Friday, May 4, 2018

Renungan Pagi 05 Mei 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
05 Mei 2018

Kebungkaman Allah

Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mazmur 10:1).

Salah satu tantangan iman yang paling serius adalah ketika Allah membisu di saat kemalangan merundung mereka yang percaya kepada-Nya. Kita mengetahui beberapa dari janji-janji Alkitab yang menunjukkan bahwa Allah menjawab doa-doa—terutama mereka yang sedang jatuh dan terpuruk. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menekankan keberpihakan Allah kepada mereka yang tertindas. Kita dibimbing untuk percaya bahwa Allah telah menjawab doa kita bahkan sebelum kita mengucapkannya.

Namun mereka yang melayani Allah dengan setia seringkali menemukan diri mereka dalam kondisi tersebut di atas. Mereka pontang-panting di tepi jurang kebangkrutan. Lemari mereka seperti milik Mother Hubbard—kosong melompong. Anak-anak menangis kelaparan. Sebuah rumah terbakar menjadi abu, tak ada waktu untuk menyelamatkan apa pun. Angin topan menerbangkan sebuah mobil dan menghempaskannya ke tanah sejauh 1 mil. Pencuri membongkar sebuah rumah dan mengambil harta benda milik keluarga. Seorang ibu menderita kanker kulit dan meninggal, menjadikan seorang bayi, seorang balita, dan seorang remaja anak-anak piatu. Bisnis terjerembab ke dalam masa sulit dan selusin orang harus dirumahkan, termasuk seorang ayah, satu-satunya pencari nafkah keluarga. Para penggosip di gereja menyebarkan kabar burung tentang seorang penatua. Dan ini barulah daftar yang singkat!

Pemazmur mendapati dirinya dalam situasi yang sama dan meratapi kekejaman orang fasik. “Karena congkak orang fasik…dan orang yang loba mengutuki dan menista TUHAN” (Mzm. 10:2,3). Orang-orang fasik “duduk menghadang di gubuk-gubuk, di tempat yang tersembunyi…” (ay.8).

Tidak terlalu mengherankan ketika ia mengeluh kepada TUHAN. “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (ay.1). “Bangkitkah, TUHAN! Ya Allah, ulurkanlah tangan-Mu” (ay.12). Umumnya kita juga telah mengucapkan jeritan yang sama di saat-saat tertentu. Dimanakah Allah sebenarnya di saat kita membutuhkan-Nya? Kebungkaman Allah mulai menggerogoti gairah iman kita.

Di samping rasa frustasinya, pada akhirnya pemazmur merasa yakin bahwa suatu hari, entah bagaimana Allah akan menanggapi dengan positif. “Engkaulah yang melihat kesusahan dan sakit hati, supaya Engkau mengambilnya ke dalam tangan-Mu sendiri. Kepada-Mulah orang lemah menyerahkan diri: untuk anak yatim Engkau menjadi penolong” (ay.14). “TUHAN adalah Raja untuk seterusnya dan selama-lamanya. Bangsa-bangsa lenyap dari tanah-Nya” (ay.16). Tapi kapankah itu?

Dibutuhkan iman yang bulat untuk meyakini bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik karena Allah peduli. Teodisi, meskipun mungkin masuk akal, dapat terdengar kosong melompong, dan tidak mampu menjawab jeritan hati nan parau. Namun demikian, Allah melihat…dan peduli, bahkan di saat kita tidak merasakan kehadiran-Nya di sisi kita!

0 comments:

Post a Comment