Friday, May 25, 2018

Renungan Pagi 26 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
26 Mei 2018

Adakah Harapan bagi Mereka yang Bertindak Bodoh?
Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya” (Yesaya 1:3).
Sangat sulit dipercaya, tetapi TUHAN yang telah lama menderita menyatakannya! Anak-anak-Nya telah menolak-Nya. Mengapa, bahkan seekor hewan dungu seperti keledai dan lembu saja menghargai perhatian yang dicurahkan pemilik mereka. Tetapi Israel tidak! Mereka bersikap lebih buruk daripada keledai jantan! Mereka menyembah berhala. Mereka mendambakan kejahatan dan mengabaikan keadilan, menambah duka kaum tertindas. Mereka menyiksa anak-anak yatim, menipu janda-janda. Namun mereka dengan lancang masih mempersembahkan hewan korban di bait suci, dan menyangka dapat menyenangkan hati Allah. Tapi Allah menghardik: “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?... ‘Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran’” (Yes.1:11).
Di masyarakat Timur Dekat kuno, para ayah tidak tahu cara memanjakan anak-anak mereka. Joseph Blenkinsopp dalam tafsiran Yesaya 1-39 Anchor bible-nya berbicara tentang kerasnya hajaran yang harus diberikan TUHAN kepada anak-anak-Nya yang memberontak, yang demikian “keras hingga membahayakan, bahkan dalam ukuran kekerasan… di Timur Dekat kuno” (hlm.183). Allah menggambarkan kondisi mereka setelah dihajar oleh-Nya. “Seluruh kepala sakit… Dari telapak kami sampai kepala tidak ada yang sehat: bengkak dan bilur dan luka baru, tidak dipijit dan tidak dibalut dan tidak ditaruh minyak” (Yes.1:5,6). Allah menaruh kata-kata di mulut anak-anak-Nya yang durhaka, dalam erang kesakitan, “Seandainya TUHAN semesta alam tidak meninggalkan pada kita sedikit orang yang terlepas, kita sudah menjadi seperti Sodom, dan sama seperti Gomora” (ay.9).
Allah bahkan berkata bahwa telinga-Nya telah tuli terhadap mereka. “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya” (ay.15). Sungguh tanpa harapan.
Tetapi lengking suara Allah melunak sedikit. “Marilah, baiklah kita berperkara!” (ay.18). Blenkinsopp mengartikan bahwa Allah menginginkan mereka duduk di pengadilan untuk menghindari penderitaan lebih lanjut (hlm.185). “Sekalipun dosamu merah seperti kermizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba” (ay.18). Allah menawarkan harapan bagi kita yang bertingkah seperti keledai jantan! Ketika kita meninggalkan cara hidup yang jahat (ay.16) dan berbuat baik kepada mereka yang terpinggirkan. Allah—jika kita membiarkan-Nya menolong kita (ay.19)—anugerah-Nya yang ajaib akan bekerja, menghapuskan noda kirmizi yang ditinggalkan dosa kita dan membuat kita seputih salju atau bulu domba.


Thursday, May 24, 2018

Renungan Pagi 25 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
25 Mei 2018

