Friday, May 18, 2018

Renungan Pagi 19 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
19 Mei 2018

Penyombong
                               
Karena tiga hal bumi gemetar, bahkan, karena empat hal ia tidak dapat tahan” (Amsal 30:21).

Selama abad ke-13 Horatio Alger telah menulis 135 novel. Satu alur cerita yang menjadi hampir identic dengan namanya adalah ketika seorang bocah miskin, karena kejujuran dan etos kerjanya, “berhasil.” Kisah semacam itu membuat pembaca puas dengan keyakinan bahwa seorang “pecundang” yang jujur dapat bangkit dari keterpurukannya.

Jila hal seperti itu terjadi—dan kadang-kadang memang terjadi—ada sebuah sisi lain dari peristiwa “dari gelandang jadi orang kaya” tersebut. Tidak setiap orang bisa membawa diri dalam keberhasilannya, dan kepada merekalah Amsal 30:21-23 ditujukan dalam kata-kata: “Karena tiga hal bum gemetar, bahkan, karena empat hal ia tidak dapat tahan.” Penulis Alkitab mungkin bersalah karena telah menyama-ratakan, atau mungkin ia berbicara sesuatu secara sambil lalu. Namun demikian, kita umumnya barangkali telah menjumpai setidaknya satu dari tiga—bukan empat—contoh di bawah ini.

Contoh pertama adalah “seorang hamba, kalau ia menjadi raja” (ay.22). Seseorang yang terbiasa menyembah-nyembah karena posisinya yang rendah namun tiba-tiba, karena putaran nasib yang ironis, menempati posisi penuh kuasa, nampaknya akan mengalami perubahan kepribadian.

Kasus kedua yang serupa adalah “seorang bebal, kalau ia kekenyangan makan” (ay.22). Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang biasanya kekurangan lalu secara tiba-tiba berkecukupan. Salah satu pernyataan untuk menggambarkan orang seperti ini adalah “orang kaya baru.”

Ilustrasi yang ketiga adalah ketika “seorang wanita yang tidak disukai orang, kalau ia mendapat suami” (ay.23). Perawan tua yang terkenal itu akhirnya menikah! Kita tak tahu mengapa ia melajang begitu lama, tetapi wanita yang sebelumnya tidak laku-laku itu akhirnya ada yang menyukai.

Contoh yang keempat berbicara tentang “seorang hamba perempuan, kalau ia mendesak kedudukan nyonyanya” (ay.23). Kisah Alkitab tentang Hagar benar, budak perempuan Sarai, tiba-tiba muncul dalam ingatan kita.

Malangnya, perubahan keadaan yang mendadak tidak selalu berakhir bahagia—paling tidak bagi mereka yang tetap di posisi rendah. Terlalu bayak orang kaya baru yang menjadi sombong. Kadang-kadang kita berasumsi bahwa mereka telah menjadi terlalu tinggi dan hebat di mata mereka sendiri. Namun yang benar adalah bahwa kesombongan mereka yang tak tertahankan itu muncul dari kurangnya rasa percaya diri, yang menjadikan mereka sasaran simpati bukan antipati kita.

Renungan Pagi 18 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
18 Mei 2018

Ucapan yang Menyakitkan
                               
Orang yang menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih adalah seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka” (Amsal 25:20).

Kebanyakan kita akan bersikap hati-hati bila berbicara dengan orang yang sedang sakit hati—mereka yang sedang bingung atau sedih. Namun terkadang, terlepas dari niat baik kita, komentar yang kita lontarkan sering menyakitkan ketimbang menghibur. Mungkin masalah adalah bahwa kita lupa untuk berpikir masak-masak sebelum membuka mulut dan bicara. Terlepas dari makna yang terkandung di balik kata-kata kita yang salah tempat itu dan dari niat baik kita, apa yang kita katakan dapat lebih banyak kesalahan ketimbang kebaikannya.

Dalam suatu kesempatan saya mengalami kesulitan di tempat kerja, dan mengadu kepada ayah saya. Setelah saya mengakhiri keluh-kesah saya, ayah, yang biasanya peka, memberikan nasihat. Sebenarnya, saya tidak meminta dinasehati; saya hanya hendak mencurahkan isi hati. Tetapi kata-kata ayah membuat saya merasa seperti “orang yang menanggalkan baju di musim dingin” dan terasa “seperti cuka pada luka”—membuat hati saya seolah menggigil kesakitan.

