Monday, December 31, 2018

RENUNGAN HARIAN TAHUN 2019 "BAPA KITA PEDULI"




RENUNGAN HARIAN TAHUN 2019 "BAPA KITA PEDULI"

Karakter Kebapaan dan Kasih Allah yang Berlimpah
Ellen White menyatakan bahwa “Tema kesukaan Kristus adalah karakter kebapaan dan kasih Allah yang berlimpah” (Testimonies for the Church, 6:55). Ini juga tampaknya menjadi tema kegemaran Ellen White. Untuk alasan itulah penulis memilih judul Bapa Kita Peduli. Judul itu memiliki makna ganda. Bukan hanya karena bacaannya telah dipilih pada topik kasih dan kepedulian Allah yang besar bagi kita, namun juga mencerminkan fakta bahwa Allah begitu peduli pada kita sehingga Ia tertarik pada setiap aspek kehidupan sehari-hari kita. Dia peduli dengan kesehatan kita, rumah tangga kita, pelajaran kita mengenai Firman-Nya, kemenangan kita atas dosa, persiapan kita bagi kedatangan-Nya yang kedua kali. Ia juga rindu agar kita Bersama Dia dalam kerajaan-Nya, yang segera akan didirikan di atas bumi. Betapa pedulinya Dia!


Ellen G. White (1827-1915)
Dikenal sebagai penulis Amerika yang tulisannya diterjemahkan paling luas dan telah dipublikasikan dalam lebih dari 140 bahasa. Meskipun Pendidikan formalnya berakhir pada usia Sembilan tahun, dia telah menulis lebih dari 100.000 halaman mengenai berbagai topik praktis yang sangat luas. Dituntun oleh Roh Kudus, dia meninggikan Yesus dan menunjuk kepada Alkitab sebagai dasar dari imannya.

Monday, June 18, 2018

Renungan Pagi 19 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
19 Juni 2018

Apa yang Sesungguhnya Dikehendaki Allah?
Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup… Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” (Yehezkiel 33:11).

Melalui nabi-nabi-Nya, Allah meramalkan sebuah masa depan kelam yang akan menimpa umat-Nya—ramalan tentang malapetaka yang dahsyat. Ia menjadi sakit hati karena mereka telah bersekutu dengan kaum penyembah berhala dan karena telah ikut menyembah berhala, keduanya disebabkan oleh ketidaksetiaan pada pernikahan dari pihak mereka. “Mereka berzinah dengan menyembah berhala-berhalanya” (Yeh.23:37). Lebih buruk lagi, korban yang mereka persembahkan bukan hanya kambing dan domba. Bahkan “anak-anak lelaki mereka yang dilahirkan bagi-Ku dipersembahkannya sebagai korban dalam api” (ay.37)—pengorbanan manusia.

TUHAN, memerintahkan, “Biarlah bangkit sekumpulan orang melawan mereka dan biarkanlah mereka menjadi kengerian dan rampasan. Kumpulan orang ini akan melontari mereka dengan batu dan memancung mereka dengan pedangnya, membunuh anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan mereka dan membakar habis rumah-rumah mereka” (ay.46,47). Ia melampiaskan kekesalan-Nya kepada mereka dan berkata, “Aku ingin mentahirkan engkau, tetapi engkau tidak menjadi tahir dari kenajisanmu, maka engkau tidak akan ditahirkan lagi, sampai Aku melampiaskan amarah-Ku atasmu. Aku tidak melalaikannya dan tidak merasa sayang, juga tidak menyesal” (Yeh.24:13,14).

TUHAN terdengar sangat serius! Karena umat-Nya telah menghina-Nya Ia pun akan menghancurkan mereka. Tapi terlepas dari hal buruk yang dimaksudkan-Nya, Allah mulai terdengar seolah-olah Ia tidak memaksudkan apa yang dikatakan-Nya. Apakah TUHAN telah membuat ancaman kosong? Tidak. Ia bersungguh-sungguh dalam setiap firman-Nya, namun di dalam lubuk hati-Nya Ia berkehendak bukan menghancurkan, tetapi menyelamatkan. “Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup.”

Meskipun malapetaka yang diramalkan-Nya tidak selalu diawali dengan kata “jika,” namun Ia dengan senang hati akan membatalkan rencana-Nya itu apabila umat-Nya bertobat. Yang perlu mereka lakukan adalah memohon pengampunan—dengan sungguh. Ramalan Allah tentang kehancuran Yehuda menunjukkan kehendak-Nya yang hanya secuil untuk menghancurkan, bukan tujuan sejati-Nya untuk menghidupkan. Kasih Allah, bukan amarah-Nya, tidak pernah berubah. Ia mengancam dengan tujuan mulia demi tercapainya perbaikan. Ia sangat menginginkan kalimat kutukan-Nya tidak jadi kenyataan. Ramalan adalah hubungan antara Allah dan manusia. Aksi (dan reaksi) dapat terjadi di kedua sisi ramalan tersebut.

Sunday, June 17, 2018

Renungan Pagi 18 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
18 Juni 2018

Tirus Diluluhlantakkan?
Mereka akan memusnahkan tembok-tembok Tirus…; dan akan Kujadikan dia gunung batu yang gundul. Ia akan menjadi penjemuran pukat di tengah lautan” (Yehezkiel 26:4).

