Saturday, April 28, 2018

Renungan Pagi 29 April 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
29 April 2018

Allah yang Bersalah?

“TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21)

Kata-kata di dalam ayat hari ini sungguh saleh, bukan? Tetapi apakah Ayub benar dalam hal ini? Ayub, orang yang takut akan Allah, berdoa setiap hari untuk keluarga besarnya. Selain memiliki tujuh orang anak lelaki dan tiga anak perempuan, dan harta benda pribadi lainnya, Ayub juga memiliki 7.000 kambing, 3.000 unta, 500 pasang lembu, 500 keledai betina, “dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar” (Ayub 1:3). Ia menikmati kehidupan yang baik.

Meskipun ia adalah orang yang saleh, Ayub tidak kebal terhadap bencana, penyakit, dan kematian, dan menjadi terkenal justru karena nasib buruknya. Dalam waktu sehari ia kehilangan seluruh lembu dan keledainya yang diambil oleh orang Syeba; seluruh kawanan kambing berikut para gembalanya disambar petir; orang Kasdim mengambil kawanan untanya; dan, meskipun ia sudah mendoakan anak-anaknya kepada Allah, angin rebut memorakporandakan rumah di mana anak-anaknya sedang berpesta. Dan seolah-olah hal itu belum cukup, segera Ayub sendiri terpuruk oleh “barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya” (Ayub 2:7).

Penyakit, bencana, dan kematian menjadi momok yang menghantui Planet Bumi ini setiap hari. Beberapa di antaranya kita ketahui; namun kebanyakan terjadi di luar pengetahuan kita. Puluhan ribu orang di seluruh dunia mati setiap hari karena kelaparan. Puluhan juta, termasuk anak-anak, terkena AIDS, dan virus itu membunuh berjuta-juta orang setiap tahunnya. Di Amerika Serika saja ratusan hingga ribuan orang mati setiap tahunnya karena penyakit jantung, dan ratusan hingga ribuan orang lainnya mati karena kanker. Sekitar 100 badai tropis—angin topan dan hujan badai—melanda dunia setiap tahunnya, dan setiap tahun Amerika Serikat disapu oleh 1.200 angin topan. Di seluruh dunia, petir menyambar sekitar 100 kali setiap detiknya. Dan angka-angka ini hanya puncak dari sebuah gunung es.

Salah satu pandangan teori chaos mengatakan bahwa kupu-kupulah yang bertanggungjawab atas terjadinya angin topan—“butterfly effect”. (Teorinya, kepak sayap kupu-kupu di Perancis dapat menimbulkan serangkaian efek yang berpuncak pada terjadinya angina topan di Oklahoma.) Perusahaan asuransi biasanya mengelompokkan bencana alam di bawah kolom “Acts of God”. Namun kita belajar dari pembukaan kitab Ayub bahwa penyebab bencana beruntun yang dialami Ayub bukanlah Allah, melainkan “sang Iblis” (belakangan disebut Iblis saja, tanpa kata sandang). Jadi manakala kita berbicara tentang Allah sebagai penyebab bencana, penyakit, dan kematian, kita sedang mempersetankan Allah.

Friday, April 27, 2018

Renungan Pagi 28 April 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
28 April 2018

Pemeliharaan oleh Tangan yang Tidak Kelihatan

“Supaya hari-hari Purim itu dirayakan pada waktu yang ditentukan, seperti yang diwajibkan kepada mereka oleh Mordekhai, orang Yahudi itu, dan oleh Ester, sang ratu” (Ester 9:31).

Pesta Purim orang Yahudi adalah perayaan Alkitabiah yang tidak didukung oleh perintah langsung dari Allah. Sabat mingguan, perayaan bulanan Rosh Chodesh (bulan baru), dan perayaan tahunan (seperti Paskah) dirayakan karena Allah secara langsung memerintahkannya. Tidak demikian halnya dengan pesta Purim, yang diadakan oleh Mordekhai dan Ester.

