Monday, June 18, 2018

Renungan Pagi 19 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
19 Juni 2018

Apa yang Sesungguhnya Dikehendaki Allah?
Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup… Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” (Yehezkiel 33:11).

Melalui nabi-nabi-Nya, Allah meramalkan sebuah masa depan kelam yang akan menimpa umat-Nya—ramalan tentang malapetaka yang dahsyat. Ia menjadi sakit hati karena mereka telah bersekutu dengan kaum penyembah berhala dan karena telah ikut menyembah berhala, keduanya disebabkan oleh ketidaksetiaan pada pernikahan dari pihak mereka. “Mereka berzinah dengan menyembah berhala-berhalanya” (Yeh.23:37). Lebih buruk lagi, korban yang mereka persembahkan bukan hanya kambing dan domba. Bahkan “anak-anak lelaki mereka yang dilahirkan bagi-Ku dipersembahkannya sebagai korban dalam api” (ay.37)—pengorbanan manusia.

TUHAN, memerintahkan, “Biarlah bangkit sekumpulan orang melawan mereka dan biarkanlah mereka menjadi kengerian dan rampasan. Kumpulan orang ini akan melontari mereka dengan batu dan memancung mereka dengan pedangnya, membunuh anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan mereka dan membakar habis rumah-rumah mereka” (ay.46,47). Ia melampiaskan kekesalan-Nya kepada mereka dan berkata, “Aku ingin mentahirkan engkau, tetapi engkau tidak menjadi tahir dari kenajisanmu, maka engkau tidak akan ditahirkan lagi, sampai Aku melampiaskan amarah-Ku atasmu. Aku tidak melalaikannya dan tidak merasa sayang, juga tidak menyesal” (Yeh.24:13,14).

TUHAN terdengar sangat serius! Karena umat-Nya telah menghina-Nya Ia pun akan menghancurkan mereka. Tapi terlepas dari hal buruk yang dimaksudkan-Nya, Allah mulai terdengar seolah-olah Ia tidak memaksudkan apa yang dikatakan-Nya. Apakah TUHAN telah membuat ancaman kosong? Tidak. Ia bersungguh-sungguh dalam setiap firman-Nya, namun di dalam lubuk hati-Nya Ia berkehendak bukan menghancurkan, tetapi menyelamatkan. “Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup.”

Meskipun malapetaka yang diramalkan-Nya tidak selalu diawali dengan kata “jika,” namun Ia dengan senang hati akan membatalkan rencana-Nya itu apabila umat-Nya bertobat. Yang perlu mereka lakukan adalah memohon pengampunan—dengan sungguh. Ramalan Allah tentang kehancuran Yehuda menunjukkan kehendak-Nya yang hanya secuil untuk menghancurkan, bukan tujuan sejati-Nya untuk menghidupkan. Kasih Allah, bukan amarah-Nya, tidak pernah berubah. Ia mengancam dengan tujuan mulia demi tercapainya perbaikan. Ia sangat menginginkan kalimat kutukan-Nya tidak jadi kenyataan. Ramalan adalah hubungan antara Allah dan manusia. Aksi (dan reaksi) dapat terjadi di kedua sisi ramalan tersebut.

Sunday, June 17, 2018

Renungan Pagi 18 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
18 Juni 2018

Tirus Diluluhlantakkan?
Mereka akan memusnahkan tembok-tembok Tirus…; dan akan Kujadikan dia gunung batu yang gundul. Ia akan menjadi penjemuran pukat di tengah lautan” (Yehezkiel 26:4).

Tirus telah menjadi sekutu umat Allah selama bertahun-tahun. Raja Hiram telah membantu proyek pembangunan bait suci Salomo dengan menyediakan bahan-bahan bangunan, tenaga kerja, dan transportasi. Tetapi ketika pasukan bersenjata Nebukadnezar menyerang Yerusalem (586 SM), Tirus bersorak-sorai. Tahun itu juga Allah memerintahkan Yehezkiel bernubuat tentang Tirus.

