Sunday, June 17, 2018

Renungan Pagi 16 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
16 Juni 2018

Allah Menyuruhku Melakukannya
Makanlah roti itu seperti roti jelai yang bundar dan engkau harus membakarnya di atas kotoran manusia yang sudah kering di hadapan mereka” (Yehezkiel 4:12).

“Allah mengatakannya; saya percaya,” “Allah menyuruhku melakukannya; saya lakukan.” Pernah mendengar pernyataan semacam itu? Apakah cetusan perasaan yang mereka ungkapkan itu benar? Apakah baik menuruti sesuatu secara membabi-buta… bahkan Allah? Apa pendapat Anda?

Ketika Yehezkiel berbaring di sisi kiri badannya selama 390 hari dan di sisi kanan badannya selama 40 hari, ia makan menu harian yang sudah ditentukan pula yaitu dua ons gandum, jelai, kacang merah besar, kacang merah kecil, jawan dan sekoi, bersama dengan tiga perempat liter air (Yeh.4:9-11). Allah juga menyuruhnya menyantap makanan serba sedikit itu di hadapan umum, sehingga semua orang dapat melihatnya. Allah berfirman, “Engkau harus membakarnya di atas kotoran manusia yang sudah kering di hadapan mereka.”

Makanan yang diresepkan Allah ini membuat Yehezkiel merasa jijik, karena menggunakan kotoran manusia dianggap tidak bersih, sehingga ia memberanikan dirinya untuk memprotes, “Aduh, TUHAN Allah, sesungguhnya, aku tak pernah dinajiskan” (ay.14). Sebagai imam, Yehezkiel berhati-hati agar dirinya bersih dari hal-hal yang menajiskan, sesuai perintah Allah. Lalu TUHAN memperbolehkan Yehezkiel menggunakan kotoran lembu sebagai pengganti kotoran manusia. Yehezkiel tidak secara membabi-buta mematuhi, hanya semata-mata karena Allah menyuruhnya.

Ada yang bertanya-tanya, apakah yang terjadi jika Abraham (orang yang suka berdebat dengan Allah) berdebat ketika Allah menyuruhnya mempersembahkan Ishak sebagai korban di Gunung Moria. Apakah Allah akan mengalah seperti sebelumnya? Apakah Abraham (dan Ishak) harus begitu saja menanggung siksaan itu dengan membisu?

Di antara zaman Abraham dan Yehezkiel, Allah pernah pula memberikan perintah yang jelas, kali ini kepada Musa, yang menolak untuk patuh begitu saja. Ia pun mencoba beradu pendapat dengan Allah—dan menang (Kel.32:7-14)!

Dalam tiga kasus di dalam Alkitab itu kita menemukan dua di antaranya menolak untuk patuh secara membabi-buta, dan memilih untuk memberikan pendapat berbeda atas kata-kata TUHAN yang sudah jelas. Ketiganya merupakan perintah yang menyerang secara moral dan spiritual. Dan Allah tidak berkeberatan untuk mengalah dalam perdebatan dengan pengikut-pengikut setia-Nya. Apakah dengan bertentangan terhadap pendapat umum—Allah tidak menghargai kepatuhan membabi-buta terhadap kata-kata-Nya yang sudah jelas? Mungkin Allah mengirimkan penyataan-Nya bukan untuk membuat kita berhenti berpikir, tetapi malahan untuk memacu sebuah tindakan yang penuh pertimbangan.

0 comments:

Post a Comment