Friday, June 8, 2018

Renungan Pagi 8 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
8 Juni 2018

Kasih Allah
Anak kesayangankah gerangan Efraim bagi-Ku anak kesukaan? Sebab setiap kali Aku menghardik dia, tak putus-putusnya Aku terkenang kepadanya; sebab itu hati-Ku terharu terhadap dia; tak dapat tidak Aku akan menyayanginya” (Yeremia 31:20).
Di dalam satu ayat ini kita menemukan kata-kata yang menggambarkan potret yang luar biasa tentang TUHAN. Kiasan yang digunakan oleh Allah tentang diri-Nya sungguh mengena sehingga bila kita memahami nuansa kata-kata-Nya, kita akan terhenyak! Sayangnya, tidak ada terjemahan yang dapat menangkap keindahan dari analogi diri yang difirmankan Allah ini.
Dengan menyebut rakyat kerajaan utara Israel yang tercerai-berai itu sebagai anak-Nya, TUHAN mengakui bahwa Ia telah mengucapkan kata-kata yang keras terhadap anak-Nya sendiri. Nayatanya, seperti orang muda yang berkepala batu, Israel telah memberontak terhadap Bapanya. Tetapi mereka lalu menyesal (ay.19), dan mengakui bahwa diri mereka tak ubahnya anak lembu yang tidak terlatih menggunakan kuk (ay.18). Sebagai hasil dari disiplin yang diterapkan Allah, mereka pun “berbalik” dan bertobat (ay19).
Allah menggambarkan rakyat yang membangkang itu dengan istilah-istilah yang penuh kasih-sayang. Mereka adalah yaqqir, “kesayangan.” Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa mereka itu berharga—bahkan bernilai tinggi—bagi Allah. Kata yang dapat diterjemahkan “mahal.” Dengan kata lain, mereka membuat Allah sakit-sakitnya hati orang tua yang penuh kasih! Lebih jauh, Allah tetap menyatakan bahwa mereka adalah “kesukaan”-Nya. Kata Ibrani yang dipakai di sini, sa’asu’im, memiliki arti kesukaan yang mendalam—sebuah sumber kegembiraan. Singkat kata, Allah memandang umat-Nya sebagai kawan bermain yang menyenangkan. Seorang penafsir Ibrani, Kimchi, mengatakan bahwa Allah menggambarkan diri-Nya sebagai seorang ayah yang bermain-main dengan anak-Nya.
Terlepas dari kerasnya disiplin yang diterapkan oleh Allah, Ia mengatakan bahwa mereka ada dalam pikiran-Nya setiap waktu. Boleh jadi dengan keras Ia mendisiplin anak-Nya yang memberontak (seperti yang biasa dilakukan para ayah di Timur Dekat kuno), tetapi tidak berarti Ia melupakan mereka. Sama sekali tidak! Ketia Ia melihat mereka disiksa oleh bangsa Asyur, “hati-Ku terharu terhadap dia.” Kata Ibrani yang dipakai di sini berarti hati yang bergejolak. Ia bergolak dan bergemuruh dalam simpati—bukan, dalam kepedihan—terhadap mereka. Serangan Asyur yang hebat bukan hanya membuat gentar bangsa Israel, tetapi juga membuat Allah membuncah dan bergetar! Demikianlah “kasih-sayang” Allah kepada mereka. Sekali lagi kita berjumpa dengan kata Ibrani yang memiliki akar-kata ‘rahim”. Seperti seorang ibu, hati TUHAN terharu diliputi perasaan sayang kepada bangsa Israel.
Hal itu benar, Allah tidak suka ketika ciptaan-Nya menderita; Ia turut berduka bersama mereka.

0 comments:

Post a Comment