“POTRET KASIH ALLAH”
30 April 2018
Sahabat-sahabat Ayub
“Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama
tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya,
karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya” (Ayub 2:13).
Dalam kesedihannya yang mendalam Ayub duduk di
dalam debu, mungkin sebenarnya di tempat pembuangan sampah. Ayub secara harfiah
memang telah menjadi sampah. Ia tidak hanya telah mengalami penderitaan
emosional dan mental, tetapi juga menderita sakit secara fisik. Tidak seorang
pun yang mengetahui penyakit apa yang dideritanya, meskipun beberapa orang
menduganya sebagai luka melepuh atau luka bakar yang hebat. Lelehan yang keluar
dari kulitnya dan koreng yang terbentuk minta digaruk, serangga bertelur di
rekahan kulitnya dan belatung bermunculan, dan tubuhnya membengkak, mulutnya
berbau, dan tulang-belulangnya sakit luar biasa sehingga ia tak mampu berdiri.
Istrinya pun tak banyak membantu. Ia menyemburkan
cacian, “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (Ayub 2:9). Dan Ayub menjawab, “Engkau
berbicara seperti perempuan gila!” (ay.10).
Belakangan Elifas, Bildad, dan Zofar tiba untuk “mengucapkan
belasungkawa kepadanya dan menghibur dia” (ay.11), mereka bahkan tak
mengenalinya lagi dan menangis. Ketika mereka bergabung dengannya di tumpukan
sampah, mereka mengoyak jubah dan menaburkan debu di kepala mereka—keduanya adalah
kebiasaan orang Timur Dekat kuno untuk menunjukkan kesedihan.
Apa yang dilakukan oleh para sahabatnya kemudian
membuat saya kagum, dan menghargai mereka karenanya. Selama satu minggu mereka
duduk di sana bersama Ayub—siang dan malam di tumpukan sampah. Dan “seorangpun
tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat
berat penderitannya” (ay.13). di saat menderita, kita tidak menginginkan atau
membutuhkan nasihat. Ucapan belarasa atau turut bersimpati seringkali terdengar
seperti basa-basi…atau lebih buruk lagi.
Ketika ayah saya meninggal karena gagal jantung
hanya beberapa minggu sebelum natal, saya menelepon anak lelaki saya di bandara
sambil menunggu untuk naik ke pesawat yang menuju California. “Ron, semburku, “ayahku
baru saja meninggal”.
Dan Ron tidak mengatakan..sesuatu pun. Selama beberapa
menit yang terasa panjang saya tak mendengar apa-apa kecuali keheningan,
sebelum ia berkata-kata. Keheningan Ron bermakna lebih bagi saya daripada
seluruh kata-kata penghiburan dari orang lain, dan saya merenungkan reaksinya
itu seraya pesawat Boeing 747 membawaku terbang ke California.
Kebanyakan kita (termasuk saya) sering bergegas ke
tempat yang seperti kata pepatah “bahkan malaikat pun enggan ke sana.” Tanpa memikirkannya
masak-masak, kita begitu saja memuntahkan kata-kata yang bila dianalisis
sungguh tak berarti. Kita kerap gagal memahami betapa tanpa kata-kata—hanya diam
yang bersahaja—dapat menyampaikan pesan lebih kaya ketimbang banjir kata-kata. Itulah
penghiburan yang terbaik.
0 comments:
Post a Comment