“POTRET KASIH ALLAH”
19 Juni 2018
Apa yang Sesungguhnya Dikehendaki Allah?
“Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan
kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang
fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup… Mengapakah kamu akan mati, hai kaum
Israel?” (Yehezkiel 33:11).
Melalui nabi-nabi-Nya,
Allah meramalkan sebuah masa depan kelam yang akan menimpa umat-Nya—ramalan tentang
malapetaka yang dahsyat. Ia menjadi sakit hati karena mereka telah bersekutu
dengan kaum penyembah berhala dan karena telah ikut menyembah berhala, keduanya
disebabkan oleh ketidaksetiaan pada pernikahan dari pihak mereka. “Mereka
berzinah dengan menyembah berhala-berhalanya” (Yeh.23:37). Lebih buruk lagi,
korban yang mereka persembahkan bukan hanya kambing dan domba. Bahkan “anak-anak
lelaki mereka yang dilahirkan bagi-Ku dipersembahkannya sebagai korban dalam
api” (ay.37)—pengorbanan manusia.
TUHAN, memerintahkan, “Biarlah
bangkit sekumpulan orang melawan mereka dan biarkanlah mereka menjadi kengerian
dan rampasan. Kumpulan orang ini akan melontari mereka dengan batu dan memancung
mereka dengan pedangnya, membunuh anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan
mereka dan membakar habis rumah-rumah mereka” (ay.46,47). Ia melampiaskan
kekesalan-Nya kepada mereka dan berkata, “Aku ingin mentahirkan engkau, tetapi
engkau tidak menjadi tahir dari kenajisanmu, maka engkau tidak akan ditahirkan
lagi, sampai Aku melampiaskan amarah-Ku atasmu. Aku tidak melalaikannya dan
tidak merasa sayang, juga tidak menyesal” (Yeh.24:13,14).
TUHAN terdengar sangat
serius! Karena umat-Nya telah menghina-Nya Ia pun akan menghancurkan mereka. Tapi
terlepas dari hal buruk yang dimaksudkan-Nya, Allah mulai terdengar seolah-olah
Ia tidak memaksudkan apa yang dikatakan-Nya. Apakah TUHAN telah membuat ancaman
kosong? Tidak. Ia bersungguh-sungguh dalam setiap firman-Nya, namun di dalam
lubuk hati-Nya Ia berkehendak bukan menghancurkan, tetapi menyelamatkan. “Aku
tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada
pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup.”
Meskipun malapetaka yang
diramalkan-Nya tidak selalu diawali dengan kata “jika,” namun Ia dengan senang
hati akan membatalkan rencana-Nya itu apabila umat-Nya bertobat. Yang perlu
mereka lakukan adalah memohon pengampunan—dengan sungguh. Ramalan Allah tentang
kehancuran Yehuda menunjukkan kehendak-Nya yang hanya secuil untuk
menghancurkan, bukan tujuan sejati-Nya untuk menghidupkan. Kasih Allah, bukan
amarah-Nya, tidak pernah berubah. Ia mengancam dengan tujuan mulia demi
tercapainya perbaikan. Ia sangat menginginkan kalimat kutukan-Nya tidak jadi
kenyataan. Ramalan adalah hubungan antara Allah dan manusia. Aksi (dan reaksi)
dapat terjadi di kedua sisi ramalan tersebut.