Kata-kata Yehezkiel jelas. “Mereka akan memusnahkan tembok-tembok Tirus dan meruntuhkan menara-menaranya, debu tanahnya akan Kubuang sampai bersih dari padanya dan akan Kujadikan dia gunung batu yang gundul” (Yeh.26:4). Pelaksana perintah surgawi ini pun disebutkan namanya: “Nebukadnezar… dengan memakai kuda, kereta, pasukan berkuda, dan sekumpulan tentara yang banyak” (ay.7). Pasukan tentara Nebukadnezar akan mendobrak benteng kota (ay.8). “Dengan kaki kuda-kudanya ia hendak menginjak-injak semua jalan-jalanmu, rakyatmu akan dibunuh dengan pedang… Mereka akan meruntuhkan tembok-tembokmu dan merobohkan rumah-rumahmu yang indah; batumu, kayumu dan tanahmu akan dibuang ke dalam air” (ay.11,12). Tirus akan diluluhlantakkan sehingga tak dapat dibangun kembali—lenyap selama-lamanya (ay.14; 27:36; 28:19).

Selama 13 tahun bala tentara Nebukadnezar mengepung benteng kelompok itu, dan meskipun rakyat Tirus sangat menderita karenanya, peluluhlantakan yang dinubuatkan oleh Yehezkiel tak pernah terjadi—setidaknya bukan disebabkan oleh serangan Nebukadnezar. Nayatanya Tirus semakin kuat, meskipun menjadi jajahan Babel. Baru berselang 200 tahun kemudian Alexander Agung membangun jalur lintasan dari daratan ke pulau tersebut, dan menghancurkan kota itu. Bagaimana Tirus saat ini, di abad ke-21? Terlepas dari tekad Yehezkiel yang menghendaki Tirus lenyap selama-lamanya, hari ini Tirus menjadi salah satu kota besar di Libanon.

Loh, nubuatan gagal? Bahkan Allah mengakui kegagalan itu dan berjanji untuk memberikan Mesir kepada Nebukadnezar sebagai hadiah penghibur (Yeh.29:17-20).

Nubuatan itu tidak harus terjadi. Karena sang Pencipta telah memberikan kehendak bebas kepada manusia, kemahatahuan-Nya menjadi terbagi, pernyataan yang nampaknya bertentangan. Allah tidak mengetahui pilihan-pilihan di masa depan, karena kita belum membuat pilihan-pilihan itu. Bagaimana cara orang bereaksi—baik positif maupun negative—dapat mengubah hasil sebuah nubuatan. Allah boleh jadi telah menghendaki terjadinya sebuah nubuatan, tetapi Ia tidak mesti dan tidak selalu melaksanakannya.

Renungan Pagi 17 Juni 2018




“POTRET KASIH ALLAH”
17 Juni 2018

Siapa Mati untuk Siapa?
Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (Yehezkiel 18:4).

Yehezkiel 18:4 menjadi ayat favorit para penginjil Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang ingin menekankan bahwa jiwa tidaklah kekal. Ia fana. Tentu saja tidak ada di antara kita yang akan mendebat teologi itu, meskipun kebanyakan orang Kristen mempercayai kebakaan jiwa. Namun demikian, apakah Yehezkiel 18:4 berbicara tentang keadaan orang mati? Bukan. Ayat ini menekankan hal penting lainnya, yang membantah pendapat umum di kalangan orang Israel zaman itu, dan juga pandangan orang Kristen modern masa kini.

Ungkapan yang umum di kalangan itu adalah: “Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu” (ay.2). Maksud dari peribahasa itu adalah bahwa Allah meminta pertanggungjawaban orang atas kesalahan orang tua dan leluhur mereka, serta menghukum mereka berdasarkan itu.

Konsep itu memiliki latar belakang yang kuat. Itu bahkan disinggung dalam Sepuluh Perintah Allah: “Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat” (Kel.20:5). Bukan hanya generasi berikutnya yang mendapat hukuman karena dosa bawaan mereka—hukuman itu berlanjut ke para cucu dan cicit. Dan di dalam Bilangan 14:8 Musa menggemakan konsep kesalahan dan hukuman yang dapat diturunkan dari generasi ke generasi itu.

