“POTRET KASIH ALLAH”
08 Mei 2018
Kesejahteraan Orang Fasik
“Sebab aku
cemburu…melihat kemujuran orang-orang fasik” (Mazmur 73:3).
Kitab Mazmur dibuka dengan gambaran tentang orang
benar dan orang fasik. Di satu sisi, orang benar seperti pohon yang ditanam di
tepi sungai yang tak berhenti mengalir. Mereka pun tak hentinya berbunga dan
menghasilkan buah, musim demi musim. Di lain sisi, orang fasik seperti kulit
sekam yang diterbangkan angin dari bebijian dan terbuang saat ditampi.
Teologi yang disajikan dalam Mazmur 1 adalah apa
yang boleh disebut “teologi ulangan,” karena filosofi yang sama disajikan dalam
gambaran yang rinci di sepanjang kitab Ulangan. Orang baik berkembang di bawah
anugerah Allah, sementara orang fasik lisut dan layu di bawah kutuk-Nya. Cara
pandang ini memang sangat masuk akal…bahkan hingga saat ini… sampai…
Bukan rahasia lagi bahwa terkadang (barangkali
lebih sering daripada tidak!) ada pemutar-balikan peran yang mengejutkan. (Rabi
Harold Kushner menulis sebuah buku laris berjudul When Bad Things Happen to Good People = Ketika Hal-hal Jelek
Menimpa Orang-orang Baik.) Inilah tema utama yang didiskusikan di kitab Ayub.
Ayub tidak dapat mengerti mengapa orang tak berdosa seperti dirinya dapat
mengalami begitu banyak kemalangan. (Bahkan kitab ini dibuka dengan pernyataan
bahwa ia adalah orang baik. Allah sendiri yang membanggabanggakannya: “Sebab
tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut
akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayub 1:8). Tetapi sahabat-sahabat Ayub
menyampaikan tuduhan keras dan panjang lebar bahwa pasti ada suatu alasan di
balik penderitaan Ayub. Ia pasti telah melakukan sesuatu yang menjijikkan dan
harus bertobat. Kemudian barulah Allah akan mengampuninya dan mengubah
kemalangannya menjadi sebuah berkat.
Dalam ayat hari ini penyair yang terinspirasi itu
bergumul dengan disonansi kognitif, yakni suatu keruwetan mental, emosional,
dan spiritual yang dialami seseorang tatkala dalil teologisnya tidak sesuai
dengan pengalaman hidupnya. Teori menyatakan satu hal, tapi pengalaman hidup
meruntuhkan teori itu. Kita dapat memilih satu dari beberapa sikap dalam
menghadpai disonansi kognitif. Kita dapat mengulang-ulang teori itu dengan
suara nyaring. Tanpa mempedulikan ketidaksesuaian dalil dan kenyataannya. Kita dapat
juga melepaskan teori itu, dan kehilangan kepercayaan kita padanya. Atau kita
dapat meninjau ulang itu bukti-bukti dan menyesuaikan teori, sambil tetap
memelihara iman kita.
Pemazmur pada akhirnya memilih yang terakhir. Ia tetap
memelihara kepercayaannya kepada Allah sambil juga mengakui bahwa ada teori
yang tidak sesuai—setidaknya dalam jangka pendek. Bagaimana pendapat Anda?
0 comments:
Post a Comment