Tirus telah menjadi sekutu umat Allah selama bertahun-tahun. Raja Hiram telah membantu proyek pembangunan bait suci Salomo dengan menyediakan bahan-bahan bangunan, tenaga kerja, dan transportasi. Tetapi ketika pasukan bersenjata Nebukadnezar menyerang Yerusalem (586 SM), Tirus bersorak-sorai. Tahun itu juga Allah memerintahkan Yehezkiel bernubuat tentang Tirus.

Kata-kata Yehezkiel jelas. “Mereka akan memusnahkan tembok-tembok Tirus dan meruntuhkan menara-menaranya, debu tanahnya akan Kubuang sampai bersih dari padanya dan akan Kujadikan dia gunung batu yang gundul” (Yeh.26:4). Pelaksana perintah surgawi ini pun disebutkan namanya: “Nebukadnezar… dengan memakai kuda, kereta, pasukan berkuda, dan sekumpulan tentara yang banyak” (ay.7). Pasukan tentara Nebukadnezar akan mendobrak benteng kota (ay.8). “Dengan kaki kuda-kudanya ia hendak menginjak-injak semua jalan-jalanmu, rakyatmu akan dibunuh dengan pedang… Mereka akan meruntuhkan tembok-tembokmu dan merobohkan rumah-rumahmu yang indah; batumu, kayumu dan tanahmu akan dibuang ke dalam air” (ay.11,12). Tirus akan diluluhlantakkan sehingga tak dapat dibangun kembali—lenyap selama-lamanya (ay.14; 27:36; 28:19).

Selama 13 tahun bala tentara Nebukadnezar mengepung benteng kelompok itu, dan meskipun rakyat Tirus sangat menderita karenanya, peluluhlantakan yang dinubuatkan oleh Yehezkiel tak pernah terjadi—setidaknya bukan disebabkan oleh serangan Nebukadnezar. Nayatanya Tirus semakin kuat, meskipun menjadi jajahan Babel. Baru berselang 200 tahun kemudian Alexander Agung membangun jalur lintasan dari daratan ke pulau tersebut, dan menghancurkan kota itu. Bagaimana Tirus saat ini, di abad ke-21? Terlepas dari tekad Yehezkiel yang menghendaki Tirus lenyap selama-lamanya, hari ini Tirus menjadi salah satu kota besar di Libanon.

Loh, nubuatan gagal? Bahkan Allah mengakui kegagalan itu dan berjanji untuk memberikan Mesir kepada Nebukadnezar sebagai hadiah penghibur (Yeh.29:17-20).

Nubuatan itu tidak harus terjadi. Karena sang Pencipta telah memberikan kehendak bebas kepada manusia, kemahatahuan-Nya menjadi terbagi, pernyataan yang nampaknya bertentangan. Allah tidak mengetahui pilihan-pilihan di masa depan, karena kita belum membuat pilihan-pilihan itu. Bagaimana cara orang bereaksi—baik positif maupun negative—dapat mengubah hasil sebuah nubuatan. Allah boleh jadi telah menghendaki terjadinya sebuah nubuatan, tetapi Ia tidak mesti dan tidak selalu melaksanakannya.

Renungan Pagi 17 Juni 2018




“POTRET KASIH ALLAH”
17 Juni 2018

Siapa Mati untuk Siapa?
Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (Yehezkiel 18:4).

Yehezkiel 18:4 menjadi ayat favorit para penginjil Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang ingin menekankan bahwa jiwa tidaklah kekal. Ia fana. Tentu saja tidak ada di antara kita yang akan mendebat teologi itu, meskipun kebanyakan orang Kristen mempercayai kebakaan jiwa. Namun demikian, apakah Yehezkiel 18:4 berbicara tentang keadaan orang mati? Bukan. Ayat ini menekankan hal penting lainnya, yang membantah pendapat umum di kalangan orang Israel zaman itu, dan juga pandangan orang Kristen modern masa kini.

Ungkapan yang umum di kalangan itu adalah: “Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu” (ay.2). Maksud dari peribahasa itu adalah bahwa Allah meminta pertanggungjawaban orang atas kesalahan orang tua dan leluhur mereka, serta menghukum mereka berdasarkan itu.

Konsep itu memiliki latar belakang yang kuat. Itu bahkan disinggung dalam Sepuluh Perintah Allah: “Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat” (Kel.20:5). Bukan hanya generasi berikutnya yang mendapat hukuman karena dosa bawaan mereka—hukuman itu berlanjut ke para cucu dan cicit. Dan di dalam Bilangan 14:8 Musa menggemakan konsep kesalahan dan hukuman yang dapat diturunkan dari generasi ke generasi itu.

Tidak demikian, Allah memberitahukan Yehezkiel. Itu bukanlah teologi yang baik. Orang tak bersalah tidak akan menderita hukuman Ilahi menggantikan orang lain yang bersalah. Seorang yang baik “ tidak akan mati karena kesalahan ayahnya, ia pasti hidup” (Yeh.18:17). Demikian selanjutnya ayat 18 menjungkirbalikkan peribahasa kuno itu. “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya” (ay.20).

