“POTRET KASIH ALLAH”
3 April 2018
Daud Menjadi Raja dari Kerajaan yang Bersatu
“Lalu makin lama makin besarlah kuasa Daud, sebab
TUHAN semesta alam menyertainya” (1 Tawarikh 11:9).
Daud adalah seorang buronan, memimpin gerombolan
400 hingga 600 pemberontak yang menjadi pelarian karena memiliki utang yang tak
sanggup mereka bayar atau orang-orang yang marah dan kecewa karena satu dan
lain hal. Dan selama waktu itu ia dan gerombolannya yang selalu membuat onar itu
terus diburu seperti binantang oleh tentara kerajaan Saul.
Setelah meninggalnya Raja Saul, Daud, yang jauh
hari sebelumnya telah diurapi secara diam-diam oleh Samuel, menyatakan dirinya
sebagai raja di Hebron. Selama tujuh tahun ia memerintah Yehuda dari kota itu,
sementara Isyboset (“orang yang memalukan”) yang berusia 40 tahun, satu-satunya
anak Saul yang masih hidup, menjadi lawannya dan memerintah Israel. Pada suatu
saat setelah kematian Isyboset di tangan Rekhab dan Baana, para penjahat dari
pemerintahan Saul yang telah tak berfungi itu mengunjungi Daud di Hebron. Meskipun
sediki sekali rincian yang tersedia tentang ini, pertemuan itu menghasilkan
sebuah perjanjian antara Daud dengan mereka. Dan sebagai puncaknya, mereka
mengurapi Daud (pengurapan Daud yang ketiga kalinya) sebagai penguasa atas
Yehuda dan Israel—sebuah kerajaan yang bersatu.
Dalam sebuah langkah diplomatik yang jenis Daud
memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Yerusalem, sebuah kota yang dihuni oleh
orang-orang Yebusi dan merupakan daerah netral bagi Israel maupun Yehuda,
meskipun hal ini bukan merupakan berkat bagi penduduk di sana! Setelah menaklukkan
Zion dan daerah sekitarnya, kejayaan Daud semakin bertambah kuat karena “TUHAN
semesta alam menyertainya”.
Agak mengagetkan saat membaca bahwa Daud “makin
lama makin besar.” Pertama, ia lahir di keluarga Isai dan tidak diperhitungkan.
Kedua, ia adalah seorang pembelot dan orang paling dicari oleh penguasa
sebelumnya. Ketiga, ia hanya memimpin 600 orang pria dan belakangan hanya
segelintir orang Israel. Keempat, ia telah menaklukkan diri kepada penguasa
lain, seperti Akhis, raja Filistin di Gat.
Tapi bahkan lebih mengagetkan lagi membaca bahwa “Allah
tidak pernah menghendaki umat-Nya hidup dalam sebuah kerajaan. Bahkan Allah
menganggap permintaan mereka akan seorang raja sebagai tamparan di wajah-Nya. Meskipun
Allah kecewa terhadap perkembangan situasi ini, Ia dengan murah hati
menyesuaikan diri-Nya pada kondisi yang disebabkan oleh kehausan umat-Nya untuk
menjadi sama dengan dunia, dan “menyertai” Daud—meskipun seorang raja Israel
adalah sesuatu yang dalam istilah kita “di luar kehendak Allah.”
0 comments:
Post a Comment