“POTRET KASIH ALLAH”
4 Juni 2018
Bulan Madu Telah Usai
“Pergilah memberitahukan kepada penduduk Yerusalem dengan mengatakan: “Beginilah
firman TUHAN: Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada
waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun,
di negeri yang tiada tetaburannya” (Yeremia 2:2).
Allah mengalami
pernikahan yang bermasalah—dengan bangsa Israel. Mereka telah memasuki sebuah
ikatan yang menggembirakan, tetapi sekarang ada suatu masalah yang jelas-jelas
dilakukan oleh satu pihak. Allah sebagai mempelai pria tidak bercela. Tetapi sekarang…
apa yang tersisa bagi Allah hanyalah kenangan masa lalu. “Aku teringat…kepada
cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di
padang gurun.” Ya, gurun Sinai adalah tempat yang aneh untuk berbulan madu,
tetapi Allah mengenangnya dengan penuh kesedihan. (Sungguh aneh bagaimana Allah
memiliki kenangan manis saat pengembaraan di gurun, sementara tingkah laku
pengantin baru-Nya saat itu membuat Musa menggeram, “Bahkan kamu menentang
TUHAN, sejak aku mengenal engkau” [Ul.9:24]. Nampaknya Allah hanya mengenang
saat-saat tertentu saja.)
Dalam kenangan-Nya,
pernikahan itu menuju kehancuran tatkala Ia membawa pengantin-Nya masuk ke
Tanah Perjanjian. “Aku telah membawa kamu ke tanah yang subur untuk menikmati
buahnya dan segala yang baik dari padanya. Tetapi… kamu menajiskan tanah-Ku;
tanah milik-Ku telah kamu buat menjadi kekejian” (Yer.2:7). Anda hampir-hampir
dapat menyaksikan Allah meneteskan air mata ketika Ia bertanya dengan hati yang
sakit, “Apakah kecurangan yang didapati nenek moyangmu pada-Ku, sehingga mereka
menjauh dari pada-Ku?” (ay.5).
Dalam beberapa pasal
Allah mengajukan dakwaan kepada bangsa Israel, terkadang dalam bahasa yang
penuh warna. Pengantin-Nya telah mendua hati. “Sungguh, mereka membelakangi Aku”
(ay.27). “Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih” (Yer.3:1). “Dahimu
adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu” (ay.3). “Sudahkah Aku
menjadi padang gurun bagi Israel?” Ia merenung. Situasinya begitu bobrok sampai
pada titik di mana Ia “memberikan kepadanya surat cerai” (Yer.3:8). Perceraian
sepertinya sudah diputuskan, tanpa ada kemungkinan rujuk kembali. Namun demikian,
Allah menginginkan istri-Nya yang tidak setia itu kembali. “’Kembalilah, hai
Israel, perempuan murtad’… , Aku… tidak akan murka untuk selama-lamanya’”
(ay.12). TUHAN beranggapan, “Pikir-Ku: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan
kembali kepada-Ku” (ay.7). “Tetapi ia tidak kembali” (ay.7). Apa yang Allah
harapkan, tidak terjadi.
Pilihan kita membuat
perbedaan. Ketika kita menggunakan kebebasan yang diberikan Allah kepada kita,
sebuah goresan ditambahkan ke atas kanvas, satu hal yang Allah pilih untuk
menanggapinya.
0 comments:
Post a Comment