Saturday, May 5, 2018

Renungan Pagi 6 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
06 Mei 2018

Mazmur Gembala

TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mazmur 23:1).

Tidak ada ayat yang lebih populer ketimbang Mazmur pasal 23, kecuali barangkali Yohanes 3:16. Namun tidak diragukan lagi, mazmur gembala memang lebih menonjol dalam hal memberikan penghiburan. Sebagai pengembangan dari sebuah perumpamaan, bahasanya yang hidup bahkan memikat imajinasi pembaca masa kini—meskipun pada umumnya orang Barat tidak tahu apa-apa soal domba dan menggembalakan domba. Selain itu, memang sulit membayangkan ada mazmur lain yang lebih memancarkan perasaan yakin dan percaya dibandingkan yang satu ini. Itulah mengapa kita membacakan ayat-ayat ini saat seseorang menjelang ajal dan pada pemakamannya. Kata-kata “mazmur gembala” yang telah akrab di telinga kita sungguh membuat nyaman syaraf yang kusut dan perasaan yang remuk-redam. Mazmur 23 adalah contoh terbaik dari Bahasa afektif!

Gambaran Allah sebagai seorang gembala bukanlah konsep tentang makhluk asing seperti di masyarakat Timur Dekat kuno. Istilah gembala digunakan di beberapa orang raja di Timur Dekat kuno. Para firaun bangsa Hyksos di Mesir dikenal sebagai “raja-raja penggembala.” Mereka terkenal sebagai pemrakarsa kereta yang ditarik kuda dan busur panah tradisional di tanah Mesir. Di Mesopotamia para raja biasanya menyebut diri mereka “gembala”. Gilgamesh dikenal sebagai gembala dari Uruk. Juga di Sumeria, dewa Tammuz dan dewi Dumuzi juga masing-masing dikenal dengan nama gembala dari Uruk. Orang Yunani di kemudian hari melihat fungsi kepemimpinan yang baik dalam sosok seorang gembala. Namun selama masa para nabi, sosok gembala secara umum tidak lagi dihormati. Bahkan para rabi memandang mereka dengan curiga karena dianggap jorok dan susah diatur.

Tetapi tidak mengherankan bagi orang Yahudi kuno untuk memandang TUHAN dengan sebutan gembala, istilah yang ditujukan pada sosok yang lemah lembut dan sabar dalam menghadapi kesalahan orang. Allah menyediakan istirahat bagi kawanan domba-Nya. Ia memberikan mereka air dan makanan. Penulis syair ini merasa tidak kekurangan suatu apapun karena pemeliharaan yang sungguh dari TUHAN Gembala.

Kita berasumsi bahwa pemazmur menulis tentang hidup saat ini dan di sini, artinya syair tersebut bercerita tentang pemeliharaan Allah bagi umat-Nya saat ini. Tetapi almarhum Mitchell Dahood yang menulis komentar Anchor Bible tentang kitab Mazmur sebanyak tiga jilid, mengusulkan untuk menerjemahkan kata kerja dalam mazmur gembala dengan future tense. Ia berpendapat bahwa terminology di dalam Mazmur 23 berbicara tentang sukacita dunia yang akan datang dan syairnya menggambarkan bagaimana “TUHAN…akan membimbing kita melalui kejamnya dunia ini menuju sukacita abadi di Firdaus” (Psalms 1, hlm.145).


Friday, May 4, 2018

Renungan Pagi 05 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
05 Mei 2018

Kebungkaman Allah

Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mazmur 10:1).

Salah satu tantangan iman yang paling serius adalah ketika Allah membisu di saat kemalangan merundung mereka yang percaya kepada-Nya. Kita mengetahui beberapa dari janji-janji Alkitab yang menunjukkan bahwa Allah menjawab doa-doa—terutama mereka yang sedang jatuh dan terpuruk. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menekankan keberpihakan Allah kepada mereka yang tertindas. Kita dibimbing untuk percaya bahwa Allah telah menjawab doa kita bahkan sebelum kita mengucapkannya.