Seorang gembala pada pemakaman bocah berusia 4 tahun menenangkan orang tua almarhum, dan berkata, “Ini adalah kehendak Allah”. Di perjalanan pulang kata-kata itu berpilin di benak saya—“Ini adalah kehendak Allah” bahwa anak tak bersalah itu tenggelam? Sekali lagi, kata-kata yang ditujukan pada hati yang sakit dan jiwa yang resah itu membuat orang yang bersedih menjadi beku, karena gembala itu “seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka”.

Orang bisa saja membela kata-kata semacam itu dengan menafsirkannya sebagai ucapan afektif (pengungkap emosi) dan bukannya ucapan kognitif (pernyataan teologis). Pengertian semacam itu dapat membantu. Namun demikian, komunikasi afektif semacam itu tidak bermanfaat dan dapat digolongkan sebagai “omong kosong,” yang ditentang oleh Yesus. Teologi yang tepat (ucapan kognitif yang benar) seyogianya menghasilkan ucaan belasungkawa yang baik (ucapan afektif yang efektif). Amsal 16:24 tepat pada sasarannya dengan mengatakan bahwa kata-kata yang pada tempatnya (kata Ibrani ini sering diterjemahkan “menyenangkan”) adalah seperti sarang madu.

Ketika kita melihat orang lain terluka emosi dan mentalnya, secara alami kita ingin mengatakan sesuatu untuk menolongnya. Tetapi terlalu sering kita menyemburkan kata-kata dari mulut kita, yang membuat kita seperti “orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka.” Demikian pula “orang yang berpengetahuan menahan perkataannya” (Ams.17:27).

Wednesday, May 16, 2018

Renungan Pagi 17 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
17 Mei 2018

Hukum Fisik
                               
“Anakmu…tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” (Amsal 23:13,14).

Singkirkan rotan dan rusaklah anak. Lebih sering ketimbang yang saya sadari, saya telah mencari di konkordansi dan di internet untuk mencocokkan pepatah itu dengan ayat-ayat Alkitab. Dan setiap kali saya gagal menemukannya. Tetapi pencarian di internet tidak gagal total. Pepatah itu ada di sana, tetapi tautannya ke Alkitab masih meragukan. Amsal 13:24 mengatakan: “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.” Cukup dekat, saya kira.

Sebagai seorang anak saya mendengar cerita-cerita dari orang dewasa tentang hukuman yang mereka terima dari orang tua. Seorang gembala bercerita tentang ayahnya yang menderanya untuk pelanggarannya di masa kecil. Ada gosip pula tentang seorang inspektur pendidikan konferens yang, ketika mengunjungi sekolah-sekolah gereja, menarik seorang anak nakal ke lorong sekolah dan memberikan pukulan di pantatnya. Hari ini, tentu saja, tindakan-tindakan semacam itu akan mengundang tuntutan hukum seperti cahaya pelita di malam hari mengundang ngegat.

Sebuah mufakat yang berkembang menolak pentingnya hukuman fisik, dan mencapnya sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Ketika orang dewasa memukul anak-anak, tindakan mereka mengajarkan bahwa “kekuatan selalu benar” dan kekerasan menjadi tindakan yang diperbolehkan. Beberapa studi telah menemukan bahwa hukuman fisik pada kenyataannya dapat memunculkan efek yang berlawanan—setidaknya akan menghasilkan sikap agresif (anti-sosial) pada anak-anak.

Di masyarakat Timur Dekat kuno, hukuman fisik dinilai bermanfaat. Banyak anak-anak (terutama anak lelaki) yang dipukulan dengan hebat sehingga meninggalkan bekas luka di tubuh mereka. “Memukul anak lelaki adalah seperti memberi pupuk di taman,” demikian bunyi sebuah amsal Mesir (Aramaic Proverbs of ahiqar [Versi Siria]). “Anda pukul bokongku, ajaranmu masuk ke telingaku” (Papyrus Lansing).

Barangkali akan membantu jika kita membedakan antara (1) konsekuensi, yaitu hasil alami berdasarkan sebab dan akibat (kanker paru akibat merokok); (2) disiplin, yaitu penanaman nilai-nilai dengan cara positif dan kadang negative (pembatasan waktu penggunaan kamar mandi); dan (3) hukuman, yaitu denda untuk kelakuan buruk (dan kurungan untuk pelanggaran hukum).

Guru bijaksana berkata, “Anakmu…tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan” (Ams.23:13). Anak-anak telah mati karena terguncang atau akibat lainnya dari hukuman fisik yang dilakukan oleh orang-orang yang berniat baik. Kekerasan terhadap anak jangan pernah dikemas cantik sebagai disiplin.

Renungan Pagi 16 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
16 Mei 2018

Hal-hal yang Dibenci Allah

Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya” (Amsal 6:16).

