“POTRET KASIH ALLAH”
15 April 2018
Keagungan Allah
“Tetapi benarkah Allah hendak diam bersama dengan
manusia di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala
langitpun tidaklah dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini”
(2 Tawarikh 6:18).
Persemian bait suci Salomo merupakan peristiwa yang
luar biasa. Alkitab bercerita bahwa ia menyembelih persembahan korban dalam
jumlah besar—22.000 ekor lembu dan 120.000 ekor domba (2 Taw.7:5). Darah
pastilah telah menganak sungai, dan pekerjaan yang memakan waktu tujuh hari itu
membuat para petugas kelelahan. Hal ini dilanjutkan dengan tujuh hari pesta, di
mana sesudahnya Salomo menyuruh “bangsa itu pulang ke kemah-kemah mereka sambil
bersukacita dan bergembira” (ay.10). Tentulah perayaan yang luar biasa ini akan
dikenang terus seumur hidup mereka.
Selain itu yang akan dikenang juga, menurut saya,
adalah suatu hal lain yang terjadi selama perayaan persembahan tersebut. Ketika
music memenuhi udara, sebentuk awan menandakan kehadiran Allah muncul dan
memenuhi bait suci. Kemudian raja melupakan segala tata krama kerajaan
menjatuhkan diri berlutut dan memanjatkan sebuah doa yang panjang, yang diikuti
dengan datangnya api dari langit yang memakan habis korban persembahan di
mezbah korban bakaran.
Doa sang raja berisikan hal yang besar—gagasan yang
dapat dikupas hingga berhalaman-halaman. Salah satu buah pikiran Salomo dapat
dilihat dalam ayat kita hari ini. Salomo dan rombongannya telah menyaksikan
awan kemuliaan Allah memenuhi bait suci sehingga para imam harus keluar dan
menghentikan tugas mereka. Namun, di balik pertunjukan akbar kehadiran Allah
itu, Salomo berkata bahwa Allah tidak dapat sungguh-sungguh “diam bersama
dengan manusia di atas bumi”. Bagaimana mungkin sebuah gedung semegah bait suci
Salomo dapat “memuat” Allah, sedangkan “langit, bahkan langit yang mengatasi
segala langit pun tidak dapat memuat”-Nya?
Pengakuan iman Salomo telah melampaui zamannya!
Pengakuan tersebut merupakan lompatan besar teologis yang jauh melampaui zaman
di mana masyarakat saat itu dipenuhi takhyul. ((Ingat, Timur Dekat kuno
bukanlah Amerika atau peradaban Barat lainnya).
Para ahli teologi
menemukan sebuah paradox (kadang-kadang disebut sebuah “antinomy”) tentang hal ini. Dalam keberadaan-Nya, Allah ada di sini
beserta kita—di sisi kita sebagian kawan seperjuangan. Tetapi hal itu bukanlah
pandangan yang utuh tentang Allah. Ia juga transenden—“di atas,” “di luar”, dan
“melampaui” ciptaan-Nya dan melampaui pengetahuan kita. Terlalu menekankan
salah satu aspek akan membawa pada kesesatan.