Merayakan Percintaan
Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku” (Kidung Agung 2:6).
Beberapa penulis Kristen injili berpendapat bahwa Kidung Agung adalah buku petunjuk bercinta. Oleh sebab itu, setiap praktik erotis yang tertuang di dalam buku Alkitabiah ini, boleh digunakan oleh pasangan suami istri Kristen yang konservatif. Apakah Kidung Agung merupakan buku petunjuk erotis bisa diperdebatkan. Namun demikian, mereka yang memiliki cara pandang ini tidak terlalu jauh dari kebenaran, karena mereka dengan jujur mengakui kandungan erotis di dalam kitab ini. Pada kenyataannya, terdapat tiga tingkat gambaran erotis di dalam kitab kanonik ini: (1) beberapa gambaran yang nyata-nyata erotis, (2) beberapa gambaran yang agak kabur namun dapat dimengerti setelah sedikit direnungkan, dan akhirnya (3) beberapa gambaran yang berisi kiasan yang tidak jelas bagi pembaca modern namun cukup blak-blakan untuk pembaca di zamannya.
Gambaran yang nyata-nyata erotis—Pembaca tidak perlu benar-benar fokus untuk menangkap beberapa bahasa gambar yang terdapat di dalam Kidung ini. Ayat kita hari ini menyajikan contoh yang baik: “Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku.” Jelas sekali kata-kata ini dimaksudkan lebih dari sekedar pelukan hangat. “Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung” (Kid.4:5). Gambaran “dewasa” ini tidak membutuhkan penjelasan lagi.
Gambaran yang agak kabur—Perhatikan ayat ini: “sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya. Kataku: ‘Aku ingin memanjat pohon korma itu dan memegang gugusan-gugusannya”’ (Kid.7:7,8). Dibutuhkan sedikit imajinasi untuk dapat mengerti implikasi dari gambaran itu.
Gambaran yang berisi kiasan yang tidak jelas—“Kekasihku memasukkan tangannya melalui lobang pintu, berdebar-debarlah hatiku. Aku bangun untuk membuka pintu bagi kekasihku, tanganku bertetesan mur; bertetesan cairan mur jari-jariku pada pegangan kancing pintu” (Kid.5:4,5). Pada pembacaan pertama, bahasanya kelihatan seperti merujuk pada lubang kunci sebuah daun pintu kuno, yang lubangnya cukup besar untuk tangan seorang pria karena seringkali anak kuncinya pun sangat besar. Tetapi ketika seseorang belajar bahwa dalam Bahasa Ibrani kata “tangan” dapat diartikan sebagai organ seks pria, maka Bahasa di dalam konteks ini nampaknya merujuk pada kondisi sebelum dilakukannya percintaan.
Mungkin keterusterangan yang blak-blakan di dalam Firman Allah ini semestinya mendorong kita yang terkurung budaya Vicotria untuk menyingkirkan kemunafikan dan mensyukuri seksualitas yang dianugerahkan Allah bagi kita.

Wednesday, May 23, 2018

Renungan Pagi 24 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
24 Mei 2018

Untuk Kekasih…
Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur” (Kidung Agung 1:2).
Bacaan renungan macam apa yang ditulis di dalam kitab Kidung Agung ini? Jika Anda seperti saya, Anda tidak dapat mengingat kapan terakhir kalinya Anda mendengar khotbah yang berdasarkan bagian Alkitab yang membingungkan ini. Kitab ini mungkin harus di beri label “D” (dewasa), kalau bukan “X”! Marilah kita akui, membaca buku ini bahkan untuk diri sendiripun agak membuat jengah, apalagi membacanya dengan suara keras… baik di rumah atau di gereja.
Mengapa syair erotis semacam itu menjadi bagian kanon suci telah menjadi teka-teki bagi para pelajar Kitab Suci di sepanjang sejarah. Meskipun sebagian kitab Perjanjian Lama dikutip oleh penulis kitab Perjanjian Baru, kita tidak menemukan kutipan dari kitab ini di dalam Kitab Suci Kristiani, bahkan disinggung pun tidak. Bahkan para rabi di Jamnia berdebat tentang pantas atau tidaknya kitab ini menjadi bagian dari Tulisan Suci. Untuk mendukung dimasukkannya kitab ini ke dalam Alkitab, beberapa penerjemah—baik orang Yahudi maupun Kristiani—mencari jalan dengan menyebutkan sebagai sebuah alegori (memiliki makna kiasan). Para ahli alegori Yahudi mengartikan isi kitab itu sebagai gambaran hubungan Yahwe dengan Israel, bangsa pilihan-Nya, mempelai-Nya. Beberapa penafsir Kristiani (yang pertama adalah Hippolytus [sekitar tahun 2000]) telah menganggapnya sebagai lukisan hubungan Yesus Kristus dengan jemaat, mempelai-Nya. Meskipun benar bahwa penggambaran pernikahan Allah dengan umat-Nya dapat ditemukan di Kitab Suci Yahudi maupun Kristiani, namun apa yang digambarkan oleh Kidung Agung tetap tidak masuk akal.
Salah satu masalah yang muncul dalam pendekatan alegoris adalah bahwa ada ketidaksesuaian di dalam detil-detilnya. Sebagai contoh, anggaplah Yesus sebagai mempelai pria dan gereja sebagai wanita kekasih-Nya. Buah dada sang wanita (“bagiku kekasihku bagaikan sebungkus mur, tersisip di antara buah dadaku” [Kid.1:13] ditafsirkan sebagai Perjanjian Lama dan Baru, tetapi jika itu masalahnya, bukankah lebih tepat menafsirkan itu sebagai organ Kristus, satu-satunya yang mengilhamkan Alkitab? Hal ini membuat orang yang mudah percaya berpikir bahwa gereja memiliki Perjanjian Lama dan baru dan Kristus berada di haribaan keduanya, mengambil sari makanan dari padanya, seperti yang dipaksakan oleh para ahli alegori.
Pendekatan terbaik kepada kitab yang aneh ini adalah bahwa ia berisikan contoh lagu asmara Timur Dekat kuno, seperti yang lazim ditemui di Mesir. Syair ini, dengan gambaran yang membumi, mungkin akan disingkirkan oleh pembacaan di Barat, merupakan perayaan sukacita memadu kasih dan dapat diterima luas di kalangan pelajar Alkitab.

