Sunday, June 17, 2018

Renungan Pagi 12 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
12 Juni 2018

Teologi “Siapa yang Bersalah”
Laksana beruang Ia menghadang aku, laksana singa dalam tempat persembunyian. Ia… merobek-robek aku dan membuat aku tertegun” (Ratapan 3:10,11).

Kitab Ratapan penuh dengan gambaran nyata tentang TUHAN sebagai musuh umat-Nya. Kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya mengandung referensi yang sama tentang Allah sebagai penyebab bencana, penyakit, dan kematian, tetapi Ratapan kelihatannya penuh dengan referensi semacam itu.

Nebukadnezar, raja Babel, telah 3 kali menghancurkan Yerusalem: tahun 605 SM, tahun 597 SM, dan (dengan akibat yang luar biasa) di tahun 56 SM.
Dalam cara yang sama, kehancuran kota kuno itu tertanam dalam ingatan orang Yahudi seperti halnya pembasmian etnis yang dilakukan Hitler lebih dari 2.500 tahun kemudian. Kehancuran itulah yang diratapi di dalam kitab ini.

Tentu saja penderitaan semacam itu membutuhkan pembenaran, dan kita menemukannya di sepanjang kitab Ratapan. “TUHAN membuatnya merana” (Rat.1:5). “TUHAN… murka-Nya menyala-nyala!” (ay.12). “Aku dibuat-Nya terkejut, kesakitan sepanjang hari” (ay.13). “tanpa belas kasihan TUHAN memusnahkan” (Rat.2:2). “Tuhan menjadi seperti seorang seteru; Ia menghancurkan Israel” (ay.5). “TUHAN telah memutuskan untuk mempuingkan tembok puteri Sion” (ay.8). “Engkau membunuh mereka tatkala Engkau murka, tanpa belas kasihan Engkau menyembelih mereka!” (ay.21). “Aku dipukul-Nya berulang-ulang” (Rat.3.;3). “Ia menyusupkan ke dalam hatiku segala anak panah” (ay/13). “TUHAN melepaskan segenap amarah-Nya” (Rat.4:11). Dan ini: “Bukankah dari… Yang Mahatinggi keluar apa yang buruk dan apa yang baik?” (Rat.3:38).

Apa yang harus kita perbuat dengan teologi ini—bahwa ketika tiba pada bencana, penyakit, dan kematian, Allah menjadi jawaban dari pertanyaan “siapa yang melakukannya?” Apakah benar bahwa Ia adalah sumber dari penderitaan manusia—bahkan penderitaan dari umat-Nya sendiri? Khususnya sejak pembasmian etnis, kebanyakan ahli teologi akan menggemakan kata tidak. Tetapi mengapa Alkitab mengatakannya demikian?

Beberapa alasan dapat ditegakkan. Barangkali masyarakat Timur Dekat kuno tidak mengerti hubungan sebab akibat seperti yang kita ketahui. Mungkin di hadapan politeisme yang merajalela—bahkan di antara pilihan-Nya—TUHAN merasa terpanggil untuk memborong semua tanggung jawab atas semua yang terjadi untuk mempertahankan monoteisme. Dan hampir semua pertanyaan di atas tertuang dalam bahasa afektif, yang mengungkapkan dan membangkitkan emosi. Bahasa kognitiflah yang kita pergunakan untuk menyampaikan gagasan teologis dan filosofis. Sehingga tidak bijak jika kita merumuskan teologi dari ucapan-ucapan afektif, karena hal itu berada di luar fungsinya. Lebih baik kiranya jika kita membacanya dan turut berduka bersama mereka yang menderita.

0 comments:

Post a Comment