Tuesday, June 5, 2018

Renungan Pagi 4 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
4 Juni 2018

Bulan Madu Telah Usai
Pergilah memberitahukan kepada penduduk Yerusalem dengan mengatakan: “Beginilah firman TUHAN: Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya” (Yeremia 2:2).
Allah mengalami pernikahan yang bermasalah—dengan bangsa Israel. Mereka telah memasuki sebuah ikatan yang menggembirakan, tetapi sekarang ada suatu masalah yang jelas-jelas dilakukan oleh satu pihak. Allah sebagai mempelai pria tidak bercela. Tetapi sekarang… apa yang tersisa bagi Allah hanyalah kenangan masa lalu. “Aku teringat…kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun.” Ya, gurun Sinai adalah tempat yang aneh untuk berbulan madu, tetapi Allah mengenangnya dengan penuh kesedihan. (Sungguh aneh bagaimana Allah memiliki kenangan manis saat pengembaraan di gurun, sementara tingkah laku pengantin baru-Nya saat itu membuat Musa menggeram, “Bahkan kamu menentang TUHAN, sejak aku mengenal engkau” [Ul.9:24]. Nampaknya Allah hanya mengenang saat-saat tertentu saja.)
Dalam kenangan-Nya, pernikahan itu menuju kehancuran tatkala Ia membawa pengantin-Nya masuk ke Tanah Perjanjian. “Aku telah membawa kamu ke tanah yang subur untuk menikmati buahnya dan segala yang baik dari padanya. Tetapi… kamu menajiskan tanah-Ku; tanah milik-Ku telah kamu buat menjadi kekejian” (Yer.2:7). Anda hampir-hampir dapat menyaksikan Allah meneteskan air mata ketika Ia bertanya dengan hati yang sakit, “Apakah kecurangan yang didapati nenek moyangmu pada-Ku, sehingga mereka menjauh dari pada-Ku?” (ay.5).
Dalam beberapa pasal Allah mengajukan dakwaan kepada bangsa Israel, terkadang dalam bahasa yang penuh warna. Pengantin-Nya telah mendua hati. “Sungguh, mereka membelakangi Aku” (ay.27). “Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih” (Yer.3:1). “Dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu” (ay.3). “Sudahkah Aku menjadi padang gurun bagi Israel?” Ia merenung. Situasinya begitu bobrok sampai pada titik di mana Ia “memberikan kepadanya surat cerai” (Yer.3:8). Perceraian sepertinya sudah diputuskan, tanpa ada kemungkinan rujuk kembali. Namun demikian, Allah menginginkan istri-Nya yang tidak setia itu kembali. “’Kembalilah, hai Israel, perempuan murtad’… , Aku… tidak akan murka untuk selama-lamanya’” (ay.12). TUHAN beranggapan, “Pikir-Ku: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali kepada-Ku” (ay.7). “Tetapi ia tidak kembali” (ay.7). Apa yang Allah harapkan, tidak terjadi.
Pilihan kita membuat perbedaan. Ketika kita menggunakan kebebasan yang diberikan Allah kepada kita, sebuah goresan ditambahkan ke atas kanvas, satu hal yang Allah pilih untuk menanggapinya.

0 comments:

Post a Comment