Renungan Pagi 23 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
23 Mei 2018

Kesimpulan Semuanya
                               
Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (Pengkhotbah 12:13,14).
Seperti telah dicatat sebelumnya, banyak penekanan di dalam kitab Pengkhotbah yang nampaknya bertentangan dengan tradisi kebijaksanaan yang lebih konservatif di dalam kitab Amsal. Namun demikian perintah akhir di akhir kitab ini pastilah disetujui oleh para orang bijaksana tradisional.
Pernyataan penutup “akhir dari segala yang didengar” adalah istilah yang lazim untuk mengakhiri sebuah tulisan di ranah kesusasteraan Timur Dekat kuno. Ia adalah batu penjuru yang tepat, dan karena sifat konservatif dari nasihat yang mengikutinya, beberapa pelajar Alkitab berasumsi bahwa kata-kata penutup inilah yang menjadi tolak ukur dimasukkannya kitab Pengkhotbah di dalam kanon Alkitab.
Ringkasan tulisan dari segala yang telah didengar ini disebut mencakup “kewajiban setiap orang” (Pkh.12:13). Kata-kata Ibrani yang digunakan di sini agak panjang lebar sehingga dapat diterjemahkan dalam beberapa cara, meskipun hanya merupakan variasi dari sebuah tema tunggal. “karena ini adalah kewajiban setiap manusia” (KJV, NIV, RSV), “ini adalah kewajiban setiap orang” (NLT), “ini berlaku untuk setiap orang” (NASB), “itu adalah kewajiban setiap orang” (NRSV), “tak ada lagi bagi manusia selain ini” (NEB), dan “ini adalah hal terpenting yang dapat dilakukan orang” (ICB).
Ada dua unsur yang membentuk kesimpulan itu. Keduanya pantas untuk mendapat penekanan, dan keduanya merupakan bahsa performatif, yaitu berupa perintah yang diharapkan bisa membuahkan hasil.
Pertama, “takutlah akan Allah.” Orang Ibrani memiliki alasan untuk memandang Allah dengan takjub karena ketegasan-Nya, tetapi gagasan takut di sini mencakup lebih dari sekedar kengerian belaka. Terbungkus di dalam perintah itu adalah rasa hormat kepada Allah. Kata “takut” dapat juga diterjemahkan dengan kata kerja “hormat” atau “takzim.”
Kedua, “berpeganglah pada perintah-perintah-Nya” (ay.13). Jika frasa pertama menasihatkan sebuah sikap, maka yang kedua mendorong suatu tindakan. Menghormati TUHAN mensyaratkan kepatuhan kepada-Nya. Memang di alam pikiran orang Ibrani, pikiran dan perbuatan berjalan seiring. Yang satu menuntun yang lain.
Penulis kitab Pengkhotbah juga memberikan motivasi untuk sikap takut akan Allah dan perilaku yang mematuhi kehendak-Nya itu. TUHAN melihat semua dan memperhatikan tindakan kita, meminta pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan, baik yang terlihat atau tersembunyi, baik atau buruk.