Ester adalah satu dari dua kitab di dalam Alkitab yang tidak menyinggung nama Allah. (Satunya lagi adalah Kitab Ratapan). Selain itu, kitab ini juga tidak merujuk pada suatu doa atau praktik religius lainnya. Yang paling dekat untuk dapat disebut latihan rohani hanyalah puasa yang dilakukan oleh Ester, yang tidak terlalu menonjol dari segi rohani, karena bahkan para pengikutnya yang menganut agama Zoroaster pun tidak mengeluh atau keberatan untuk melakukannya. (Puasa di kalangan orang Yahudi menunjukkan kedudukan atau sebagai rasa syukur, dan lebih merupakan sebuah perilaku sekular.)

Kitab Ester ini begitu sekularnya sehingga beberapa sarjana Alkitab mempertanyakan tempatnya di dalam Alkitab. Dan memang, konspirasi di istana dengan pelbagai trik dan tipuan membuat kitab Ester ini dibaca seperti sebuah cerpen: Raja Ahasyweros yang mabuk menyuruh ratunya untuk memamerkan kemolekannya di hadapan segerombolan pria yang mabuk; Ester, seorang gadis Yahudi, menghabiskan malamnya bersama sang raja, menyenangkan hati lelaki bejat itu; dua orang pengawal raja berkomplot untuk membunuh raja;  Haman, salah seorang pembantu raja yang paling dipercaya, merencanakan sebuah pembunuhan massal; Ester mempertaruhkan nyawanya dengan mengundang raja ke sebuah perjamuan—sebenarnya dua perjamuan; Haman yang anti-Yahudi itu juga diundang ke perjamuan, di mana Ester menunjuk hidungnya sebagai solusi pamungkas raja yang murka menemukan Haman sedang berlutut di kaki ratunya yang cantik untuk memohon pengampunan; Ahasyweros pun menuduh Haman hendak memperkosa ratu dan menjatuhkan hukuman gantung di tiang setinggi 25 meter yang dibuat oleh Haman untuk menggantung Mordekhai; maklumat pun dikeluarkan yang mengizinkan orang Yahudi membunuh musuh-musuh mereka dan menjarah harta milik mereka; dan Mordekhai serta Ester memulai sebuah perayaan yang berlangsung hingga hari ini sebagai sebuah pesta tahunan.

Hanya dengan mata iman para pembaca dapat melihat pemeliharaan Ilahi yang bekerja diam-diam di belakang akal bulus orang-orang Persia dan juga orang-orang Yahudi, persis seperti yang terjadi hari-hari ini. Tangan Allah yang penuh kebajikan tetap tersembunyi dari pandangan dan hanya dapat nampak oleh mata iman… di balik fakta yang kasat mata. Tangan pemeliharaan itu tersembunyi, namun ada di sana.

Thursday, April 26, 2018

Renungan Pagi 27 April 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
27 April 2018

Hadiah yang Ditangguhkan

“Tetapi perkara itu dapat diketahui oleh Mordekhai, lalu diberitahukannyalah kepada Ester, sang ratu, dan Ester mempersembahkannya kepada raja atas nama Mordekhai. Perkara itu diperiksa dan ternyata benar, maka kedua orang itu disulakan pada tiang” (Ester 2:22,23).

Mordekhai menduduki posisi penting dalam pemerintahan Persia, dan ia selalu berada di dekat gerbang kerajaan. Di tempat umum seperti itu, seseorang dapat mendengar banyak kabar burung di samping kabar yang benar. Pada waktu itu, ketika Mordekhai duduk di pintu gerbang istana raja, sakit hatilah Bigtan dan Teresh, dua orang sida-sida raja yang termasuk golongan penjaga pintu, lalu berikhtiarlah mereka untuk membunuh raja Ahasyweros’ (Est.2:21).
Mordekhai melaporkan persekongkolan itu, menyelamatkan hidup raja, tetapi tidak menerima penghargaan resmi. Maka iapun melanjutkan tugas kesehariannya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hingga…

Kita tidak tahu berapa lama waktu berlalu, tetapi pada suatu malam raja gelisah di tempat tidurnya, ia tak kunjung terlelap. Akhirnya ia meminta “obat tidur”—dengan membaca dari Kitab Pencatatan Sejarah Pemerintahan.