Umumnya orang memiliki hal-hal yang dibenci. Terkadang perilaku yang dibenci itu bukan suatu dosa dan bukan pula sesuatu yang mengganggu. Tapi adakalanya, perilaku yang dibenci itu dapat merupakan suatu gangguan yang serius. Namun demikian karena perilaku tersebut umumnya sepele, dalam renungan ini baiklah kita berbicara mengenai perilaku yang melanggar moral dalam pandangan Allah.

Berikut adalah tujuh perilaku yang dipandang melanggar dalam pandangan Allah. Lima yang pertama melibatkan anggota tubuh (dimulai dari kepala lalu ke bawah) yang dipakai untuk bertindak.
1.  “Mata sombong” (Ams.6:17). Secara harfiah, ayat ini berbicara tentang mata yang tinggi (angkuh). Dalam Yesaya 10:12 Allah menggunakan istilah yang sama untuk Sargon II, raja Asyur, yang telah menginvasi tanah Sion.
2.  “Lidah dusta” (ay.17). Di bagian lain Alkitab, ungkapan ini ditujukan untuk menyebut ajaran para nabi palsu (Yer.14:14) dan perilaku orang yang berkhianat (Mzm.109:2). Perilaku mereka berbicara lebih nyata ketimbang kata-kata.
3. “Tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah” (Ams.6:17). Seringkali pembunuhan dilakukan dengan tangan. Mengambil nyawa manusia adalah urusan serius karena masing-masing kita menyandang gambar Allah.
4. “Hati yang membuat rencana-rencana yang jahat” (ay.18). Penulis merujuk pada hati yang merancang kejahatan. Orang Ibrani memandang hati sebagai sumber dari kehendak (karsa), bukan emosi (rasa).
5.  “Kaki yang segera lari menuju kejahatan” (ay.18). Ada orang-orang yang bergegas dalam bertindak untuk mencelakakan orang. Ini bukan tentang kecelakaan yang tak disengaja, karena bagian sebelumnya dari ayat ini berbicara tentang niat untuk melakukan perbuatan yang mencelakakan itu—sebuah kejahatan yang direncanakan.
6.   “Seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan” (ay.19). Sumpah palsu secara khusus dianggap melanggar, dan dilarang dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel.20:16).
7.  Seseorang yang “menimbulkan pertengkaran saudara” (Ams.6:19). Orang-orang teretentu memiliki gelar “pembuat masalah” karena selalu memicu perselisihan—bahkan di dalam keluarga sendiri ataupun dalam kelompok social. Tatkala mereka hadir nampaknya ketidakberesan—atau bahkan hal-hal yang lebih buruk—niscaya tak terelakkan.

Benang merah dalam rangkaian tujuh perilaku ini yang dipandang menjijikkan bagi Allah ialah bahwa mereka semua merusak hubungan sosial, dan mengoyakkan tatanan masyarakat.

Monday, May 14, 2018

Renungan Pagi 15 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
15 Mei 2018

Kehancuran Karena Dosa

Padahal mereka menghadang darahnya sendiri dan mengintai nyawanya sendiri” (Amsal 1:18).

Salah satu tema besar di dalam kitab Amsal adalah bahwa orang bijak memilih hidup benar, sedangkan orang bodoh memilih kejahatan. Menurut kebijaksanaan yang telah diterima umum, hidup yang benar memiliki manfaatnya, sedangkan perbuatan jahat akan menghancurkan diri sendiri. Tema ini muncul di dalam pasal pertama Amsal.

Sang “anak” diperingatkan agar tidak bergabung dengan kelompok orang bejat. “Hai anakku, jikalau orang berdosa hendak membujuk engkau, janganlah engkau menurut” (Ams.1:10). Kata benda Ibrani yang diterjemahkan sebagai “orang berdosa” di sini adalah hatta’im, yang diterapkan kepada mereka yang memiliki kebiasaan untuk berbuat jahat. Isitilah tersebut dapat juga diterjemahkan menjadi “penjahat.” Mereka adalah orang-orang bejat yang kegemarannya adalah berbuat jahat.

Bisik-bisik yang disampaikan dan penuh bumbu mengasyikkan dari orang-orang ini bisa jadi akan sangat menarik hati bagi orang muda. Itu dapat menjadi umpatan bagi ego seseorang untuk bergabung dengan kelompok jiwa-jiwa liar tersebut. Dalam contoh Alkitabiah ini mereka berusaha menipu orang muda tersebut untuk masuk ke dalam persekutuan jahat mereka. “Marilah ikut kami…menghadang…orang yang tidak bersalah” (ay.11), bujuk mereka. Bahkan mereka berniat untuk membunuh korban (ay.12). Setelah menyerang orang yang lengah itu, mereka akan mebagi-bagi harta rampasannya. Ajak mereka, “kita akan memenuhi rumah kita dengan barang rampasan” (ay.13). Menjadi cepat kaya, intinya—tapi dicapai dengan cara melanggar hukum dan dengan kekerasan.

