“POTRET KASIH ALLAH”
12 Juni 2018
Teologi “Siapa yang Bersalah”
“Laksana beruang Ia menghadang aku, laksana singa dalam tempat
persembunyian. Ia… merobek-robek aku dan membuat aku tertegun” (Ratapan
3:10,11).
Kitab Ratapan penuh
dengan gambaran nyata tentang TUHAN sebagai musuh umat-Nya. Kitab-kitab Perjanjian
Lama lainnya mengandung referensi yang sama tentang Allah sebagai penyebab
bencana, penyakit, dan kematian, tetapi Ratapan kelihatannya penuh dengan
referensi semacam itu.
Nebukadnezar, raja Babel,
telah 3 kali menghancurkan Yerusalem: tahun 605 SM, tahun 597 SM, dan (dengan
akibat yang luar biasa) di tahun 56 SM.
Dalam cara yang sama,
kehancuran kota kuno itu tertanam dalam ingatan orang Yahudi seperti halnya
pembasmian etnis yang dilakukan Hitler lebih dari 2.500 tahun kemudian.
Kehancuran itulah yang diratapi di dalam kitab ini.
Tentu saja penderitaan
semacam itu membutuhkan pembenaran, dan kita menemukannya di sepanjang kitab
Ratapan. “TUHAN membuatnya merana” (Rat.1:5). “TUHAN… murka-Nya menyala-nyala!”
(ay.12). “Aku dibuat-Nya terkejut, kesakitan sepanjang hari” (ay.13). “tanpa
belas kasihan TUHAN memusnahkan” (Rat.2:2). “Tuhan menjadi seperti seorang
seteru; Ia menghancurkan Israel” (ay.5). “TUHAN telah memutuskan untuk
mempuingkan tembok puteri Sion” (ay.8). “Engkau membunuh mereka tatkala Engkau
murka, tanpa belas kasihan Engkau menyembelih mereka!” (ay.21). “Aku
dipukul-Nya berulang-ulang” (Rat.3.;3). “Ia menyusupkan ke dalam hatiku segala
anak panah” (ay/13). “TUHAN melepaskan segenap amarah-Nya” (Rat.4:11). Dan ini:
“Bukankah dari… Yang Mahatinggi keluar apa yang buruk dan apa yang baik?”
(Rat.3:38).
Apa yang harus kita
perbuat dengan teologi ini—bahwa ketika tiba pada bencana, penyakit, dan
kematian, Allah menjadi jawaban dari pertanyaan “siapa yang melakukannya?”
Apakah benar bahwa Ia adalah sumber dari penderitaan manusia—bahkan penderitaan
dari umat-Nya sendiri? Khususnya sejak pembasmian etnis, kebanyakan ahli
teologi akan menggemakan kata tidak. Tetapi mengapa Alkitab mengatakannya
demikian?
Beberapa alasan dapat
ditegakkan. Barangkali masyarakat Timur Dekat kuno tidak mengerti hubungan
sebab akibat seperti yang kita ketahui. Mungkin di hadapan politeisme yang
merajalela—bahkan di antara pilihan-Nya—TUHAN merasa terpanggil untuk memborong
semua tanggung jawab atas semua yang terjadi untuk mempertahankan monoteisme.
Dan hampir semua pertanyaan di atas tertuang dalam bahasa afektif, yang
mengungkapkan dan membangkitkan emosi. Bahasa kognitiflah yang kita pergunakan
untuk menyampaikan gagasan teologis dan filosofis. Sehingga tidak bijak jika
kita merumuskan teologi dari ucapan-ucapan afektif, karena hal itu berada di
luar fungsinya. Lebih baik kiranya jika kita membacanya dan turut berduka
bersama mereka yang menderita.
0 comments:
Post a Comment