Kata-kata Yehezkiel pastilah membuat kegemparan di tengah-tengah pendengarnya. Siapakah orang ini yang berbeda pendapat dengan Sepuluh Hukum dan dengan Musa? Namun demikian inilah saatnya bagi Allah untuk membuat masalahnya menjadi terang benderang. Betul, Ia akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatan mereka, tetapi hukuman Hakim surgawi akan dijatuhkan pribadi lepas pribadi—hanya kepada pelaku kesalahan.


Namun jika kita mau, kita dapat terbebas dari hukuman yang sejatinya milik kita. Yang perlu kita lakukan adalah dengan menerima anugerah penebusan dari-Nya.

Renungan Pagi 16 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
16 Juni 2018

Allah Menyuruhku Melakukannya
Makanlah roti itu seperti roti jelai yang bundar dan engkau harus membakarnya di atas kotoran manusia yang sudah kering di hadapan mereka” (Yehezkiel 4:12).

“Allah mengatakannya; saya percaya,” “Allah menyuruhku melakukannya; saya lakukan.” Pernah mendengar pernyataan semacam itu? Apakah cetusan perasaan yang mereka ungkapkan itu benar? Apakah baik menuruti sesuatu secara membabi-buta… bahkan Allah? Apa pendapat Anda?

Ketika Yehezkiel berbaring di sisi kiri badannya selama 390 hari dan di sisi kanan badannya selama 40 hari, ia makan menu harian yang sudah ditentukan pula yaitu dua ons gandum, jelai, kacang merah besar, kacang merah kecil, jawan dan sekoi, bersama dengan tiga perempat liter air (Yeh.4:9-11). Allah juga menyuruhnya menyantap makanan serba sedikit itu di hadapan umum, sehingga semua orang dapat melihatnya. Allah berfirman, “Engkau harus membakarnya di atas kotoran manusia yang sudah kering di hadapan mereka.”

Makanan yang diresepkan Allah ini membuat Yehezkiel merasa jijik, karena menggunakan kotoran manusia dianggap tidak bersih, sehingga ia memberanikan dirinya untuk memprotes, “Aduh, TUHAN Allah, sesungguhnya, aku tak pernah dinajiskan” (ay.14). Sebagai imam, Yehezkiel berhati-hati agar dirinya bersih dari hal-hal yang menajiskan, sesuai perintah Allah. Lalu TUHAN memperbolehkan Yehezkiel menggunakan kotoran lembu sebagai pengganti kotoran manusia. Yehezkiel tidak secara membabi-buta mematuhi, hanya semata-mata karena Allah menyuruhnya.

Ada yang bertanya-tanya, apakah yang terjadi jika Abraham (orang yang suka berdebat dengan Allah) berdebat ketika Allah menyuruhnya mempersembahkan Ishak sebagai korban di Gunung Moria. Apakah Allah akan mengalah seperti sebelumnya? Apakah Abraham (dan Ishak) harus begitu saja menanggung siksaan itu dengan membisu?

Di antara zaman Abraham dan Yehezkiel, Allah pernah pula memberikan perintah yang jelas, kali ini kepada Musa, yang menolak untuk patuh begitu saja. Ia pun mencoba beradu pendapat dengan Allah—dan menang (Kel.32:7-14)!

Dalam tiga kasus di dalam Alkitab itu kita menemukan dua di antaranya menolak untuk patuh secara membabi-buta, dan memilih untuk memberikan pendapat berbeda atas kata-kata TUHAN yang sudah jelas. Ketiganya merupakan perintah yang menyerang secara moral dan spiritual. Dan Allah tidak berkeberatan untuk mengalah dalam perdebatan dengan pengikut-pengikut setia-Nya. Apakah dengan bertentangan terhadap pendapat umum—Allah tidak menghargai kepatuhan membabi-buta terhadap kata-kata-Nya yang sudah jelas? Mungkin Allah mengirimkan penyataan-Nya bukan untuk membuat kita berhenti berpikir, tetapi malahan untuk memacu sebuah tindakan yang penuh pertimbangan.

Renungan Pagi 15 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
15 Juni 2018

Makanan Jiwa
Lalu firman-Nya kepadaku: “Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu.’Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku”’ (Yehezkiel 3:3).

Yehezkiel adalah seorang imam. Tetapi sekarang ia menjadi satu dari 10.000 tawanan perang yang dibawa oleh Nebukadnezar ke Babel setelah penyerangannya ke Yerusalem pada tahun 597 SM. Yehezkiel tidak lagi dapat mewakili rakyatnya untuk mendekati Tuhan. Jadi selama bulan juli 593 SM, Allah mengganti tugas Yehezkiel dari imam menjadi nabi. Sekarang ia akan berbicara kepada rakyatnya untuk Allah.

Setelah menerima penglihatan yang mencengangkan tentang makluk aneh berkepala empat dengan empat sayap dan memiliki roda yang ditengah-tengahnya terdapat roda lagi, Yehezkiel mendengar Allah berfirman, “Ngangakanlah mulutmu dan makanlah apa yang Kuberikan kepadamu.” (Yeh.2:8). Dan ia melihat di tangan Allah “sebuah gulungan kitab… Gulungan kitab itu ditulisi timbal balik” (ay.9,10). Allah mengulangi perintahnya dua kali lagi: “Makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel” (Yeh.3:1).

