“POTRET KASIH ALLAH”
18 Mei 2018
Ucapan yang Menyakitkan
“Orang yang
menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih adalah seperti orang yang
menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka” (Amsal 25:20).
Kebanyakan kita akan bersikap hati-hati bila
berbicara dengan orang yang sedang sakit hati—mereka yang sedang bingung atau
sedih. Namun terkadang, terlepas dari niat baik kita, komentar yang kita
lontarkan sering menyakitkan ketimbang menghibur. Mungkin masalah adalah bahwa
kita lupa untuk berpikir masak-masak sebelum membuka mulut dan bicara. Terlepas
dari makna yang terkandung di balik kata-kata kita yang salah tempat itu dan
dari niat baik kita, apa yang kita katakan dapat lebih banyak kesalahan
ketimbang kebaikannya.
Dalam suatu kesempatan saya mengalami kesulitan di
tempat kerja, dan mengadu kepada ayah saya. Setelah saya mengakhiri keluh-kesah
saya, ayah, yang biasanya peka, memberikan nasihat. Sebenarnya, saya tidak
meminta dinasehati; saya hanya hendak mencurahkan isi hati. Tetapi kata-kata
ayah membuat saya merasa seperti “orang yang menanggalkan baju di musim dingin”
dan terasa “seperti cuka pada luka”—membuat hati saya seolah menggigil kesakitan.
Seorang gembala pada pemakaman bocah berusia 4
tahun menenangkan orang tua almarhum, dan berkata, “Ini adalah kehendak Allah”.
Di perjalanan pulang kata-kata itu berpilin di benak saya—“Ini adalah kehendak
Allah” bahwa anak tak bersalah itu tenggelam? Sekali lagi, kata-kata yang
ditujukan pada hati yang sakit dan jiwa yang resah itu membuat orang yang
bersedih menjadi beku, karena gembala itu “seperti orang yang menanggalkan baju
di musim dingin, dan seperti cuka pada luka”.
Orang bisa saja membela kata-kata semacam itu
dengan menafsirkannya sebagai ucapan afektif (pengungkap emosi) dan bukannya
ucapan kognitif (pernyataan teologis). Pengertian semacam itu dapat membantu. Namun
demikian, komunikasi afektif semacam itu tidak bermanfaat dan dapat digolongkan
sebagai “omong kosong,” yang ditentang oleh Yesus. Teologi yang tepat (ucapan
kognitif yang benar) seyogianya menghasilkan ucaan belasungkawa yang baik
(ucapan afektif yang efektif). Amsal 16:24 tepat pada sasarannya dengan
mengatakan bahwa kata-kata yang pada tempatnya (kata Ibrani ini sering
diterjemahkan “menyenangkan”) adalah seperti sarang madu.
Ketika kita melihat orang lain terluka emosi dan
mentalnya, secara alami kita ingin mengatakan sesuatu untuk menolongnya. Tetapi
terlalu sering kita menyemburkan kata-kata dari mulut kita, yang membuat kita
seperti “orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada
luka.” Demikian pula “orang yang berpengetahuan menahan perkataannya” (Ams.17:27).
0 comments:
Post a Comment