Anak-anak muda telah diperingatkan. “Hai anakku, janganlah engkau hidup menurut tingkah laku mereka, tahanlah kakimu dari pada jalan mereka, karena kaki mereka lari menuju kejahatan dan bergegas-gegas untuk menumpahkan darah” (ay.15,16). Ini bukanlah jalan yang seharusnya ditempuh orang muda. Meskipun tidak melibatkan pembunuhan, ajakan mereka akan mengakibatkan pelanggaran hak pribadi korban. Jika Anda pernah mengalami kecurian, maka Anda akan mengetahui bagaimana rasanya hak Anda dilanggar—meskipun secara fisik tidak. Setiap kejahatan pasti melanggar pribadi korban.

Lebih jauh lagi, perangkap yang dirancang oleh para penjahat itu—bahkan jika mereka berhasil menjalankan rencana jahat itu—akan menghancurkan diri sendiri. “Mereka menghadang darahnya sendiri dan mengintai nyawanya sendiri. Demikianlah pengalaman setiap orang yang loba akan keuntungan gelap, yang mengambil nyawa orang yang mempunyainya” (ay.18,19). Efek bumerang dari kejahatan ini mungkin tidak muncul scara langsung seperti dinyatakan oleh ayat ini. Namun demikian “pembuat kejahatan akan hancur sendiri oleh kejahatan yang diciptakannya” (Michael V. Fox, Proverbs 109, Anchor Bible, hlm.89,90).

Sunday, May 13, 2018

Renungan Pagi 14 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
14 Mei 2018

Bimbingan Orang Tua

Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu, sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu” (Amsal 1:8,9).

Barangkali setiap budaya memiliki koleksi ungkapan petuahnya sendiri. Acapkali kita menyebutnya “amsal”—ungkapan singkat yang mudah diingat dan mengandung suatu kebenaran. Di Afganistan mereka berujar: “Jangan tunjukkan padaku pohon palma, tunjukkan kurma.” Di Tiongkok ada ujaran bahwa “seorang yang pintar mengubah masalah besar menjadi masalah kecil, dan masalah kecil menjadi tidak ada masalah.” Orang Mesir berujar: “Belajarlah sopan-santun dari orang yang tidak sopan.” Di Vietnam diujarkan bahwa “Makin tinggi engkau mendaki, semakin parah jatuhmu.” Dan di Zimbabwe orang suka berujar: “Seorang pengecut tak berparut.”

Masalahnya dengan pepatah-pepatah itu adalah meskipun mereka meringkaskan suatu kebenaran, namun hanya satu sisi dari kebenaran. Dan memang, amsal, meskipun benar adanya, dapat bertentangan satu sama lain.  Mungkin Anda pernah mendengar ibunda menasihati bahwa “Banyak tangan akan meringankan pekerjaan.” Dan apakah ayahanda berpetuah, “Terlalu banyak juru masak membikin kaldu rusak.”? Kedua ujar-ujar (yang bertentangan) itu benar, dan…kita menjumpai hal yang sama di dalam kumpulan amsal Alkitab. Amsal 26:4 memerintahkan: “Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia.” Nasihat bijak, bukan? Tetapi petuah berikutnya tepat kebalikannya: “Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak” (ay.5).

Di sepanjang kitab Amsal kita membaca nasihat yang baik mengenai bimbingan orang tua: “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu” (Ams. 1:8), bandingkan Amsal 2:1; 3:1; 4;10; 5:1; 6:1,2; 7:1; dst). Sosok pemberi nasihat ini—seorang tua atau sosok yang berkuasa—tidaklah penting. Di sini kita menemukan kebijaksanaan yang disaring dan diwariskan dari generasi ke generasi. Orang bodoh akan menganggapnya hal sepele, tapi orang bijak—berapa pun usianya—akan menghargainya.

Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “amsal” berasal dari kata benda mashal, yang merujuk pada perbandingan atau persamaan. Kita mungkin dapat menyebutnya tamsil atau kiasan. Sebagai contoh: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Ams.17:22).

Berhadapan dengan kebijaksanaan tradisionil, kitab Amsal menyodorkan sebuah tema besar: “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan (Ams.1:7); bdk. Ams.9:10). Takut akan Allah itulah yang dilakukan oleh orang bijak dan dihindari orang bodoh. Itulah sikap yang sebenarnya, membuat seseorang menjadi bijak.