Tidak demikian, Allah memberitahukan Yehezkiel. Itu bukanlah teologi yang baik. Orang tak bersalah tidak akan menderita hukuman Ilahi menggantikan orang lain yang bersalah. Seorang yang baik “ tidak akan mati karena kesalahan ayahnya, ia pasti hidup” (Yeh.18:17). Demikian selanjutnya ayat 18 menjungkirbalikkan peribahasa kuno itu. “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya” (ay.20).

Kata-kata Yehezkiel pastilah membuat kegemparan di tengah-tengah pendengarnya. Siapakah orang ini yang berbeda pendapat dengan Sepuluh Hukum dan dengan Musa? Namun demikian inilah saatnya bagi Allah untuk membuat masalahnya menjadi terang benderang. Betul, Ia akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatan mereka, tetapi hukuman Hakim surgawi akan dijatuhkan pribadi lepas pribadi—hanya kepada pelaku kesalahan.


Namun jika kita mau, kita dapat terbebas dari hukuman yang sejatinya milik kita. Yang perlu kita lakukan adalah dengan menerima anugerah penebusan dari-Nya.

Renungan Pagi 16 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
16 Juni 2018

Allah Menyuruhku Melakukannya
Makanlah roti itu seperti roti jelai yang bundar dan engkau harus membakarnya di atas kotoran manusia yang sudah kering di hadapan mereka” (Yehezkiel 4:12).

“Allah mengatakannya; saya percaya,” “Allah menyuruhku melakukannya; saya lakukan.” Pernah mendengar pernyataan semacam itu? Apakah cetusan perasaan yang mereka ungkapkan itu benar? Apakah baik menuruti sesuatu secara membabi-buta… bahkan Allah? Apa pendapat Anda?

Ketika Yehezkiel berbaring di sisi kiri badannya selama 390 hari dan di sisi kanan badannya selama 40 hari, ia makan menu harian yang sudah ditentukan pula yaitu dua ons gandum, jelai, kacang merah besar, kacang merah kecil, jawan dan sekoi, bersama dengan tiga perempat liter air (Yeh.4:9-11). Allah juga menyuruhnya menyantap makanan serba sedikit itu di hadapan umum, sehingga semua orang dapat melihatnya. Allah berfirman, “Engkau harus membakarnya di atas kotoran manusia yang sudah kering di hadapan mereka.”

Makanan yang diresepkan Allah ini membuat Yehezkiel merasa jijik, karena menggunakan kotoran manusia dianggap tidak bersih, sehingga ia memberanikan dirinya untuk memprotes, “Aduh, TUHAN Allah, sesungguhnya, aku tak pernah dinajiskan” (ay.14). Sebagai imam, Yehezkiel berhati-hati agar dirinya bersih dari hal-hal yang menajiskan, sesuai perintah Allah. Lalu TUHAN memperbolehkan Yehezkiel menggunakan kotoran lembu sebagai pengganti kotoran manusia. Yehezkiel tidak secara membabi-buta mematuhi, hanya semata-mata karena Allah menyuruhnya.

Ada yang bertanya-tanya, apakah yang terjadi jika Abraham (orang yang suka berdebat dengan Allah) berdebat ketika Allah menyuruhnya mempersembahkan Ishak sebagai korban di Gunung Moria. Apakah Allah akan mengalah seperti sebelumnya? Apakah Abraham (dan Ishak) harus begitu saja menanggung siksaan itu dengan membisu?

Di antara zaman Abraham dan Yehezkiel, Allah pernah pula memberikan perintah yang jelas, kali ini kepada Musa, yang menolak untuk patuh begitu saja. Ia pun mencoba beradu pendapat dengan Allah—dan menang (Kel.32:7-14)!

Dalam tiga kasus di dalam Alkitab itu kita menemukan dua di antaranya menolak untuk patuh secara membabi-buta, dan memilih untuk memberikan pendapat berbeda atas kata-kata TUHAN yang sudah jelas. Ketiganya merupakan perintah yang menyerang secara moral dan spiritual. Dan Allah tidak berkeberatan untuk mengalah dalam perdebatan dengan pengikut-pengikut setia-Nya. Apakah dengan bertentangan terhadap pendapat umum—Allah tidak menghargai kepatuhan membabi-buta terhadap kata-kata-Nya yang sudah jelas? Mungkin Allah mengirimkan penyataan-Nya bukan untuk membuat kita berhenti berpikir, tetapi malahan untuk memacu sebuah tindakan yang penuh pertimbangan.