Monday, May 21, 2018

Renungan Pagi 22 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
22 Mei 2018

Memandang Usia Tua
                               
Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: “Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!” (Pengkhotbah 12:1).

Sang Pengkhotbah menggunakan beberapa kiasan tentang usia tua, yang masing-masing menggambarkan kemunduran fisik yang menyertai apa yang kita sebut secara halus “tahun-tahun keemasan.”

Salomo berbicara tentang waktu yang menghampiri dalam kata-kata “Sebelum matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap” (Pkh.12:2). Jelas bahwa cahaya mentari dan rembulan tidak menjadi suram saat kita tua, tetapi orang yang memiliki katarak di matanya mengetahui betapa kabur sudah pandangan mereka. Ia lebih jauh menulis tentang waktu ketika “Penjaga-penjaga rumah gemetar, dan orang-orang kuat membungkuk” (ay.3)—sebuah gambaran tentang tungkai yang gemetaran seiring usia tua atau kekhawatiran yang biasa menghinggapi orang-orang tua. Selanjutnya, waktunya akan ketika “perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya” (ay.3). secara literal, kata-kata tersebut merujuk kepada para wanita yang sehari-hari bekerja menggiling gandum, yang karena fisiknya melemah tidak dapat lagi menjalankan tugasnya. Dalam arti kiasan, kata-kata tersebut kelihatannya menunjuk pada gigi-gigi yang ompong dan berkurang jumlahnya. (Pada zaman Timur Dekat kuno, gigi orang-orang secara bertahap patah atau tanggal karena kerikil yang terdapat pada makanan mereka.)
“Suara menjadi seperti kicauan burung” (ay.4). Betapa seringnya orang-orang tua menderita kekurangan tidur! Suara yang kecil sekalipun dapat menembus pendengaran mereka yang redup dan membangunkan mereka. Selain itu, “juga orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan” (ay.5). Hal yang tak pernah mengganggu bagi orang muda, menjadi beban pikiran di usia tua. Sekarang “pohon badam berbunga” (ay.5), kuntum-kuntum bunga putih yang melambangkan rambut yang memutih. “Belalang menyeret dirinya dengan susah payah” (ay.5). Orang-orang Timur Dekat kuno memandang buah capparis Spinosa (buah capers) sebagai obat perangsang seksual, tetapi saat usia tua menghampiri bahkan buah mujarab itu pun tak mempan.
Adanya gejala-gejala penuaan yang jelas seperti itu seyogianya membuat orang muda merenung. Objek perenungannya dapat memiliki dua atau tiga makna sekaligus.  Tergantung dari penempatan huruf hidup di antara konsonan (Bahasa Ibrani Alkitab tidak memiliki huruf hidup), orang muda harus mencamkan di dalam pikirannya tentang (a) Pencipta (boreeka) mereka, menghormati-Nya di dalam dengan kemudaan mereka; (b) sumur (beereka) mereka, analogi untuk istri mereka sebagai obyek seksual yang sensualitasnya akan pudar; (c) lubang (bor’ka), istilah lain untuk kuburan, “rumah kekal” (ay.5) mereka. Nasihat yang berat namun praktis.

Sunday, May 20, 2018

Renungan Pagi 21 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
21 Mei 2018

Bagaimana Dengan Masa Depan?
                               
…Waktu dan nasib dialami mereka semua” (Pengkhotbah 9:11).

Apakah peranan kita dalam turun naiknya—kehidupan ini? Kita tidak dapat mengubah masa lalu, karena apa yang sudah terjadi berada di luar kendali kita. Tetapi bagaimana dengan masa depan? Apakah sudah ditentukan? Adakah itu berada di luar kendali kita juga? Lalu ada masa kini, yang berlaku hanya sementera. Apakah segala yang berlangsung saat ini kering dan layu begitu saja? Dapatkah kita memengaruhi masa kini seperti juga masa lalu atau kejadian-kejadian medatang?