Namun mereka yang melayani Allah dengan setia seringkali menemukan diri mereka dalam kondisi tersebut di atas. Mereka pontang-panting di tepi jurang kebangkrutan. Lemari mereka seperti milik Mother Hubbard—kosong melompong. Anak-anak menangis kelaparan. Sebuah rumah terbakar menjadi abu, tak ada waktu untuk menyelamatkan apa pun. Angin topan menerbangkan sebuah mobil dan menghempaskannya ke tanah sejauh 1 mil. Pencuri membongkar sebuah rumah dan mengambil harta benda milik keluarga. Seorang ibu menderita kanker kulit dan meninggal, menjadikan seorang bayi, seorang balita, dan seorang remaja anak-anak piatu. Bisnis terjerembab ke dalam masa sulit dan selusin orang harus dirumahkan, termasuk seorang ayah, satu-satunya pencari nafkah keluarga. Para penggosip di gereja menyebarkan kabar burung tentang seorang penatua. Dan ini barulah daftar yang singkat!

Pemazmur mendapati dirinya dalam situasi yang sama dan meratapi kekejaman orang fasik. “Karena congkak orang fasik…dan orang yang loba mengutuki dan menista TUHAN” (Mzm. 10:2,3). Orang-orang fasik “duduk menghadang di gubuk-gubuk, di tempat yang tersembunyi…” (ay.8).

Tidak terlalu mengherankan ketika ia mengeluh kepada TUHAN. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (ay.1). “Bangkitkah, TUHAN! Ya Allah, ulurkanlah tangan-Mu” (ay.12). Umumnya kita juga telah mengucapkan jeritan yang sama di saat-saat tertentu. Dimanakah Allah sebenarnya di saat kita membutuhkan-Nya? Kebungkaman Allah mulai menggerogoti gairah iman kita.

Di samping rasa frustasinya, pada akhirnya pemazmur merasa yakin bahwa suatu hari, entah bagaimana Allah akan menanggapi dengan positif. “Engkaulah yang melihat kesusahan dan sakit hati, supaya Engkau mengambilnya ke dalam tangan-Mu sendiri. Kepada-Mulah orang lemah menyerahkan diri: untuk anak yatim Engkau menjadi penolong” (ay.14). “TUHAN adalah Raja untuk seterusnya dan selama-lamanya. Bangsa-bangsa lenyap dari tanah-Nya” (ay.16). Tapi kapankah itu?

Dibutuhkan iman yang bulat untuk meyakini bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik karena Allah peduli. Teodisi, meskipun mungkin masuk akal, dapat terdengar kosong melompong, dan tidak mampu menjawab jeritan hati nan parau. Namun demikian, Allah melihat…dan peduli, bahkan di saat kita tidak merasakan kehadiran-Nya di sisi kita!

Thursday, May 3, 2018

Renungan Pagi 04 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
04 Mei 2018

Gambar Allah

Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah” (Mazmur 8:6).

Mazmur 8 memuji Allah untuk kreativitas-Nya yang ajaib. Mengapa, bahkan “anak-anak yang menyusu” bernyanyi memuji-Nya (Mzm. 8:3). Sang penyair melanjutkan: “jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan (ay.4). Kemegahannya, terlebih di bawah terang pengetahuan astronomi masa kini, sungguh mempesona.

Lalu pemazmur melihat ke dalam dirinya: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (ay.5). pertanyaan yang wajar, bukan? Apakah nilai kita dibandingkan dengan alam semesta yang sangat luas ini? Dan jawabannya adalah… “Engkau telah membuat hampir sama seperti Allah” (ay.6).

Versi King James mengatakan bahwa kita manusia telah dibuat sedikit lebih rendah daripada malaikat-malaikat. Dengan pernyataan itu kita telah dibuat menjadi sangat berharga, bukan? Namun Bahasa Ibrani dalam ayat ini tidak menggunakan kata “malaikat.” Pemazmur justru menyatakan bahwa kita manusia telah dibuat sedikit lebih rendah daripada Allah. (Kata Ibrani yang dipakai adalah elohim, yang bersifat jamak; sedangkan versi The Message menggunakan kata “allah-allah”—tanpa huruf besar. Namun di seluruh Perjanjian Lama, bentuk jamak elohim secara tetap digunakan untuk Allah—satu-satunya makhluk Ilahi dan ditulis dengan huruf besar. Akhirnya, terjemahan New Revised Standard Version mengikuti Bahasa Ibrani: “You have made them a little lower than God.”) Hal tersebut menonjolkan pentingnya umat manusia sesuai dengan penegasan yang mengejutkan di dalam Perjanjian lama bahwa sang Pencipta membuat manusia menurut gambar-Nya.

Gambar Allah dalam kita menginvestasikan nilai bagi kita. Anda dan saya menyandang gambar-Nya memiliki makna etika perilaku. Itulah sebabnya Allah melarang pembunuhan—karena kita diciptakan sesuai dengan gambar-Nya (Kej.9:6).