Renungan Pagi 15 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
15 Juni 2018

Makanan Jiwa
Lalu firman-Nya kepadaku: “Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu.’Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku”’ (Yehezkiel 3:3).

Yehezkiel adalah seorang imam. Tetapi sekarang ia menjadi satu dari 10.000 tawanan perang yang dibawa oleh Nebukadnezar ke Babel setelah penyerangannya ke Yerusalem pada tahun 597 SM. Yehezkiel tidak lagi dapat mewakili rakyatnya untuk mendekati Tuhan. Jadi selama bulan juli 593 SM, Allah mengganti tugas Yehezkiel dari imam menjadi nabi. Sekarang ia akan berbicara kepada rakyatnya untuk Allah.

Setelah menerima penglihatan yang mencengangkan tentang makluk aneh berkepala empat dengan empat sayap dan memiliki roda yang ditengah-tengahnya terdapat roda lagi, Yehezkiel mendengar Allah berfirman, “Ngangakanlah mulutmu dan makanlah apa yang Kuberikan kepadamu.” (Yeh.2:8). Dan ia melihat di tangan Allah “sebuah gulungan kitab… Gulungan kitab itu ditulisi timbal balik” (ay.9,10). Allah mengulangi perintahnya dua kali lagi: “Makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel” (Yeh.3:1).

Makanan yang unik, sebuah gulungan kitab. Lembaran kitab-kitab itu terbuat dari bilah-bilah yang diambil dari batang alang-alang papyrus. Bilah-bilah ini disusun anyam, lalu dibalur dengan air dan/atau lem, ditumbuk, lalu dikeringkan sambil dihimpit (hingga berupa lembaran tipis), dan kemudian digosok hingga halus menggunakan batu. Begitu kuatnya lembaran “kertas” itu hingga bisa bertahan ribuan tahun. Bahkan sepatu pun dibuat dari bahan yang sama. Dan Yehezkiel harus mengunyah gulungan panjang kitab itu lalu menelannya, dan itu dilakukannya. Dan rasanya seperti panganan pencuci mulut, manis seperti madu. Allah lalu menyuruh Yehezkiel menyampaikan Firman-Nya kepada bangsa itu.

Kita dapat mengartikan gambaran penyataan dan inspirasi ini dengan beberapa cara. Salah satunya, adalah dengan menyimpulkannya sebagai inspirasi verbal. Allah menyediakan kata-kata yang tepat kemudian para nabi menelan kata-kata itu, hanya untuk memuntahkannya kembali kepada umat—kata-kata yang masuk sama dengan kata-kata yang keluar. Cara lain adalah, dengan mengartikannya sebagai inspirasi pemikiran. Allah memberikan penyataan, yang dicerna oleh para nabi sehingga melebur dalam diri mereka. Kemudian mereka membagikan pesan yang sudah berubah bentuk (karena dicerna dan diserap) ini dalam kata-kata dan gaya bahasa mereka. Yang terakhir ini adalah pengertian resmi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh terhadap penyataan dan inspirasi yang dinamis.

“Alkitab ditulis oleh para penulis yang terinspirasi, tetapi [tulisan tersebut] bukanlah cara berpikir dan ungkapan [langsung dari] Allah. Itu adalah [tulisan] manusiawi. Allah, sebagai pengarang, tidak diwakili… Allah tidak menaruh diri-Nya dalam kata-kata, logika, retorika, yang tertuang di dalam Alkitab… Bukan kata-kata Alkitab itu yang terinspirasi, tetapi para penulisnya itulah yang terinspirasi” (Selected Messages, jilid 1 hlm.21).

Renungan Pagi 14 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
14 Juni 2018

Yehezkiel yang Aneh
Datanglah firman TUHAN kepada imam Yehezkiel, anak Busi, di negeri orang Kasdim di tepi sungai Kebar, dan di sana kekuasaan TUHAN meliputi dia” (Yehezkiel 1:3).

