“POTRET KASIH ALLAH”
12 Mei 2018
Kepantasan Ibadah
“Mazmur untuk
korban syukur. Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Beribadahlah kepada
TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” (Mazmur 100:1,
2).
Mazmur ke seratus ini adalah syair penyembahan
singkat di dalam mana sang pemazmur bercerita kepada kita bagaimana umat Allah
seharusnya menyebah di bait suci. Seluruh syair ini bertaburan nada dan irama.
Tempat-tempat penyembahan kuno, baik di Mesir,
Mesopotamia, Kanaan, atau Israel, bukanlah tempat di mana para penyembah duduk
mengikuti kebaktian. Bagi mereka duduk menjadi sesuatu yang sangat pasif. Para penyembah
berdiri sepanjang ritus religi mereka. Teks Ibrani memang tidak menyebut jelas
tentang posisi berdiri tegak tatkala menyembah Allah, tetapi Eugene Peterson
beranggapan, tentu saja dengan tepat, bahwa berdiri adalah sikap yang biasa
ditemui di dalam bait Allah.
Secara harfiah, ayat di atas menyentuh kita untuk
datang ke hadirat Allah dengan berteriak. Kata Ibrani yang diterjemahkan “bersorak”
memiliki arti mengeluarkan suara keras yang merujuk pada suara tanduk domba (shofar) yang ditiup, atau suara manusia
yang nyaring, dan sering digunakan sebagai tanda kemenangan dan/atau
sukacita. Di dalam budaya Barat kita
mengasumsikan bahwa sikap khidmat itu haruslah hening, tetapi orang Israel di
Timur Dekat kuno menghargai suara yang keras sebagai bagian dari sikap
penghormatan.
Selain itu, umat Allah mengungkapkan pemujaan
mereka dengan sukacita. “Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita” (ay.2). Mereka
juga diperintahkan oleh mazmur ini untuk “beribadah” kepada-Nya. Kata kerja ini
datang dari kata benda Ibrani ebed,
yang berarti “budak” atau “pelayan”. Cara untuk menunjukkan bakti kepada TUHAN
adalah melalui kegembiraan—sukaria. “Datanglah ke hadapan-Nya dengan
sorak-sorai!” (ay.2). Kebaktian dan penyembahan ditunjukkan dengan sikap yang
sama—sorak-sorai.
Allah berhak mendapatkan penyembahan yang penuh
sukaria karena “Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan
kawanan domba gembala-Nya” (ay.3). TUHAN bukan hanya Pencipta tetapi juga
Pemelihara. Karenanya, rasa syukur mesti ditambahkan kepada kegembiraan yang
memuncak di dalam menyembah “TUHAN” yang “baik, kasih setia-Nya untuk
selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun” (ay.5).
Meskipun konteks Mazmur 100 secara keseluruhan
tentang bangsa Israel—nama Allah adalah YHWH, yang menciptakan satu bangsa,
yang membuat perjanjian dan memelihara bangsa yang diciptakan-Nya itu, yakni
keturunan Abraham—rasanya bukan sesuatu yang salah jika kita menerapkan
kata-kata tersebut untuk diri kita. Para penulis Perjanjian Baru berbicara
tentang perjanjian yang baru (atau diperbarui), yang mengikat kita di dalamnya.
0 comments:
Post a Comment