Salah satu laporan yang dibacakan adalah mengenai kepahlawanan Mordekhai. Maka raja bertanya, “Kehormatan dan kebesaran apakah yang dianugerahkan kepada Mordekhai oleh sebab perkara itu?” (Est.6:3). Dan dijawab, “Kepadanya tidak dianugerahkan suatu apaun.” Tepat pada saat itu datanglah Haman, yang baru saja dinaikkan pangkatnya oleh raja dan dengan menggunakan cincin stempel raja telah menerbitkan perintah kerajaan untuk melakukan pembunuhan massal orang Yahudi. Misi Haman? Ia hendak mendapatkan izin untuk menggantung Mordekhai pada tiang setinggi 25 meter yang telah didirikannya.

Sebelum Haman menyampaikan permohonannya, raja bertanya kepadanya apa yang harus dilakukan kepada seseorang untuk menunjukkan penghormatan dari raja. Karena mengira kehormatan itu adalah miliknya, Haman memohon kepada raja agar mengenakan kepada orang itu jubah yang biasa dipakai raja, menaruh mahkota yang biasa dipakai raja dikepalanya, dan menaikannya di atas kuda yang biasa ditunggangi oleh raja, dan menyuruh orang untuk mengaraknya seperti pahlawan ke jalan-jalan. Raja menyukai gagasan tersebut dan menyuruh Haman untuk melaksanakan penghormatan itu bagi Mordekhai! Berbicara tentang keadilan!

Karena setiap kita memiliki ego—yang seorang lebih besar daripada yang lain—kita pun menginginkan pengakuan. Namun, janganlah kita memuji diri sendiri, meskipun bila tiba saatnya penghargaan itu tak kunjung datang. Tugas kita adalah memenuhi tanggung jawab kita, bahkan bila harus melakukannya tanpa diketahui orang.

Wednesday, April 25, 2018

Renungan Pagi 26 April 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
26 April 2018

Kesimpulan yang Gegabah

“Karena kelakuan sang ratu itu akan merata kepada semua perempuan, sehingga mereka tidak menghiraukan suaminya” (Ester 1:17).

“Pada tahun ketiga dalam pemerintahannya, diadakanlah oleh baginda [Raja Ahasyweros] perjamuan bagi semua pembesar dan pegawainya; tentara Persia dan Media, kaum bangsawan dan pembesar daerah…berhari-hari lamanya, sampai seratus delapan puluh hari” (Est.1:3,4). Seolah-olah belum cukup, seusai pesta itu ia melangsungkan sebuah perjamuan lagi, dengan mengikutsertakan rakyat Susan sebagai tamu. Pesta ini berlangsung hanya satu minggu. Pada saat yang bersamaan, Ratu Wasti mengadakan perjamuan bagi para wanita di kerajaan.

Pada hari terakhir dari segala pertunjukan kemewahan ini, raja Persia berada dalam keadaan mabuk. Ia memerintahkan pembantu terdekatnya untuk “membawa Wasti, sang ratu, dengan memakai mahkota kerajaan, menghadap raja untuk memperlihatkan kecantikannya kepada sekalian rakyat dan pembesar” (ay.11).

Karena alasan yang tidak diketahui, ratu menolak undangan itu. Barang kali ia terlalu sibuk dengan perjamuan yang diadakannya untuk para wanita. Mungkin juga ia sedang sakit kepala. Tradisi rabinik menyebutkan bahwa sang raja menginginkan ratu tampil hanya dengan mengenakan mahkota saja. Tetapi tetap saja, penolakannya merupakan sesuatu yang sangat tidak lazim di dalam budaya patriarkal, di mana wanita tidak terlalu diperhitungkan dan para istri adalah harta milik suami mereka dan diharapkan untuk bersembah sujud kepada suami, yang kerap mereka panggil dengan sebutan “tuan.” Syukurlah kata “taat” sudah dibuang dalam janji perkawinan modern. Dan sangat membahagiakan bahwasanya di dalam masyarakat Barat yang sudah beradab, wanita bukan lagi termasuk “harta benda,” tapi dianggap sebagai rekan bagi pria.