Nabi Yehezkiel dan kitab yang ditulisnya, sama-sama membingungkan. Sehingga ketika menemukan beberapa masalah di dalamnya, para rabi (terutama dari Aliran Shammai) memperdebatkan posisi kitab ini di dalam kanon Alkitab. Apa yang membingungkan—kalau tidak dapat disebut aneh—dari Yehezkiel?

Pertama, kepribadiannya agak eksentrik. Nabi-nabi yang gembira luar biasa sudah bukan zamannya lagi pada masa itu, seiring berlalunya Elia dan Elisa. Namun Yehezkiel lebih mirip angkatan mereka ketimbang angkatan Yoel, Amos, Yesaya, Yeremia dkk. Ia mengatakan telah dirasuki oleh Roh (Yeh.2:2). Ia mengaku telah diangkat oleh tangan Allah (Yeh.3:14), pada suatu ketika menjambak rambutnya dan membawanya sejauh 800 km ke Yerusalem (Yeh.8:3). Ia menjadi bisu selama beberapa waktu (Yeh.3:26; 24:27). Beberapa pelajar Alkitab berspekulasi bahwa ia memang sakit secara mental.

Kedua, perilaku kenabiannya agak sedikit ganjil. Ia berbaring di sisi kiri badannya selama 390 hari dan pada sisi kanannya selama 40 hari kemudian (Yeh.4:4-6). Ia memotong rambutnya dan membaginya menjadi tiga bagian, membagar sepertiganya, mencincang dengan pedang sepertiganya dan sisanya dihamburkan ke udara (Yeh.5:1-4). Ia menghancurkan sebagian rumahnya dengan mengali dinding menggunakan tangan kosong (Yeh.12:7). Ketika istrinya mati tiba-tiba, ia tidak meratapinya (Yeh.24:16-18) karena diperintahkan demikian oleh Allah.

Ketiga, tulisan-tulisanya mengandung unsur-unsur yang ganjil—bahkan tak senonoh. Di pasal 16 Allah digambarkan melakukan hubungan sumbang, dan pada pasal 23 ia menggunakan bahasa erotis. Beberapa dari gambarannya sangat berbelit-belit dan sulit dicerna (Yeh. 1 dan 10). Kitabnya juga mengandung unsur-unsur yang nampaknya bertentangan dengan tulisan yang terinspirasi (Yeh.18:20).

Keempat, kenabiannya tidak menyengat—ya, lemah. (Kita akan membahasnya lagi nanti. Sebagai contoh, gambarannya yang panjang lebar tentang pembangunan kembali bait suci dan pelayanannya tak pernah terjadi.)

Namun demikian, Allah menggunakan orang yang aneh ini, boleh jadi tidak normal, menjadi pelayan-Nya sebagai nabi. Anda lihat, Allah menggunakan semua dari kita, terlepas dari kelemahan dan keanehan kita.

Renungan Pagi 13 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
13 Juni 2018

Seberkas Harapan
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22,23).

Salah satu lagu rohani yang dikenal orang berjudul “Besarlah Ya Tuhan Kasih Setia-Mu” (Lagu Sion No.89). Di tahun 1923, Thomas O. Chisholm menulis liriknya dan beberapa tahun kemudian William N. Runyan menggubah musiknya. Bagian reffrainnya menuangkan Ratapan 3:22,23 dalam bentuk lagu pujian, tentang iman. Syair dan nadanya sunggh tak mudah dilupakan.

Serangan tentara Babel di bawah perintah Raja Nebukadnezar sangat mengerikan. Jika bukan pengepungan itu, di satu sisi, yang menyebabkan kehilangan, maka dibuangnya mereka yang hidup ke Babel, di sisi lain, yang menjadi alasan untuk berduka. Dan memang benar, kitab Ratapan hampir tiada hentinya menggambarkan penghancuran yang terjadi.

“Anak-anak Sion yang berharga… dianggap belanga-belanga tanah buatan tangan tukang periuk” (Rat.4:2). “Lidah bayi melekat pada langit-langit karena haus” (ay.4). “Yang biasa duduk di atas bantal kirmizi terbaring di timbunan sampah” (ay.5). “Lebih bahagia mereka yang gugur karena pedang dari pada mereka yang tewas karena lapar” (ay.9). “dengan tangan sendiri wanita yang lemah lembut memasak kanak-kanak mereka” (ay.10). “Kami menjadi anak yatim, tak punya bapa, dan ibu kami seperti janda. Air kami kami minum dengan membayar” (Rat.5:3,4). “Mereka memperkosa wanita-wanita di Sion dan gadis-gadis di kota-kota Yehuda” (ay.11).