Landasan perilaku moral ini jauh melampaui larangan membunuh. Ketika saya melihat Anda, saya melihat gambar Allah. Tentunya kemudian, saya mesti memperlakukan Anda secara hormat seperti saya bersikap kepada Allah. Tidak, tentu saja Anda bukan Allah, tapi Anda mengemban gambar-Nya. Jadi sudah semestinya saya memperlakukan Anda dengan rasa hormat dan kasih. Dan karena saya mengemban gambar Allah, tindakan terhadap Anda harus mencerminkan cara Allah yang penuh kasih kepada Anda. Jika gambar Allah yang tak kelihatan di dalam diri manusia dapat menuntun perilaku satu terhadap yang lain, seperti saya gambarkan di atas, bukankah dunia akan menjadi seperti surga di atas bumi?

Renungan Pagi 03 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
03 Mei 2018

Sesuatu yang Disukai Allah

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik…yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh” (Mazmur 1:1).

Sebelum kita membahas ayat Mazmur ini, kita perlu mengingat bahwa kitab yang panjang ini seluruhnya terdiri atas syair. Selain itu, kita perlu mengingat sesuatu yang kita bahas saat membaca renungan tangal 24 April, saat kita berdiskusi tentang doa pembalasan yang ganjil dari Nehemia. Dalam renungan hari itu kita mengenal apa yang disebut “Bahasa afektif.” Barangkali Anda sudah lupa, ucapan afektif bermaksud untuk (1) membangkitkan emosi atau (2) mengungkapkan emosi. Jadi tujuan komunikasi afektif adalah bukannya masalah (pilihan) ini atau itu tapi mungkin masalah ini dan itu (kedua-duanya). Ucapan afektif bukan hanya menyalurkan perasaan tetapi juga menimbulkan perasaan.

Dan jika Anda ingat, syair termasuk contoh terbaik sebuah bahasa afektif. Penyair bukan hanya hendak menyuarakan perasaan mereka namun juga berharap menularkan rasa itu kepada para pembaca syair mereka. Dan karena ini adalah syair, tidak semestinyalah kita terlalu memeras sari teologis darinya. Kita perlu mencamkan hal ini di dalam pikiran ketika membaca kitab Mazmur.

Mazmur yang pertama, dengan bahasa yang hidup, membandingkan orang benar dengan orang fasik. Dalam terjemahan The Message—meskipun terjemahannya bebas, Eugene Peterson menangkap Bahasa grafis dari para pemazmur. (Ya, ada beberapa orang—bukan hanya Daud—yang menggubah syair di kitab Mazmur.)

Orang benar “kesukaannya ialah Taurat TUHAN” dan “merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mzm.1:2). Sebagai manfaat dari perenungan Firman Allah itu, mereka menjadi seperti pohon yang tumbuh subur “yang menghasilkan buah pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya” (ay.3). jaminan yang dinikmati oleh orang benar itu bertolak-belakang dengan nasib orang fasik. Mereka “seperti sekam yang ditiupkan angin” dan mereka “tidak akan tahan dalam penghakiman” (ay.4,5). Adapun tentang mereka yang mencintai Allah dan Firman-Nya, pemazmur menyimpulkan: “TUHAN mengenal jalan orang benar,” sedangkan, “Jalan orang fasik menuju kebinasaan” (ay.6).

Memang benar bahwa pemazmur di sini melebih-lebihkan perbandingan tersebut. Hal yang buruk pun, benar-benar, terjadi pada orang benar, dan banyak orang fasik yang tumbuh subur. Namun demikian, tujuan dari syair suci ini adalah untuk menyemangati orang benar agar tetap berpegang pada Alkitab dan menjauhkan orang fasik dari kefasikan mereka. Semuanya diingatkan bahwa Allah mengamati…dan menghakimi.

Renungan Pagi 02 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
02 Mei 2018

Giliran Allah Bicara

Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku” (Ayub 38:3).