Makanan yang unik, sebuah gulungan kitab. Lembaran kitab-kitab itu terbuat dari bilah-bilah yang diambil dari batang alang-alang papyrus. Bilah-bilah ini disusun anyam, lalu dibalur dengan air dan/atau lem, ditumbuk, lalu dikeringkan sambil dihimpit (hingga berupa lembaran tipis), dan kemudian digosok hingga halus menggunakan batu. Begitu kuatnya lembaran “kertas” itu hingga bisa bertahan ribuan tahun. Bahkan sepatu pun dibuat dari bahan yang sama. Dan Yehezkiel harus mengunyah gulungan panjang kitab itu lalu menelannya, dan itu dilakukannya. Dan rasanya seperti panganan pencuci mulut, manis seperti madu. Allah lalu menyuruh Yehezkiel menyampaikan Firman-Nya kepada bangsa itu.

Kita dapat mengartikan gambaran penyataan dan inspirasi ini dengan beberapa cara. Salah satunya, adalah dengan menyimpulkannya sebagai inspirasi verbal. Allah menyediakan kata-kata yang tepat kemudian para nabi menelan kata-kata itu, hanya untuk memuntahkannya kembali kepada umat—kata-kata yang masuk sama dengan kata-kata yang keluar. Cara lain adalah, dengan mengartikannya sebagai inspirasi pemikiran. Allah memberikan penyataan, yang dicerna oleh para nabi sehingga melebur dalam diri mereka. Kemudian mereka membagikan pesan yang sudah berubah bentuk (karena dicerna dan diserap) ini dalam kata-kata dan gaya bahasa mereka. Yang terakhir ini adalah pengertian resmi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh terhadap penyataan dan inspirasi yang dinamis.

“Alkitab ditulis oleh para penulis yang terinspirasi, tetapi [tulisan tersebut] bukanlah cara berpikir dan ungkapan [langsung dari] Allah. Itu adalah [tulisan] manusiawi. Allah, sebagai pengarang, tidak diwakili… Allah tidak menaruh diri-Nya dalam kata-kata, logika, retorika, yang tertuang di dalam Alkitab… Bukan kata-kata Alkitab itu yang terinspirasi, tetapi para penulisnya itulah yang terinspirasi” (Selected Messages, jilid 1 hlm.21).

Renungan Pagi 14 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
14 Juni 2018

Yehezkiel yang Aneh
Datanglah firman TUHAN kepada imam Yehezkiel, anak Busi, di negeri orang Kasdim di tepi sungai Kebar, dan di sana kekuasaan TUHAN meliputi dia” (Yehezkiel 1:3).

Nabi Yehezkiel dan kitab yang ditulisnya, sama-sama membingungkan. Sehingga ketika menemukan beberapa masalah di dalamnya, para rabi (terutama dari Aliran Shammai) memperdebatkan posisi kitab ini di dalam kanon Alkitab. Apa yang membingungkan—kalau tidak dapat disebut aneh—dari Yehezkiel?

Pertama, kepribadiannya agak eksentrik. Nabi-nabi yang gembira luar biasa sudah bukan zamannya lagi pada masa itu, seiring berlalunya Elia dan Elisa. Namun Yehezkiel lebih mirip angkatan mereka ketimbang angkatan Yoel, Amos, Yesaya, Yeremia dkk. Ia mengatakan telah dirasuki oleh Roh (Yeh.2:2). Ia mengaku telah diangkat oleh tangan Allah (Yeh.3:14), pada suatu ketika menjambak rambutnya dan membawanya sejauh 800 km ke Yerusalem (Yeh.8:3). Ia menjadi bisu selama beberapa waktu (Yeh.3:26; 24:27). Beberapa pelajar Alkitab berspekulasi bahwa ia memang sakit secara mental.

Kedua, perilaku kenabiannya agak sedikit ganjil. Ia berbaring di sisi kiri badannya selama 390 hari dan pada sisi kanannya selama 40 hari kemudian (Yeh.4:4-6). Ia memotong rambutnya dan membaginya menjadi tiga bagian, membagar sepertiganya, mencincang dengan pedang sepertiganya dan sisanya dihamburkan ke udara (Yeh.5:1-4). Ia menghancurkan sebagian rumahnya dengan mengali dinding menggunakan tangan kosong (Yeh.12:7). Ketika istrinya mati tiba-tiba, ia tidak meratapinya (Yeh.24:16-18) karena diperintahkan demikian oleh Allah.

Ketiga, tulisan-tulisanya mengandung unsur-unsur yang ganjil—bahkan tak senonoh. Di pasal 16 Allah digambarkan melakukan hubungan sumbang, dan pada pasal 23 ia menggunakan bahasa erotis. Beberapa dari gambarannya sangat berbelit-belit dan sulit dicerna (Yeh. 1 dan 10). Kitabnya juga mengandung unsur-unsur yang nampaknya bertentangan dengan tulisan yang terinspirasi (Yeh.18:20).

