“POTRET KASIH ALLAH”
24 April 2018
Berdoa untuk Apa?
“Balikkanlah cercaan mereka menimpa kepala mereka
sendiri dan serahkanlah mereka menjadi jarahan di tanah tempat tawanan. Jangan Kaututupi
kesalahan mereka, dan dosa mereka jangan Kauhapus dari hadapan-Mu” (Nehemia
4:4,5).
Kiprah pembangunan kembali Yerusalem dan bait
suci-Nya bukanlah tanpa hambatan. Terjadi beberapa kemajuan dan kemunduran di
dalamnya. Kadang-kadang hambatan muncul dari tingkah “orang-orang setempat”,
dan terkadang rintangan datang dari perilaku orang-orang Israel sendiri. Apa pun
sumber kemacetan itu, selain membuat kecewa para pemimpin, mereka juga menjadi
frustasi.
Tetapi doa pembalasan Nehemia cukup mengagetkan
kita. Ia berdoa agar hal-hal buruk terjadi pada lawan-lawannya. Ia bahkan
memerintahkan Allah untuk tidak mengampuni mereka. Tidak terdengar seperti “cintailah
musuhmu,” bukan? Bagaimanaka sebuah doa yang berisi kutukan seperti itu dapat
dibenarkan? Dan memang, di bawah terang ajaran dan hidup Yesus, hal tersebut
tidak dapat dibenarkan. Namun demikian, ada sesuatu yang harus kita mengerti di
sini.
Kita menggunakan komunikasi—baik lisan maupun
tertulis—dalam lima cara yang berbeda. Dan setiap jenis “ucapan” memiliki
tujuannya yang khusus. Komunikasi informatif berisi nama-nama dan informasi. Ensiklopedia
dan buku tahunan adalah contoh dari bahasa informatif. Komunkasi kognitif
bertujuan untuk membagikan gagasan. Buku-buku teologi dan editorial menggunakan
Bahasa kognitif. Komunikasi afektif membagikan dan membangkitkan emosi. Kartu ucapan,
umpatan, dan rayuan adalah bentuk-bentuk Bahasa afektif. Komunikasi performatif
menghasilkan tindakan. Peraturan dan perintah adalah jenis Bahasa performatif. Dan
komunikasi Phatic adalah obrolan yang
dapat menurunkan ke tegangan dan membangun kesetia-kawanan. Salam, ucapan
selamat jalan, dan icebreaker adalah
contoh-contoh Bahasa phatic. Tidak satupun
dari jenis-jenis ucapan ini buruk, masing-masing cocok untuk saat yang tepat dan
dalam situasi yang cocok. Kita perlu mengenali jenis bahasa yang digunakan agar
dapat mengerti komunikasi yang terjadi.
Seperti dalam puisi dan lagu pujian, begitu pula
dalam doa kita sering menggunakan Bahasa afektif. Sekarang kita dapat kembali
ke Nehemia dan doa pembalasannya. Ia merasa frustasi dan melampiaskan
kemarahannya kepada Allah. Dan Nampak bagi saya sendiri bahwa Allah menganggap
serius Bahasa afektif kita (seperti saat kita marah dan mengoceh kepada Dia). Namun
Ia tidak mengartikan bahasa kita secara harfiah. Ia mengetahui bahwa kita
menggunakan Bahasa afektif untuk mengekspresikan sukacita saat kita bergembira
dan kemarahan saat kita sedih dan kecewa. Dan para pelajar Alkitab yang cermat
tidak akan membangun teologi dari apa yang terucap dalam sebuah komunikasi
afektif.
0 comments:
Post a Comment