Raja Ahasyweros memuncak amarahnya akibat penghinaan yang dilakukan di depan umum itu. Jelas sekali ratu telah mempermalukannya—dengan sangat. Untuk mengembalikan rasa hormatnya, ia berembuk dengan para penasihat terdekatnya, dan salah seorang dari mereka menjawab, “Wasti, sang ratu, bukan bersalah kepada raja saja, melainkan juga kepada semua pembesar dan segala bangsa yang di dalam segala daerah Raja Ahasyweros” (ay.16). lalu Memukan melanjutkan kesimpulannya yang gegabah itu dengan sebuah permohonan agar “Wasti dilarang menghadap Raja Ahasyweros, dan bahwa raja akan mengaruniakan kedudukannya sebagai ratu kepada orang lain yang lebih baik dari padanya” (ay.19). dan begitulah diputuskan oleh raja, yang untungnya masih mengampuni jiwa Ratu Wasti.

Meskipun hal semacam itu umum dijumpai pada masa kini, akan lebih baik jika kita dengan bijak berpikir dua kali sebelum mengambil kesimpulan yang gegabah, karena hal terebut cenderung membesar-besarkan akibat, yang sebenarnya tidak perlu membuat kita khawatir.

Tuesday, April 24, 2018

Renungan Pagi 25 April 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
25 April 2018

Keadilan Sosial

“Maka terdengarlah keluhan yang keras dari rakyat dan juga dari pihak para isteri terhadap sesama orang Yahudi…’Ladang dan kebun anggur dan rumah kami gadaikan untuk mendapatkan gandum pada waktu kelaparan’…’walau kami ini sedarah sedaging dengan saudara-saudara sebangsa kami…namun kami terpaksa membiarkan anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan kami menjadi budak dan sudah beberapa anak perempuan kami harus membiarkan diri dimiliki orang.’” (Nehemia 5:1-5).

Situasi di Yehuda telah sampai pada titik didih. Kebutuhan finansial mendorong orang ke bibir jurang keputusasaan. Dan bisa jadi beberapa dari mereka telah terjatuh ke dalamnya!

Telah terjadi musibah kelaparan, dan untuk dapat bertahan hidup saja mereka harus menggadaikan rumah—tanah yang diberikan Allah untuk mereka—supaya mereka bisa membeli makanan. Dan yang menambah parah luka mereka, masih ada pajak yang harus mereka bayar kepada bangsa Persia atas tanah yang sudah mereka gadaikan itu. “Kami harus meminjam uang untuk membayar pajak yang dikenakan raja atas ladang dan kebun anggur kami” (Neh.5:4). Dan untuk mendapatkan makanan mereka harus menjual beberapa anak mereka menjadi budak. “Kami tidak dapat berbuat apa-apa,” begitu mereka mengadu kepada Nehemia.

Dan seolah semua itu belum cukup, para pemberi pinjaman uang dan pemegang gadai itu adalah orang sebangsa mereka—Yahudi, bukan “penduduk asli” dan bukan juga orang Persia. “Walaupun kami ini sedarah sedaging dengan saudara-saudara sebangsa kami dan anak-anak kami sama dengan anak-anak mereka,” protes mereka, “Namun kami terpaksa membiarkan anak-anak lekaki dan anak-anak perempuan kami menjadi budak” (ay.5). Bagi kebanyakan orang di Timur Dekat kuno, harta ekonomis mereka terdiri hanya atas dua hal tersebut.

