“POTRET KASIH ALLAH”
14 Mei 2018
Bimbingan Orang Tua
“Hai anakku,
dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu, sebab
karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu”
(Amsal 1:8,9).
Barangkali setiap budaya memiliki koleksi ungkapan
petuahnya sendiri. Acapkali kita menyebutnya “amsal”—ungkapan singkat yang
mudah diingat dan mengandung suatu kebenaran. Di Afganistan mereka berujar:
“Jangan tunjukkan padaku pohon palma, tunjukkan kurma.” Di Tiongkok ada ujaran
bahwa “seorang yang pintar mengubah masalah besar menjadi masalah kecil, dan
masalah kecil menjadi tidak ada masalah.” Orang Mesir berujar: “Belajarlah
sopan-santun dari orang yang tidak sopan.” Di Vietnam diujarkan bahwa “Makin
tinggi engkau mendaki, semakin parah jatuhmu.” Dan di Zimbabwe orang suka
berujar: “Seorang pengecut tak berparut.”
Masalahnya dengan pepatah-pepatah itu adalah
meskipun mereka meringkaskan suatu kebenaran, namun hanya satu sisi dari
kebenaran. Dan memang, amsal, meskipun benar adanya, dapat bertentangan satu
sama lain. Mungkin Anda pernah mendengar
ibunda menasihati bahwa “Banyak tangan akan meringankan pekerjaan.” Dan apakah
ayahanda berpetuah, “Terlalu banyak juru masak membikin kaldu rusak.”? Kedua
ujar-ujar (yang bertentangan) itu benar, dan…kita menjumpai hal yang sama di
dalam kumpulan amsal Alkitab. Amsal 26:4 memerintahkan: “Jangan menjawab orang
bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan
dia.” Nasihat bijak, bukan? Tetapi petuah berikutnya tepat kebalikannya:
“Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya
bijak” (ay.5).
Di sepanjang kitab Amsal kita membaca nasihat yang
baik mengenai bimbingan orang tua: “Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu,
dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu” (Ams. 1:8), bandingkan Amsal 2:1; 3:1;
4;10; 5:1; 6:1,2; 7:1; dst). Sosok pemberi nasihat ini—seorang tua atau sosok
yang berkuasa—tidaklah penting. Di sini kita menemukan kebijaksanaan yang
disaring dan diwariskan dari generasi ke generasi. Orang bodoh akan
menganggapnya hal sepele, tapi orang bijak—berapa pun usianya—akan
menghargainya.
Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “amsal”
berasal dari kata benda mashal, yang
merujuk pada perbandingan atau persamaan. Kita mungkin dapat menyebutnya tamsil
atau kiasan. Sebagai contoh: “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi
semangat yang patah mengeringkan tulang” (Ams.17:22).
Berhadapan dengan kebijaksanaan tradisionil, kitab
Amsal menyodorkan sebuah tema besar: “Takut akan TUHAN adalah permulaan
pengetahuan (Ams.1:7); bdk. Ams.9:10). Takut akan Allah itulah yang dilakukan
oleh orang bijak dan dihindari orang bodoh. Itulah sikap yang sebenarnya,
membuat seseorang menjadi bijak.
0 comments:
Post a Comment