“POTRET KASIH ALLAH”
14 April 2018
Bait Allah Versus Sinagoge
“Pada ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi
awan, sehingga imam-imam itu tidak tahan berdiri untuk menyelenggarakan
kebaktian oleh karena awan itu, sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah Allah” (2
Tawarikh 5:13,14).
Pada hari peresmian bait suci Salomo, dua kali
kemuliaan Allah hadir memberkati bangunan baru itu, menjadikannya sebuah tempat
suci. Salah satu perabotan penting di dalam bait suci tersebut adalah mezbah
korban bakaran. Pada tempat itulah orang Israel membawa persembahan penghapus
dosa mereka dan disanalah para imam menjalankan tugas suci mereka yang mengatur
persembahan korban tersebut, dan mewakili mereka untuk menghadap kepada Allah.
(Akses kepada Allah sangatlah terbatas: orang hanya diperkenankan masuk ke
dalam halaman, sambil membawa hewan korban; para imam lalu menyembelih
hewan-hewan itu dan memercikkan darahnya di dalam bilik kudus; dan imam besar
hanya sekali dalam setahun—pada hari Yom Kippur—diperkenankan memasuki Bilik
Mahakudus, di hadapan hadirat Shekinah.)
Setelah Nebukadnezar menghancurkan bait yang megah
itu, orang-orang Israel dalam pelarian mereka menemukan penggantinya—dalam bentuk
sinagoge. Tidak ada persembahan korban, sehingga tidak dibutuhkan imam. “Dikelola”
oleh umat awam, gulungan Taurat menggantikan altar perunggu sebagai pusat
ibadah. Di sinagoge itu pula, kehadiran Allah digantikan dengan Firman-Nya. Pada
masa Yesus (dan sesudahnya), sinagoge ada (terkadang di rumah-rumah) di
kota-kota di mana masyarakat Yahudi berdiam.
Meskipun orang Kristen mula-mula rajin berkunjung
ke bait Allah di Yerusalem, ibadah mingguan mereka secara garis besar mirip
dengan ibadah di sinagoge. Firman Allah, bukan persembahan korban, yang menjadi
pusat perhatian, dan orang awam, bukan imam, yang bertugas. Gereja Kristen dan
aturan ibadahnya memiliki banyak kemiripan dengan ibadah di sinagoge, dan hanya
sedikit kesamaan dengan ibadah di Bait Allah, tanpa mezbah dan tanpa imam.
(Kekristenan yang dijalankan oleh Katolik Roma lebih mirip dengan ritual bait
Allah, dan setiap minggu imam-imam mereka mempersembahkan—dan masih melakukan—korban
Misa.)
Yang masih sedikit membingungkan, adalah ketika
mendengar orang berbicara mengenai “panggilan mezbah” (altar calls), karena tidak ada mezbah di gereja-gereja kita. Bagian
penting dalam ibadah kita adalah penjabaran Alkitab bukannya persembahan
korban. Selain itu, penekanan untuk menjaga keheningan di hadirat Allah juga
agak kurang tepat sasaran karena gereja bukanlah bait suci yang menyimpan wujud
kehadiran Allah. Karenanya suara-suara yang nyaring diangkat memuji Allah dan
bahkan saling menyapa antar peserta ibadah boleh saja dilakukan.
0 comments:
Post a Comment