Renungan Pagi “POTRET KASIH ALLAH”
25 Maret 2018
Pertarungan
“Mereka…memanggil nama baal dari pagi sampai tengah
hari, katanya: “Ya Baal, jawablah kami!’ Tetapi tidak ada suara, tidak ada
jawaban” (1 Raja-raja 18:26).
Ahab, raja dari kerajaan utara Israel, sujud
menyembah Baal. Sebagai tanda ketidaksenangan Allah, tanah di kerajaan ini
mengalami kekeringan selama tiga tahun. Akhirnya Allah menyuruh Elia,
“Pergilah, perlihatkanlah diriku kepada Ahab” (1 Raj.18:1). Elia menghadap raja
dan memerintahkannya untuk “mengumpulkan seluruh Israel ke Gunung Karmel, juga
nabi-nabi Baal yang empat ratus lima puluh orang itu dan nabi-nabi Asyera yang
empat ratus itu” (ay.19) untuk mengatur sebuah pertarungan antara TUHAN dan
Baal.
Elia mengusulkan agar para nabi palsu itu mempersembahkan
seekor lembu kepada Baal, dan ia juga akan mempersembahkan seekor kepada TUHAN.
Allah mana yang menjawab, dengan api, menjadi pemenangnya. “Seluruh rakyat
menyahut, katanya: ‘Baiklah demikian!’” (ay.24).
Sepanjang hari para nabi Baal berdoa dan menari di
sekeliling mezbah, sambal melukai tubuh mereka untuk memancing Baal agar
bertindak. “Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab” (1 Raj.18:26).
Ketika Elia berdoa, setelah menggenangi parit di
sekeliling mezbahnya dengan 12 buyung air, “Turunlah api TUHAN menyambar habis
korban bakaran dengan kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit
itu habis dijilatnya” (ay.38).
Pendapat umum mengatakan bahwa Allah selalu
menjawab doa-doa. Kadang-kadang Ia berkata tidak; kadang, ya; dan terkadang
pula, tunggu. Dengan logika ini, diamnya Baal adalah sebuah jawaban—“tidak”!
(Atau mungkin Baal menjawab ‘tunggu”, tapi Elia terlalu tidak sabar.) Namun
kisah Gunung Karmel ini memberitahu kita bahwa dua kali Baal tidak menjawab doa
nabi-nabinya (ay.26 dan 29).
Jawaban sebuah doa mestilah berhubungan dengan
permohonan doa tersebut. Bila suatu doa dijawab artinya Allah mengabulkan doa
itu. Pendapat umum di atas menimbulkan masalah karena sebuah doa belum dijawab
kecuali doa itu dikabulkan. Sehingga, apa pun yang terjadi—atau tidak
terjadi—dapat dipelintir menjadi sebuah “jawaban” doa, dan jawaban dari Allah
menjadi sebuah trik “ekor, aku yang menang; kepala, kamu yang kalah.”
Sebaiknya kita tidak terburu-buru menerima gagasan
bahwa doa selalu dijawab—dengan ya, tidak, atau tunggu. Jika kita percaya bahwa
doa dapat membuat perubahan, maka kita harus membuktikan kepercayaan itu dengan
jelas dan meyakinkan. Bila tidak demikian, diamnya Allah bisa disalahmengerti
sebagai sebuah jawaban atas doa.
0 comments:
Post a Comment