Ayat pertama di dalam Pengkhotbah 3 tak asing lagi bagi kita semua: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” Ayat-ayat berikutnya bahkan telah menjadi syair nyanyian: “Ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai” (ay.2-8).

Bahasa dan konteks ayat-ayat ini nampak seperti mendukung predestiani—segala sesuatu yang terjadi telah ditentukan sejak semula. John Calvin mengajarkan bahwa sejak kekekalan Allah dengan ajaib telah menentukan setiap kejadian.  Tugas kita adalah untuk memahami kejadian-kejadian itu dan menyesuaikan sikap kita. Tapi apakah sesungguhnya hanya itu? Nampaknya masih ada lagi. Bahkan Qoheleth, yang dikenal di kalangan pelajar Alkitab sebagai penulis kitab Pengkhotbah, mengakuinya.  Ayat Alkitab hari ini menunjukkan bahwa betapa hal terjadi karena kebetulan, dan kejadian-kejadian acak ini dialami oleh kita semua.

Lama sebelum kitab Pengkhotbah ditulis, Yosua menantang; “Pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos.24:15). Sebagian besar perilaku kita mungkin ditentukan oleh pembawaan genetis, naluri, dan pendidikan yang kita terima. Tetapi kita tidak sepenuhnya berada di bawah belas kasihan DNA atau takdir. Kuasa kita untuk memilih dapat menyeimbangkan ketidakmampuan kita mengendalikan, dan karenanya kita dapat memengaruhi masa depan. Sebagai umat manusia yang menyandang gambar Allah, kita memiliki “kuasa untuk berpikir dan bertindak” (Education, hlm.17). Tugas kita untuk melakukannya…hari ini.

Renungan Pagi 20 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
20 Mei 2018

Semuanya Sia-sia
                               
Kesia-siaan belaka…kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2).

Kitab Pengkhotbah pada awalnya tidak termasuk kanon Alkitab. Di akhir tahun 90, para rabi terus berdebat apakah kitab ini “tercemar” atau tidak, dalam arti apakah ia terinspirasi Roh atau tidak. Kelompok Shammai berpendapat bahwa ia tidak terinspirasi Roh, sementara kelompok Hillel berpendapat bahwa ia terinspirasi Roh. Dan kesepakatan para rabi dalam pertemuan di Jamnia menyatakan bahwa kitab tersebut dianggap kanonik.

Menyandingkan Pengkhotbah dengan Amsal tidak membantu statusnya dalam hal inspirasi. Di satu sisi, kumpulan Amsal yang menyokong ajaran kebijaksanaan kuno bahwa takut akan Allah merupakan dasar dari kebijaksanaan sejati dan bahwa di dalam kejahatan tertanam ben“POTRET KASIH ALLAH”

20 Mei 2018

Semuanya Sia-sia
                               
Kesia-siaan belaka…kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (Pengkhotbah 1:2).

Kitab Pengkhotbah pada awalnya tidak termasuk kanon Alkitab. Di akhir tahun 90, para rabi terus berdebat apakah kitab ini “tercemar” atau tidak, dalam arti apakah ia terinspirasi Roh atau tidak. Kelompok Shammai berpendapat bahwa ia tidak terinspirasi Roh, sementara kelompok Hillel berpendapat bahwa ia terinspirasi Roh. Dan kesepakatan para rabi dalam pertemuan di Jamnia menyatakan bahwa kitab tersebut dianggap kanonik.

Menyandingkan Pengkhotbah dengan Amsal tidak membantu statusnya dalam hal inspirasi. Di satu sisi, kumpulan Amsal yang menyokong ajaran kebijaksanaan kuno bahwa takut akan Allah merupakan dasar dari kebijaksanaan sejati dan bahwa di dalam kejahatan tertanam benih kehancuran diri sendiri. Di lain pihak, kitab Pengkhotbah mengajarkan posisi yang lebih liberal bahwa nasib yang sama menanti orang baik dan orang fasik, sehingga “segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh. 1:2).