Setelah empat sahabat Ayub cukup banyak bercakap dan Ayub telah menanggapi segala pidato mereka dengan sanggahan yang panjang, Allah memutuskan bahwa sudah saatnya Ia bicara. Masalahnya, paparan dari Allah bukanlah sebuah penjelasan karena tidak Nampak ditujukan kepada masalah yang ada. Ayub menuduh Allah telah memperlakukannya, seorang yang tak berdosa, secara tidak adil. Sahabat-sahabat Ayub berpendapat (1) bahwa Ayub hanya benar dalam pandangannya sendiri; (2) bahwa ia sedang menikmati ganjaran yang sepantasnya; dan (3) bahwa Allah itu baik terlepas dari kesialan yang dialami Ayub. Karena itu, ia harus pasarah pada ajaran Allah yang hendak memperbaiki karakternya.

Terlepas apakah kita setuju atau tidak dengan pendapat mereka, nampaknya cara berpikir mereka sudah benar. Tetapi tanggapan Allah kepada Ayub tampaknya sama sekali tidak relevan. Apakah Allah “menangkap” maksud mereka?

Bukannya memberikan penjelasan terhadap bencana, penyakit, dan kematian yang sedang menderu Ayub, Allah hanya menyatakan betapa alam semesta adalah ciptaan-Nya. Selain itu, Allah dengan sarkastisnya berkata, “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!...tentu engkau mengenalnya, karena ketika itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak!” (Ayub 38:4-21).

Pertama-tama Allah menantang tentang menutup gerbang lautan, membuat petir, dan membentuk bumi. Selanjutnya ceramah berganti tentang bintang-bintang. Ia berbicara tentang memberi makan singa, menyaksikan kambing gunung beranak, membebaskan keledai liar, menundukkan lembu hutan, dan memberikan tenaga kepada kuda. Ayub mengakui kekurangannya dan Allah terus menuturkan kuasa penciptaan-Nya. Ia bersabda tentang kuda nil ciptaan-Nya, yang belulangnya terbuat dari tembaga, dan buaya, yang menghembuskan uap dari hidungnya.

Dengan rasa malu, Ayub mengakui bahwa ia telah bercakap “tanpa pengertian” (Ayub 42:3). Lalu diakuinya, “dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (ay.6).

Para pelajar Alkitab telah mencoba untuk menjelaskan jawaban Allah yang tidak relevan itu, namun sulit menemukan pemecahannya. Barangkali, implikasinya menjadi seperti ini: Jika Allah secara pribadi terlibat dalam penciptaan alam semesta ini dan komit sepenuhnya pada makhluk-makhluk memesona di dalamnya, pastilah Ia akan lebih memperhatikan mereka yang diciptakan sesuai gambar-Nya. Yaitu Ayub…dan Anda… dan saya.

Renungan Pagi 01 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
01 Mei 2018

Ada Suatu Alasan

Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang yang jujur dipunahkan?” (Ayub 4:7).

Di akhir minggu itu Ayub memecahkan kesunyian dengan sebuah gerutuan, “Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan.” (3:3).

Dibuat kaget oleh celetukan Ayub, sahabat-sahabatnya mulai berceloteh, dan dimulailah sebuah percakapan panjang yang hampir mirip saling menuding antara Ayub dan sahabat-sahabatnya. Berapa lama percakapan itu berlanjut, kita tidak tahu. Tetapi yang jelas tidak seorang pun diam membisu lagi seperti sebelumnya. Pendapat dan sanggahannya saling dilemparkan, dan masing-masing melontarkan buah pikirannya.

Elifas melayangkan tegurannya, “Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang yang jujur dipunahkan?” (Ayub 4:7). Dalam pidato panjangnya Elifas bersikeras bahwa ada suatu alasan di balik penderitaan Ayub. Bencana, penyakit, dan kematian tidak datang dengan semena-mena. “Mungkinkah seorang manusia benar di hadapan Allah, mungkinkah seseorang tahir di hadapan Penciptanya?” (ay.17). Implikasinya tentu saja bahwa Ayub menderita karena ia bukanlah orang benar seperti yang dikira oleh semua orang. Dan ia memberikan sebuah nasihat selayaknya seorang kakak kepada Ayub: “Tetapi aku,  tentu aku akan mencari Allah, dan kepada Allah aku akan mengadukan perkaraku” (Ayub 5:8).

Berikutnya Bildad yang merasa terpaksa untuk berbicara, menunjuk apa yang diajarkan oleh sejarah. “Masakan Allah membengkokkan keadilan?... Jikalau anak-anakmu telah berbuat dosa terhadap Dia, maka Ia telah membiarkan mereka dikuasai oleh pelanggaran mereka” (Ayub 8:3,4). Katanya kepada Ayub, “Kalau engkau mencari Allah, dan memohon belas kasihan dari Yang Mahakuasa, kalau engkau bersih dan jujur, maka tentu Ia akan bangkit demi engkau dan Ia akan memulihkan rumah yang adalah hakmu” (ay.5,6).