Kondisi mengerikan yang dialami orang-orang di bawah pemerintahannya ini mengejutkan Nehemia. Ia memanggil para pemuka dan para penguasa, dan memarahi mereka, “Masing-masing kamu telah makan riba dari saudara-saudaramu!” (ay.7).

Apa jawaban mereka? Diam. Tidak ada jawaban. Mereka juga tidak mengaku bersalah. “Mereka berdiam diri karena tidak dapat membantah” (ay.8).

Nehemia melanjutkan, “Biarlah kamu kembalikan kepada mereka hari ini juga ladang mereka, kebun anggur, kebun zaitun dan rumah mereka, pula hapuskanlah hutang mereka” (ay.11).

Kebanyakan kita telah mendengar tentang kalangan pebisnis (beberapa di antara mereka orang Advent) yang memperoleh kekayaan mereka dengna memeras para pekerja mereka. Tetapi manusia bukanlah untuk dipakai atau dimanfaatkan. Kita tidak akan melakukannya kepada Allah, bukan? Kalau begitu, kita juga tidak akan melakukannya kepada mereka yang menyandang gambar Allah, benar?

Monday, April 23, 2018

Renungan Pagi 24 April 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
24 April 2018

Berdoa untuk Apa?

“Balikkanlah cercaan mereka menimpa kepala mereka sendiri dan serahkanlah mereka menjadi jarahan di tanah tempat tawanan. Jangan Kaututupi kesalahan mereka, dan dosa mereka jangan Kauhapus dari hadapan-Mu” (Nehemia 4:4,5).

Kiprah pembangunan kembali Yerusalem dan bait suci-Nya bukanlah tanpa hambatan. Terjadi beberapa kemajuan dan kemunduran di dalamnya. Kadang-kadang hambatan muncul dari tingkah “orang-orang setempat”, dan terkadang rintangan datang dari perilaku orang-orang Israel sendiri. Apa pun sumber kemacetan itu, selain membuat kecewa para pemimpin, mereka juga menjadi frustasi.

Tetapi doa pembalasan Nehemia cukup mengagetkan kita. Ia berdoa agar hal-hal buruk terjadi pada lawan-lawannya. Ia bahkan memerintahkan Allah untuk tidak mengampuni mereka. Tidak terdengar seperti “cintailah musuhmu,” bukan? Bagaimanaka sebuah doa yang berisi kutukan seperti itu dapat dibenarkan? Dan memang, di bawah terang ajaran dan hidup Yesus, hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Namun demikian, ada sesuatu yang harus kita mengerti di sini.

Kita menggunakan komunikasi—baik lisan maupun tertulis—dalam lima cara yang berbeda. Dan setiap jenis “ucapan” memiliki tujuannya yang khusus. Komunikasi informatif berisi nama-nama dan informasi. Ensiklopedia dan buku tahunan adalah contoh dari bahasa informatif. Komunkasi kognitif bertujuan untuk membagikan gagasan. Buku-buku teologi dan editorial menggunakan Bahasa kognitif. Komunikasi afektif membagikan dan membangkitkan emosi. Kartu ucapan, umpatan, dan rayuan adalah bentuk-bentuk Bahasa afektif. Komunikasi performatif menghasilkan tindakan. Peraturan dan perintah adalah jenis Bahasa performatif. Dan komunikasi Phatic adalah obrolan yang dapat menurunkan ke tegangan dan membangun kesetia-kawanan. Salam, ucapan selamat jalan, dan icebreaker adalah contoh-contoh Bahasa phatic. Tidak satupun dari jenis-jenis ucapan ini buruk, masing-masing cocok untuk saat yang tepat dan dalam situasi yang cocok. Kita perlu mengenali jenis bahasa yang digunakan agar dapat mengerti komunikasi yang terjadi.