Gagasan bahwa ajaran dua kitab ini bertentangan terus berlanjut di kalangan pelajar Alkitab.  Berberapa malah membesar-besarkan ketidaksesuaian tersebut, namun hal itu tidak merusak kesatuan pandangan mereka bahwa kedua penulis kitab tersebut tidak memiliki sudut pandang yang sama. Beberapa pelajar Alkitab mencoba berpendapat bahwa penulis kitab Pengkhotbah menulis secara main-main, tapi tampaknya pendapat itu hanya mencerminkan keputusasaan mereka. Di samping itu hampir tidak mungkin untuk mengetahui maksud tersembunyi dalam suatu tulisan kecuali diterangkan oleh penulisnya. Tetapi kita tidak menemukan satu pun isyarat untuk itu di dalam kitab Pengkhotbah! Barangkali si penulis sedang tertekan jiwanya, dan kita tidak perlu berasumsi bahwa karunia inspirasi Ilahi dapat menghilangkan kepribadian atau watak penulis. Konsep inspirasi merujuk pada mukjizat kuasa Ilahi, bukan mukjizat perubahan kepribadian genetic atau neurokimia seseorang.

Perbedaan antara kitab Amsal dan Pengkhotbah bukan belum pernah ada di tempat lain di dalam Alkitab. Kita menjumpai pernyataan di dalam kitab Ulangan bahwa Allah menghukum keturunan dari seorang pendosa yang bertentangan dengan Yehezkiel yang menyatakan bahwa hanya orang berdosalah, bukan keturunannya, yang akan mati karena kejahatannya.


Bacaan kita hari ini mengetengahkan dasar pemikiran utama kitab Pengkhotbah: “Kesia-siaan belaka…kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia! (ay.2). Kitab ini bukan hanya dibuka dengan kata-kata itu, tapi juga diakhiri dengan cara yang sama: “Kesia-siaan atas kesia-siaan…segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh.12:8). Terkadang kita memerlukan pesimisme canggih dalam dosis yang besar sebagai penawar bagi optimisme naif—bahkan dalam teologi.ih kehancuran diri sendiri. Di lain pihak, kitab Pengkhotbah mengajarkan posisi yang lebih liberal bahwa nasib yang sama menanti orang baik dan orang fasik, sehingga “segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh. 1:2).

Gagasan bahwa ajaran dua kitab ini bertentangan terus berlanjut di kalangan pelajar Alkitab.  Berberapa malah membesar-besarkan ketidaksesuaian tersebut, namun hal itu tidak merusak kesatuan pandangan mereka bahwa kedua penulis kitab tersebut tidak memiliki sudut pandang yang sama. Beberapa pelajar Alkitab mencoba berpendapat bahwa penulis kitab Pengkhotbah menulis secara main-main, tapi tampaknya pendapat itu hanya mencerminkan keputusasaan mereka. Di samping itu hampir tidak mungkin untuk mengetahui maksud tersembunyi dalam suatu tulisan kecuali diterangkan oleh penulisnya. Tetapi kita tidak menemukan satu pun isyarat untuk itu di dalam kitab Pengkhotbah! Barangkali si penulis sedang tertekan jiwanya, dan kita tidak perlu berasumsi bahwa karunia inspirasi Ilahi dapat menghilangkan kepribadian atau watak penulis. Konsep inspirasi merujuk pada mukjizat kuasa Ilahi, bukan mukjizat perubahan kepribadian genetic atau neurokimia seseorang.

Perbedaan antara kitab Amsal dan Pengkhotbah bukan belum pernah ada di tempat lain di dalam Alkitab. Kita menjumpai pernyataan di dalam kitab Ulangan bahwa Allah menghukum keturunan dari seorang pendosa yang bertentangan dengan Yehezkiel yang menyatakan bahwa hanya orang berdosalah, bukan keturunannya, yang akan mati karena kejahatannya.

Bacaan kita hari ini mengetengahkan dasar pemikiran utama kitab Pengkhotbah: “Kesia-siaan belaka…kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia! (ay.2). Kitab ini bukan hanya dibuka dengan kata-kata itu, tapi juga diakhiri dengan cara yang sama: “Kesia-siaan atas kesia-siaan…segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh.12:8). Terkadang kita memerlukan pesimisme canggih dalam dosis yang besar sebagai penawar bagi optimisme naif—bahkan dalam teologi.