“POTRET KASIH ALLAH”
10 Mei 2018
Allah yang Melakukannya?
“Telah
Kautaruh aku dalam liang kubur yang paling bawah, dalam kegelapan, dalam tempat
yang dalam” (Mazmur 88:7).
Kita semua mengalami masa-masa baik dan buruk, dan
rupanya hari itu adalah hari yang buruk—bahkan mungkin tahun yang buruk—bagi sang
pemazmur yang mengutarakan isi hatinya kepada Allah. Kita tidak tahu yang
sebenarnya. Yang kita tahu adalah si penyair merasa sebagai orang yang paling
malang di saat ia menulis Mazmur 88.
“Ya TUHAN, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari
aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau.” (Mzm.88:2). “Sendengkanlah
telinga-Mu kepada teriakku; sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka” (ay.3,4). “Aku
telah dianggap termasuk orang-orang yang turun ke liang kubur; aku seperti
orang yang tidak berkekuatan” (ay.5).
Darimana kesulitan-kesulitan berasal? Ia
menjelaskannya dalam ayat kita hari ini. “Telah Kautaruh aku dalam liang kubur
yang paling bawah, dalam kegelapan, dalam tempat yang dalam” (ay.7). Ingat, ia
sedang bercakap dengan Allah. Ia sedang menyalahkan Allah, dari antara semua
orang, untuk segala penderitannya. “Aku tertekan oleh panas murka-Mu, dan
segala pecahan ombak-Mu Kautindihkan kepadaku” (ay.8). lebih jauh lagi, karena
Allah pula, pemazmur telah ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya. “Telah Kaubuat
aku menjadi kekejian bagi mereka” (ay.9).
Apakah teologi yang dianut pemazmur sudah benar?
Apakah kesulitannya datang langsung dari Allah? Apakah Allah yang menimpakan
nasib itu kepadanya? Apakah Allah marah kepadanya? Apakah Allah sumber
penderitaan umat manusia? Memang ada ayat-ayat Alkitab yang menempatkan Allah
sebagai penyebab segala akibat, bahkan segala kekejian—bencana, penyakit, dan
kematian. Namun berdasarkan ayat-ayat lain mengenai kasih Allah yang sempurna
dan kudus, kita boleh mengambil kesimpulan bahwa penulis yang terinspirasi
sedang berusaha untuk mempertahankan keutuhan monoteisme dengan cara
menghubungkan semua kejadian baik maupun buruk kepada satu-satunya Allah.
Apabila sang pemazmur menggunakan bahasa kognitif
dalam menulis syairnya, kita harus menerimanya mentah-mentah sebagai teologi
yang menyalahkan Allah. Seperti Anda ketahui, kita menggunakan bahasa kognitif
untuk menyampaikan gagasan—filsafat, teologi. Tetapi mazmur adalah syair, dan
syair bukanlah bentuk percakapan kognitif. Syair menggunakan bahasa afektif,
yang berguna untuk mengungkapkan (dan membangkitkan) emosi. Dan Allah dengan
murah hati telah mengizinkan kita—bahkan para penulis suci-Nya—untuk menyalurkan
rasa frustasi kita, tanpa menghukum kita, atau membinasakan kita, terlepas dari
betap menghujatnya ucapan afektif yang kita gunakan. Akan tetapi kita harus
berhati-hati, agar saat menggunakan kata-kata afektif itu, kita tidak
mempersalahkan Allah. Itu adalah teologi yang sesat.
0 comments:
Post a Comment