Seperti dalam puisi dan lagu pujian, begitu pula dalam doa kita sering menggunakan Bahasa afektif. Sekarang kita dapat kembali ke Nehemia dan doa pembalasannya. Ia merasa frustasi dan melampiaskan kemarahannya kepada Allah. Dan Nampak bagi saya sendiri bahwa Allah menganggap serius Bahasa afektif kita (seperti saat kita marah dan mengoceh kepada Dia). Namun Ia tidak mengartikan bahasa kita secara harfiah. Ia mengetahui bahwa kita menggunakan Bahasa afektif untuk mengekspresikan sukacita saat kita bergembira dan kemarahan saat kita sedih dan kecewa. Dan para pelajar Alkitab yang cermat tidak akan membangun teologi dari apa yang terucap dalam sebuah komunikasi afektif.

Sunday, April 22, 2018

Renungan Pagi 23 April 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
23 April 2018

Siapakah yang Benar?

“Dan raja menyuruh panglima-panglima perang dan orang-orang berkuda menyertai aku” (Nehemia 2:9).

Laporan Nehemia bahwa Raja Artahsasta menyertakan pengawalan militer tidak mengesankan adanya situasi perang. Perjalanan yang dilakukan pada zaman itu memang cukup berbahaya. Oh, bahayanya bukan karena kempis ban, meskipun memang jika menggunakan kereta kuda bisa saja terjadi ada roda atau as roda yang patah. Bukan juga bahaya karena tabrakan antar kendaraan. Bukan, bahaya tersebut datang dalam bentuk serangan oleh para perampok. Berdasarkan hukum yang berlaku di Mesopotamia saat itu, para pedagang harus mengganti barang-barang yang dirampok dalam perjalanan. Karenja itulah para pelintas pada umumnya tidak pergi sendirian tapi membentuk rombongan. Meskipun kemudian ada serangan dari para penjahat, mereka biasanya akan selamat karena jumlah orang yang memadai.

Dengan bijaksana (dan hati-hati), raja menyediakan pengawalan bagi perjalanan panjang Nehemia dari Susan ke Yerusalem. Pengawalan tersebut tentu saja membuat raja harus mengeluarkan biaya untuk tentara dan pasukan berkudanya—upah dan makanan, serta pakan untuk kuda. Tetapi hal itu juga demi kepentingan Artahsasta sendiri, untuk memastikan bahwa Nehemia akan kembali pada kerajaannya sebagai juru minuman di Persia.

Demikianlah segalanya berlangsung sesuai rencana, Raja Artahsasta memberikan perlindungan bagi keselamatan Nehemia di perjalanan, dan Nehemia pun menerima niat baik sang raja. Tetapi…

Ketika Ezra meminta kepada raja yang sama bantuan untuk membangun kembali kampung halamannya, ia menolak pengawalan militer, meskipun saat itu ia harus membawa 24,5 ton emas, 3,75 ton perak, ditambah peralatan bait suci terbuat dari tembaga, perak, dan emas (Ezra, Achor Bible, hlm.67,68).
Mengapa? “Karena aku malu meminta tentara dan orang-orang berkuda kepada raja untuk mengawal kami terhadap musuh di jalan; sebab kami telah berkata kepada raja, demikian: “Tangan Allah kami melindungi semua orang yang mencari Dia demi keselamatan mereka, tetapi kuasa murka-Nya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia.’ Jadi berpuasalah kami dan memohonkan hal itu kepada Allah dan Allah mengabulkan permohonan kami” (Ez.8:22,23).

Bagaimana kita harus memandang hal ini? Di satu pihak, Ezra, orang pilihan Allah itu, menolak pengawalan militer dari Artahsasta untuk mengamankan perjalanannya ke Yerusalem. Ia beralasan bahwa pengawalan itu akan menunjukkan kurangnya iman. Di pihak lain, Nehemia, juga seorang pilihan Allah, menerima pengawalan bersenjata dari raja yang sama. Jelas ia tidak menganggap pengawalan itu sebagai tanda kurangnya iman. Apakah Ezra yang benar sedangkan Nehemia salah? Apakah iman Ezra adalah iman yang angku? Apakah Nehemia lebih bijak dalam hal ini? Mungkin bukan hak kita untuk menghakimi.