Keempat, kenabiannya tidak menyengat—ya, lemah. (Kita akan membahasnya lagi nanti. Sebagai contoh, gambarannya yang panjang lebar tentang pembangunan kembali bait suci dan pelayanannya tak pernah terjadi.)

Namun demikian, Allah menggunakan orang yang aneh ini, boleh jadi tidak normal, menjadi pelayan-Nya sebagai nabi. Anda lihat, Allah menggunakan semua dari kita, terlepas dari kelemahan dan keanehan kita.

Renungan Pagi 13 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
13 Juni 2018

Seberkas Harapan
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22,23).

Salah satu lagu rohani yang dikenal orang berjudul “Besarlah Ya Tuhan Kasih Setia-Mu” (Lagu Sion No.89). Di tahun 1923, Thomas O. Chisholm menulis liriknya dan beberapa tahun kemudian William N. Runyan menggubah musiknya. Bagian reffrainnya menuangkan Ratapan 3:22,23 dalam bentuk lagu pujian, tentang iman. Syair dan nadanya sunggh tak mudah dilupakan.

Serangan tentara Babel di bawah perintah Raja Nebukadnezar sangat mengerikan. Jika bukan pengepungan itu, di satu sisi, yang menyebabkan kehilangan, maka dibuangnya mereka yang hidup ke Babel, di sisi lain, yang menjadi alasan untuk berduka. Dan memang benar, kitab Ratapan hampir tiada hentinya menggambarkan penghancuran yang terjadi.

“Anak-anak Sion yang berharga… dianggap belanga-belanga tanah buatan tangan tukang periuk” (Rat.4:2). “Lidah bayi melekat pada langit-langit karena haus” (ay.4). “Yang biasa duduk di atas bantal kirmizi terbaring di timbunan sampah” (ay.5). “Lebih bahagia mereka yang gugur karena pedang dari pada mereka yang tewas karena lapar” (ay.9). “dengan tangan sendiri wanita yang lemah lembut memasak kanak-kanak mereka” (ay.10). “Kami menjadi anak yatim, tak punya bapa, dan ibu kami seperti janda. Air kami kami minum dengan membayar” (Rat.5:3,4). “Mereka memperkosa wanita-wanita di Sion dan gadis-gadis di kota-kota Yehuda” (ay.11).

Bencana yang menimpa Yehuda sangatlah buruk! Demikianlah kitab Ratapan mengakhirinya dengan kata-kata yang buruk pula: “Engkau sudah membuang kami sama sekali” ay.22). Namun demikian di pasal sebelumnya (pasal 3) kita menemukan secercah harapan. Setelah hari-hari suram itu, mungkin—hanya mungkin—saat-saat yang lebih baik akan kembali. (Di dalam kitab Yeremia kita mempelajari bahwa memerlukan waktu 70 tahun—dua generasi—sebelum saat-saat yang baik itu bergulir kembali.) “Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap” (Rat.3:21).

Tetapi di manakah dasar untuk menaruh harapan itu ditemukan? Bukan pada Nebukadnezar. Bukan pada Yeremia. Bukan pada bait suci. Satu hal yang merupakan dasar yang benar adalah sifat Allah sendiri. Allah tidak dapat menahan diri-Nya untuk tidak menolong! Karena sifat, atau karakter-Nya, kita dapat melihat seberkas harapan. “Kasih-Mu kekal tak pernah berubah. Tak berkesudahan selamanya… Setiap pagi rahmat-Mu baru… Besar setia-Mu kepadaku.” Dan Ia masih sama hingga hari ini!

Renungan Pagi 12 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
12 Juni 2018

Teologi “Siapa yang Bersalah”
Laksana beruang Ia menghadang aku, laksana singa dalam tempat persembunyian. Ia… merobek-robek aku dan membuat aku tertegun” (Ratapan 3:10,11).

Kitab Ratapan penuh dengan gambaran nyata tentang TUHAN sebagai musuh umat-Nya. Kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya mengandung referensi yang sama tentang Allah sebagai penyebab bencana, penyakit, dan kematian, tetapi Ratapan kelihatannya penuh dengan referensi semacam itu.

Nebukadnezar, raja Babel, telah 3 kali menghancurkan Yerusalem: tahun 605 SM, tahun 597 SM, dan (dengan akibat yang luar biasa) di tahun 56 SM.
Dalam cara yang sama, kehancuran kota kuno itu tertanam dalam ingatan orang Yahudi seperti halnya pembasmian etnis yang dilakukan Hitler lebih dari 2.500 tahun kemudian. Kehancuran itulah yang diratapi di dalam kitab ini.

Tentu saja penderitaan semacam itu membutuhkan pembenaran, dan kita menemukannya di sepanjang kitab Ratapan. “TUHAN membuatnya merana” (Rat.1:5). “TUHAN… murka-Nya menyala-nyala!” (ay.12). “Aku dibuat-Nya terkejut, kesakitan sepanjang hari” (ay.13). “tanpa belas kasihan TUHAN memusnahkan” (Rat.2:2). “Tuhan menjadi seperti seorang seteru; Ia menghancurkan Israel” (ay.5). “TUHAN telah memutuskan untuk mempuingkan tembok puteri Sion” (ay.8). “Engkau membunuh mereka tatkala Engkau murka, tanpa belas kasihan Engkau menyembelih mereka!” (ay.21). “Aku dipukul-Nya berulang-ulang” (Rat.3.;3). “Ia menyusupkan ke dalam hatiku segala anak panah” (ay/13). “TUHAN melepaskan segenap amarah-Nya” (Rat.4:11). Dan ini: “Bukankah dari… Yang Mahatinggi keluar apa yang buruk dan apa yang baik?” (Rat.3:38).