Zofar menimpali dengan gagasan yang sama namun disampaikan secara berbeda. “Katamu:…aku bersih di mata-Mu. Tetapi, mudah-mudahan Allah sendiri berfirman, dan membuka mulut-Nya terhadap engkau” (Ayub 11:4,5).

Akhirnya Elihu—yang paling muda di antara empat sekawan itu yang muncul begitu saja secara tiba-tiba mengimbuhkan komentarnya, bahwa Allah telah mengirimkan penderitaan itu untuk memurnikan Ayub. “Dengan penderitaan ia ditegur di tempat tidurnya, dan berkobar terus menerus bentrokan dalam tulang-tulangnya” (Ayub 33:19). Dan Allah akan mendera hingga tiga kali untuk menyelamatkan manusia yang hendak dimurnikan-Nya (Ayub 33:29,30).

Kita semua telah mendengar penjelasan serupa tentang bencana, penyakit, dan kematian: “Ada suatu alasan.” Tetapi Allah berkata kepada sahabat-sahabat Ayub: “Kamu tidak berkata benar tentang Aku” (Ayub 42:8).

Sunday, April 29, 2018

Renungan Pagi 30 April 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
30 April 2018

Sahabat-sahabat Ayub

“Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya” (Ayub 2:13).

Dalam kesedihannya yang mendalam Ayub duduk di dalam debu, mungkin sebenarnya di tempat pembuangan sampah. Ayub secara harfiah memang telah menjadi sampah. Ia tidak hanya telah mengalami penderitaan emosional dan mental, tetapi juga menderita sakit secara fisik. Tidak seorang pun yang mengetahui penyakit apa yang dideritanya, meskipun beberapa orang menduganya sebagai luka melepuh atau luka bakar yang hebat. Lelehan yang keluar dari kulitnya dan koreng yang terbentuk minta digaruk, serangga bertelur di rekahan kulitnya dan belatung bermunculan, dan tubuhnya membengkak, mulutnya berbau, dan tulang-belulangnya sakit luar biasa sehingga ia tak mampu berdiri.

Istrinya pun tak banyak membantu. Ia menyemburkan cacian, “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (Ayub 2:9). Dan Ayub menjawab, “Engkau berbicara seperti perempuan gila!” (ay.10).

Belakangan Elifas, Bildad, dan Zofar tiba untuk “mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia” (ay.11), mereka bahkan tak mengenalinya lagi dan menangis. Ketika mereka bergabung dengannya di tumpukan sampah, mereka mengoyak jubah dan menaburkan debu di kepala mereka—keduanya adalah kebiasaan orang Timur Dekat kuno untuk menunjukkan kesedihan.

Apa yang dilakukan oleh para sahabatnya kemudian membuat saya kagum, dan menghargai mereka karenanya. Selama satu minggu mereka duduk di sana bersama Ayub—siang dan malam di tumpukan sampah. Dan “seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitannya” (ay.13). di saat menderita, kita tidak menginginkan atau membutuhkan nasihat. Ucapan belarasa atau turut bersimpati seringkali terdengar seperti basa-basi…atau lebih buruk lagi.

Ketika ayah saya meninggal karena gagal jantung hanya beberapa minggu sebelum natal, saya menelepon anak lelaki saya di bandara sambil menunggu untuk naik ke pesawat yang menuju California. “Ron, semburku, “ayahku baru saja meninggal”.

Dan Ron tidak mengatakan..sesuatu pun. Selama beberapa menit yang terasa panjang saya tak mendengar apa-apa kecuali keheningan, sebelum ia berkata-kata. Keheningan Ron bermakna lebih bagi saya daripada seluruh kata-kata penghiburan dari orang lain, dan saya merenungkan reaksinya itu seraya pesawat Boeing 747 membawaku terbang ke California.

Kebanyakan kita (termasuk saya) sering bergegas ke tempat yang seperti kata pepatah “bahkan malaikat pun enggan ke sana.” Tanpa memikirkannya masak-masak, kita begitu saja memuntahkan kata-kata yang bila dianalisis sungguh tak berarti. Kita kerap gagal memahami betapa tanpa kata-kata—hanya diam yang bersahaja—dapat menyampaikan pesan lebih kaya ketimbang banjir kata-kata. Itulah penghiburan yang terbaik.