Sunday, April 29, 2018

Renungan Pagi 30 April 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
30 April 2018

Sahabat-sahabat Ayub

“Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya” (Ayub 2:13).

Dalam kesedihannya yang mendalam Ayub duduk di dalam debu, mungkin sebenarnya di tempat pembuangan sampah. Ayub secara harfiah memang telah menjadi sampah. Ia tidak hanya telah mengalami penderitaan emosional dan mental, tetapi juga menderita sakit secara fisik. Tidak seorang pun yang mengetahui penyakit apa yang dideritanya, meskipun beberapa orang menduganya sebagai luka melepuh atau luka bakar yang hebat. Lelehan yang keluar dari kulitnya dan koreng yang terbentuk minta digaruk, serangga bertelur di rekahan kulitnya dan belatung bermunculan, dan tubuhnya membengkak, mulutnya berbau, dan tulang-belulangnya sakit luar biasa sehingga ia tak mampu berdiri.

Istrinya pun tak banyak membantu. Ia menyemburkan cacian, “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (Ayub 2:9). Dan Ayub menjawab, “Engkau berbicara seperti perempuan gila!” (ay.10).

Belakangan Elifas, Bildad, dan Zofar tiba untuk “mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia” (ay.11), mereka bahkan tak mengenalinya lagi dan menangis. Ketika mereka bergabung dengannya di tumpukan sampah, mereka mengoyak jubah dan menaburkan debu di kepala mereka—keduanya adalah kebiasaan orang Timur Dekat kuno untuk menunjukkan kesedihan.

Apa yang dilakukan oleh para sahabatnya kemudian membuat saya kagum, dan menghargai mereka karenanya. Selama satu minggu mereka duduk di sana bersama Ayub—siang dan malam di tumpukan sampah. Dan “seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitannya” (ay.13). di saat menderita, kita tidak menginginkan atau membutuhkan nasihat. Ucapan belarasa atau turut bersimpati seringkali terdengar seperti basa-basi…atau lebih buruk lagi.

Ketika ayah saya meninggal karena gagal jantung hanya beberapa minggu sebelum natal, saya menelepon anak lelaki saya di bandara sambil menunggu untuk naik ke pesawat yang menuju California. “Ron, semburku, “ayahku baru saja meninggal”.

Dan Ron tidak mengatakan..sesuatu pun. Selama beberapa menit yang terasa panjang saya tak mendengar apa-apa kecuali keheningan, sebelum ia berkata-kata. Keheningan Ron bermakna lebih bagi saya daripada seluruh kata-kata penghiburan dari orang lain, dan saya merenungkan reaksinya itu seraya pesawat Boeing 747 membawaku terbang ke California.

Kebanyakan kita (termasuk saya) sering bergegas ke tempat yang seperti kata pepatah “bahkan malaikat pun enggan ke sana.” Tanpa memikirkannya masak-masak, kita begitu saja memuntahkan kata-kata yang bila dianalisis sungguh tak berarti. Kita kerap gagal memahami betapa tanpa kata-kata—hanya diam yang bersahaja—dapat menyampaikan pesan lebih kaya ketimbang banjir kata-kata. Itulah penghiburan yang terbaik.

0 comments:

Post a Comment