Apa yang harus kita perbuat dengan teologi ini—bahwa ketika tiba pada bencana, penyakit, dan kematian, Allah menjadi jawaban dari pertanyaan “siapa yang melakukannya?” Apakah benar bahwa Ia adalah sumber dari penderitaan manusia—bahkan penderitaan dari umat-Nya sendiri? Khususnya sejak pembasmian etnis, kebanyakan ahli teologi akan menggemakan kata tidak. Tetapi mengapa Alkitab mengatakannya demikian?

Beberapa alasan dapat ditegakkan. Barangkali masyarakat Timur Dekat kuno tidak mengerti hubungan sebab akibat seperti yang kita ketahui. Mungkin di hadapan politeisme yang merajalela—bahkan di antara pilihan-Nya—TUHAN merasa terpanggil untuk memborong semua tanggung jawab atas semua yang terjadi untuk mempertahankan monoteisme. Dan hampir semua pertanyaan di atas tertuang dalam bahasa afektif, yang mengungkapkan dan membangkitkan emosi. Bahasa kognitiflah yang kita pergunakan untuk menyampaikan gagasan teologis dan filosofis. Sehingga tidak bijak jika kita merumuskan teologi dari ucapan-ucapan afektif, karena hal itu berada di luar fungsinya. Lebih baik kiranya jika kita membacanya dan turut berduka bersama mereka yang menderita.

Renungan Pagi 11 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
11 Juni 2018

Barometer Berkat Allah
Kami akan… membakar korban kepada ratu sorga dan mempersembahkan korban curahan kepadanya seperti telah kami lakukan, kami sendiri dan nenek moyang kami… di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem. Pada waktu itu kami mempunyai cukup makanan; kami merasa bahagia dan tidak mengalami penderitaan” (Yeremia 44:17).

Nasib Yeremia akhir-akhir ini mengerikan. Tiga kali dia dipenjara, dan sampai pada satu titik yang menghancurkan hidupnya. Untunglah, Nebukadnezar memperlakukannya dengan lebih hormat dan ramah dibandingkan raja sebangsanya, dengan memberikannya kuasa penuh untuk tinggal di mana pun yang dikehendakinya. Sekarang sang nabi ditemani sepasukan pengawal menuju ke Mesir di selatan. Pada titik inilah sekelompok pemimpin mendekatinya, dan mendesaknya untuk mendoakannya agar “TUHAN, Allahmu, memberitahukan kepada kami jalan yang harus kami tempuh dan apa yang harus kami lakukan” (Yer.42:3). Mereka berjanji, “Maupun baik ataupun buruk, kami akan mendengarkan suara TUHAN” (ay.6).

Tetapi mereka tidak menyukai nasihat yang diberikan Yeremia agar tidak menetap di Mesir dan tetap berangkat ke sana, dan bersikukuh tidak menaati nasihat Allah. Mereka menetap di kota Tahpanhes, di mana sekali lagi mereka menentang Yeremia dengan memberontak kepada kehendak Allah. Kali ini mereka dengan tak malu menyampaikan niat mereka untuk menyembah dewi Mesopotamia, Istar, yang dikenal sebagai “Ratu Surga.” (Bahwa dewi Asyur-Babel ini digandrungi di Yehuda didukung oleh ditemukannya bukti arkeologis berupa 800 arca patung di Yehuda, di mana hampir separuhnya ditemukan di kota Yerusalem sendiri).

Pembenaran bagi mereka untuk terus menyembah Istar cukup jelas: segalanya berlangsung baik bagi mereka—makanan dan kekayaan—ketika mereka menyembah dia, tetapi mereka mengalami kemalangan ketika mengubah cara hidup mereka dan menyembah TUHAN. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kita dapat mengukur kebahagiaan surgawi.

Hari ini kita mendengar hal yang serupa ketika para pengkhotbah terkenal mengkhotbahkan injil kemakmuran: Hal-hal baik akan dialami oleh mereka yang menyembah Allah karena kekayaan menjadi barometer bahwa Allah tersenyum. (Kebalikannya juga dianggap demikian: Hal-hal buruk menjadi pertanda bahwa Allah tidak setuju.) apakah dengan demikian berarti Allah sangat senang pada Bill Gates dan yayasan karitatifnya (yang bernilai $33,4 milyar) ketimbang seorang janda yang menyumbang hanya dua peser (setara $0,00176)?

Apakah asap daput yang mengepul dan rekening bank yang gemuk menjadi ukuran terbaik bagi kasih Allah? Tidak. Inilah ukuran terbaik kasih Allah—Yesus Kristus.

