa ada kuasa di dalam kata-kata—ucapkan dan tunggulah sementara berkat atau kutuk menjadi kenyataan. Mengutuk di zaman Alkitab juga hal yang serius—lebih serius ketimbang sumpah serapah seorang tukang kayu kepada martil yang melesat dan mengenai jempol tangannya. Tukang kayu itu tahu di dalam hatinya bahwa kutukannnya tidak akan berakibat apa-apa.

Penulis Mazmur 69 sedang frustasi. Segala sesuatunya tidak berjalan sesuai keinginannya. Nampaknya lawan-lawannya berada di atas angin. “Dengan kecapi peminum-peminum menyanyi tentang aku” (ay.13). di manakah Allah? “janganlah sembunyikan wajah-Mu…, sebab aku tersesak; segeralah menjawab aku!” (ay.18). “Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang benar!” (ay.29).

Akan tetapi…bagaimana bila harapan pemazmur itu disandingkan dengan ucapan Yesus di kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34).

Kontras ini terutama membentur kita karena banyak orang yang menganggap Mazmur 69 sebagai mazmur mesianik karena ayat 21 yang berbunyi: “Pada waktu aku haus, mereka memberi aku minum angur asam,” yang terjadi di Golgota. Tapi dari keseluruhan konteks Mazmur 69, kata-katanya tidaklah seirama dengan ucapan Yesus. Bahkan natarator mengakui bahwa, “Kesalahan-kesalahanku tidak tersembunyi bagi-Mu” (ay.6).

Pelampiasan emosi dari pemazmur ini dapat dimengerti, tapi sungguh berlawanan dengan ajaran dan teladan Yesus—yang memang lebih mudah untuk diucapkan ketimbang dilakukan, namun itulah yang harus dicapai oleh seorang Kristen.