Bencana yang menimpa Yehuda sangatlah buruk! Demikianlah kitab Ratapan mengakhirinya dengan kata-kata yang buruk pula: “Engkau sudah membuang kami sama sekali” ay.22). Namun demikian di pasal sebelumnya (pasal 3) kita menemukan secercah harapan. Setelah hari-hari suram itu, mungkin—hanya mungkin—saat-saat yang lebih baik akan kembali. (Di dalam kitab Yeremia kita mempelajari bahwa memerlukan waktu 70 tahun—dua generasi—sebelum saat-saat yang baik itu bergulir kembali.) “Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap” (Rat.3:21).

Tetapi di manakah dasar untuk menaruh harapan itu ditemukan? Bukan pada Nebukadnezar. Bukan pada Yeremia. Bukan pada bait suci. Satu hal yang merupakan dasar yang benar adalah sifat Allah sendiri. Allah tidak dapat menahan diri-Nya untuk tidak menolong! Karena sifat, atau karakter-Nya, kita dapat melihat seberkas harapan. “Kasih-Mu kekal tak pernah berubah. Tak berkesudahan selamanya… Setiap pagi rahmat-Mu baru… Besar setia-Mu kepadaku.” Dan Ia masih sama hingga hari ini!

Renungan Pagi 12 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
12 Juni 2018

Teologi “Siapa yang Bersalah”
Laksana beruang Ia menghadang aku, laksana singa dalam tempat persembunyian. Ia… merobek-robek aku dan membuat aku tertegun” (Ratapan 3:10,11).

Kitab Ratapan penuh dengan gambaran nyata tentang TUHAN sebagai musuh umat-Nya. Kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya mengandung referensi yang sama tentang Allah sebagai penyebab bencana, penyakit, dan kematian, tetapi Ratapan kelihatannya penuh dengan referensi semacam itu.

Nebukadnezar, raja Babel, telah 3 kali menghancurkan Yerusalem: tahun 605 SM, tahun 597 SM, dan (dengan akibat yang luar biasa) di tahun 56 SM.
Dalam cara yang sama, kehancuran kota kuno itu tertanam dalam ingatan orang Yahudi seperti halnya pembasmian etnis yang dilakukan Hitler lebih dari 2.500 tahun kemudian. Kehancuran itulah yang diratapi di dalam kitab ini.

Tentu saja penderitaan semacam itu membutuhkan pembenaran, dan kita menemukannya di sepanjang kitab Ratapan. “TUHAN membuatnya merana” (Rat.1:5). “TUHAN… murka-Nya menyala-nyala!” (ay.12). “Aku dibuat-Nya terkejut, kesakitan sepanjang hari” (ay.13). “tanpa belas kasihan TUHAN memusnahkan” (Rat.2:2). “Tuhan menjadi seperti seorang seteru; Ia menghancurkan Israel” (ay.5). “TUHAN telah memutuskan untuk mempuingkan tembok puteri Sion” (ay.8). “Engkau membunuh mereka tatkala Engkau murka, tanpa belas kasihan Engkau menyembelih mereka!” (ay.21). “Aku dipukul-Nya berulang-ulang” (Rat.3.;3). “Ia menyusupkan ke dalam hatiku segala anak panah” (ay/13). “TUHAN melepaskan segenap amarah-Nya” (Rat.4:11). Dan ini: “Bukankah dari… Yang Mahatinggi keluar apa yang buruk dan apa yang baik?” (Rat.3:38).

Apa yang harus kita perbuat dengan teologi ini—bahwa ketika tiba pada bencana, penyakit, dan kematian, Allah menjadi jawaban dari pertanyaan “siapa yang melakukannya?” Apakah benar bahwa Ia adalah sumber dari penderitaan manusia—bahkan penderitaan dari umat-Nya sendiri? Khususnya sejak pembasmian etnis, kebanyakan ahli teologi akan menggemakan kata tidak. Tetapi mengapa Alkitab mengatakannya demikian?