Sunday, June 10, 2018

Renungan Pagi 10 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
10 Juni 2018

Dalam_____________ Kami Percaya
Tetapi dengan pasti Aku akan meluputkan engkau: engkau tidak akan rebah oleh pedang; nyawamu akan menjadi jarahan bagimu sebab engkau percaya kepada-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 39:18).

Ebed-Melekh, seorang pria penyembah berhala dari Etiopia yang melayani di istana Raja Zedekia, datang menolong Yeremia. Ini adalah hal yang membutuhkan keberanian, karena secara terang-terangan bertentangan dengan perintah pangeran, yang telah memasukkan Yeremia ke dalam sumur kering yang berisi lumpur tebal. Ebed-Melekh keberatan terhadap cara mereka memperlakukan nabi Allah, dan ketika ada kesempatan, ia berkata kepada Raja Zedekia: “Ya tuanku raja, perbuatan orang-orang ini jahat dalam segala apa yang mereka lakukan terhadap nabi Yeremia, yakni memasukkan dia ke dalam perigi; ia akan mati kelaparan di tempat itu! Sebab tidak ada lagi roti di kota” (Yer.38:9).

Dengan perkenanan raja, Ebed-Melekh bersama dengan 30 pembantu bergegas menyelamatkan Yeremia. Dengan tali yang panjang dan beberapa helai pakaian, Ebed-Melekh menyuruh sang nabi menaruh kain-kain itu di ketiaknya sehingga tali tersebut tidak melukainya saat mereka menariknya keluar dari sumur. Dan dengan suara nyaring, kaki Yeremia ditarik dari dalam lumpur.

Allah kemudian melalui Yeremia memberikan pesan yang menguatkan untuk Ebed-Melekh. Ketika terjadi penyerangan Babel ke Yerusalem, Ebed-Melekh akan meloloskan diri dari tangan maut Nebukadnezar. TUHAN berjanji, “Dengan pasti Aku akan meluputkan engkau: engkau tidak akan rebah oleh pedang” (Yer.39:18). Pada kenyataannya, mengapa Ebed-Melekh tidak dibawa ke pembuangan atau kehilangan nyawanya? Karena ia menolong Yeremia? Itu boleh menjadi alasan yang tepat, bukan? Tetapi itu akan menjadi keselamatan karena perbuatan! Allah berfirman kepada Ebed-Melekh mengapa ia selamat: “Sebab engkau percaya kepada-Ku” (ay.18).

Menurut Yeremia, umat Allah menaruh kepercayaannya kepada beberapa hal. Mereka percaya pada dusta (Yer.13:25). Mereka percaya pada kota berkubu (Yer.5:17). Mereka percaya pada manusia (Yer.17:5). Mereka percaya pada dukungan tentara bangsa lain, seperti Mesir (Yer.2:36,37). Mereka percaya pada tempat kediaman Allah di bumi, yaitu bait suci (Yer.7:4). Ini adalah kepercayaan yang salah tempat, tetapi Ebed-Melekh percaya kepada TUHAN. Hari-hari ini sangat mudah bagi kita untuk percaya pada rekening bank, pada majikan kita, pada pemimpin gereja, dan pada property yang kita miliki, pada asuransi, pada pemerintah, pada penguasa, dan pada kemampuan fisik, di saat seharusnya kita menaruh percaya kepada Allah. Hanya Ia yang paling dapat dipercaya.

Renungan Pagi 9 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
9 Juni 2018

Perjanjian Baru
Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir” (Yeremia 31:31,32).
Dimanakah letak ketidaksamaan yang membuat perjanjian baru di dalam kitab Yeremia berbeda dengan perjanjian di Sinai?
Perjanjian baru menetapkan, “Musa menegaskan bahwa Allah menetapkan mereka “sebagai umat-Nya” (Ul.29:13). Di dalam perjanjian baru, Allah berkata, “Aku akan menjadi Allah mereka” (Yer.31:33). Lagi, ini pun bukan hal yang baru, karena di dalam Ulangan 29:13 (dan di tempat lain) Allah mengatakan hal yang sama.
Hmmm. Di dalam Yeremia 31 kita belajar sesuatu yang lebh jauh. Allah berjanji, “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya di dalam hati mereka” (ay.33). Barangkali itulah yang tidak sama—perjanjian Sinai, bedanya, ditulis di atas loh batu. Maaf, tentang perjanjian Sinai Allah berkata, “Sebab perintah ini [Sepuluh Perintah yang disebut “perjanjian” di dalam Keluaran 34:28], yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh… Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan” (Ul.30:11-14).
Tetapi di sini sesuatu ditambahkan untuk dipikirkan: “Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka” (Yer.31:34). Aha! Disini kita temukan sebuah perbedaan. Tetapi bukan, bukan itu nampaknya! Pengampunan telah tersedia pula di bawah perjanjian Sinai. Lagi dan lagi kita membaca pernyataan seperti “mereka menerima pengampunan” (Im.4:20).
Jadi apakah yang baru di dalam perjanjian baru ini? Perbedaan utama nampaknya ini: “Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku” (Yer.31:34).
Apapun yang baru di dalam perjanjian baru, isinya, seperti halnya perjanjian Sinai, adalah Sepuluh Perintah Allah. Ellen White menulis: “Perjanjian yang dibuat Allah dengan umat-Nya di Sinai menjadi perlindungan dan pertahanan kita” (SDA Bible Commentary, Ellen G. White Comments, jilid 1, hlm. 1103). Jadi boleh jadi perjanjian baru ini adalah perpanjangan dari yang lama. Ketaatan tidak menjadi syarat perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian itu—tanggapan penuh syukur atas anugerah keselamatan dari Allah, yang bukan merupakan legalisme.