Beberapa alasan dapat ditegakkan. Barangkali masyarakat Timur Dekat kuno tidak mengerti hubungan sebab akibat seperti yang kita ketahui. Mungkin di hadapan politeisme yang merajalela—bahkan di antara pilihan-Nya—TUHAN merasa terpanggil untuk memborong semua tanggung jawab atas semua yang terjadi untuk mempertahankan monoteisme. Dan hampir semua pertanyaan di atas tertuang dalam bahasa afektif, yang mengungkapkan dan membangkitkan emosi. Bahasa kognitiflah yang kita pergunakan untuk menyampaikan gagasan teologis dan filosofis. Sehingga tidak bijak jika kita merumuskan teologi dari ucapan-ucapan afektif, karena hal itu berada di luar fungsinya. Lebih baik kiranya jika kita membacanya dan turut berduka bersama mereka yang menderita.

Renungan Pagi 11 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
11 Juni 2018

Barometer Berkat Allah
Kami akan… membakar korban kepada ratu sorga dan mempersembahkan korban curahan kepadanya seperti telah kami lakukan, kami sendiri dan nenek moyang kami… di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem. Pada waktu itu kami mempunyai cukup makanan; kami merasa bahagia dan tidak mengalami penderitaan” (Yeremia 44:17).

Nasib Yeremia akhir-akhir ini mengerikan. Tiga kali dia dipenjara, dan sampai pada satu titik yang menghancurkan hidupnya. Untunglah, Nebukadnezar memperlakukannya dengan lebih hormat dan ramah dibandingkan raja sebangsanya, dengan memberikannya kuasa penuh untuk tinggal di mana pun yang dikehendakinya. Sekarang sang nabi ditemani sepasukan pengawal menuju ke Mesir di selatan. Pada titik inilah sekelompok pemimpin mendekatinya, dan mendesaknya untuk mendoakannya agar “TUHAN, Allahmu, memberitahukan kepada kami jalan yang harus kami tempuh dan apa yang harus kami lakukan” (Yer.42:3). Mereka berjanji, “Maupun baik ataupun buruk, kami akan mendengarkan suara TUHAN” (ay.6).

Tetapi mereka tidak menyukai nasihat yang diberikan Yeremia agar tidak menetap di Mesir dan tetap berangkat ke sana, dan bersikukuh tidak menaati nasihat Allah. Mereka menetap di kota Tahpanhes, di mana sekali lagi mereka menentang Yeremia dengan memberontak kepada kehendak Allah. Kali ini mereka dengan tak malu menyampaikan niat mereka untuk menyembah dewi Mesopotamia, Istar, yang dikenal sebagai “Ratu Surga.” (Bahwa dewi Asyur-Babel ini digandrungi di Yehuda didukung oleh ditemukannya bukti arkeologis berupa 800 arca patung di Yehuda, di mana hampir separuhnya ditemukan di kota Yerusalem sendiri).

Pembenaran bagi mereka untuk terus menyembah Istar cukup jelas: segalanya berlangsung baik bagi mereka—makanan dan kekayaan—ketika mereka menyembah dia, tetapi mereka mengalami kemalangan ketika mengubah cara hidup mereka dan menyembah TUHAN. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kita dapat mengukur kebahagiaan surgawi.

Hari ini kita mendengar hal yang serupa ketika para pengkhotbah terkenal mengkhotbahkan injil kemakmuran: Hal-hal baik akan dialami oleh mereka yang menyembah Allah karena kekayaan menjadi barometer bahwa Allah tersenyum. (Kebalikannya juga dianggap demikian: Hal-hal buruk menjadi pertanda bahwa Allah tidak setuju.) apakah dengan demikian berarti Allah sangat senang pada Bill Gates dan yayasan karitatifnya (yang bernilai $33,4 milyar) ketimbang seorang janda yang menyumbang hanya dua peser (setara $0,00176)?

Apakah asap daput yang mengepul dan rekening bank yang gemuk menjadi ukuran terbaik bagi kasih Allah? Tidak. Inilah ukuran terbaik kasih Allah—Yesus Kristus.