Friday, June 8, 2018

Renungan Pagi 8 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
8 Juni 2018

Kasih Allah
Anak kesayangankah gerangan Efraim bagi-Ku anak kesukaan? Sebab setiap kali Aku menghardik dia, tak putus-putusnya Aku terkenang kepadanya; sebab itu hati-Ku terharu terhadap dia; tak dapat tidak Aku akan menyayanginya” (Yeremia 31:20).
Di dalam satu ayat ini kita menemukan kata-kata yang menggambarkan potret yang luar biasa tentang TUHAN. Kiasan yang digunakan oleh Allah tentang diri-Nya sungguh mengena sehingga bila kita memahami nuansa kata-kata-Nya, kita akan terhenyak! Sayangnya, tidak ada terjemahan yang dapat menangkap keindahan dari analogi diri yang difirmankan Allah ini.
Dengan menyebut rakyat kerajaan utara Israel yang tercerai-berai itu sebagai anak-Nya, TUHAN mengakui bahwa Ia telah mengucapkan kata-kata yang keras terhadap anak-Nya sendiri. Nayatanya, seperti orang muda yang berkepala batu, Israel telah memberontak terhadap Bapanya. Tetapi mereka lalu menyesal (ay.19), dan mengakui bahwa diri mereka tak ubahnya anak lembu yang tidak terlatih menggunakan kuk (ay.18). Sebagai hasil dari disiplin yang diterapkan Allah, mereka pun “berbalik” dan bertobat (ay19).
Allah menggambarkan rakyat yang membangkang itu dengan istilah-istilah yang penuh kasih-sayang. Mereka adalah yaqqir, “kesayangan.” Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa mereka itu berharga—bahkan bernilai tinggi—bagi Allah. Kata yang dapat diterjemahkan “mahal.” Dengan kata lain, mereka membuat Allah sakit-sakitnya hati orang tua yang penuh kasih! Lebih jauh, Allah tetap menyatakan bahwa mereka adalah “kesukaan”-Nya. Kata Ibrani yang dipakai di sini, sa’asu’im, memiliki arti kesukaan yang mendalam—sebuah sumber kegembiraan. Singkat kata, Allah memandang umat-Nya sebagai kawan bermain yang menyenangkan. Seorang penafsir Ibrani, Kimchi, mengatakan bahwa Allah menggambarkan diri-Nya sebagai seorang ayah yang bermain-main dengan anak-Nya.
Terlepas dari kerasnya disiplin yang diterapkan oleh Allah, Ia mengatakan bahwa mereka ada dalam pikiran-Nya setiap waktu. Boleh jadi dengan keras Ia mendisiplin anak-Nya yang memberontak (seperti yang biasa dilakukan para ayah di Timur Dekat kuno), tetapi tidak berarti Ia melupakan mereka. Sama sekali tidak! Ketia Ia melihat mereka disiksa oleh bangsa Asyur, “hati-Ku terharu terhadap dia.” Kata Ibrani yang dipakai di sini berarti hati yang bergejolak. Ia bergolak dan bergemuruh dalam simpati—bukan, dalam kepedihan—terhadap mereka. Serangan Asyur yang hebat bukan hanya membuat gentar bangsa Israel, tetapi juga membuat Allah membuncah dan bergetar! Demikianlah “kasih-sayang” Allah kepada mereka. Sekali lagi kita berjumpa dengan kata Ibrani yang memiliki akar-kata ‘rahim”. Seperti seorang ibu, hati TUHAN terharu diliputi perasaan sayang kepada bangsa Israel.
Hal itu benar, Allah tidak suka ketika ciptaan-Nya menderita; Ia turut berduka bersama mereka.

Renungan Pagi 7 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
7 Juni 2018

Tangisan Rahel
Dengar! Di Rama terdengar ratapan, tangisan yang pahit pedih: Rahel menangisi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi” (Yeremia 31:15).
Para pelajar Alkitab berbicara tentang “intertekstualitas.” Ungkapan itu merujuk pada penulis Alkitab yang mengutip Alkitab lainnya, dan menemukan makna “baru” untuk ayat yang dikutip tersebut kemudian menerapkannya pada konteks yang berbeda dengan yang dimaksudkan oleh penulis yang dikutip. Dengan kata lain, penulis yang satu mengutip penulis lainnya di luar konteks, hal mana merupakan “tabu” di dalam dunia akademis karena menyalahi maksud dari penulis asli.
Karena di zaman Timur Dekat kuno belum dikenal cara penafsiran Alkitab modern (ilmu dan seni menafsirkan Alkitab umumnya disebut “eksegesis”), penulis merasa bebas untuk memeras sari dari ayat-ayat yang dipilihnya.
TUHAN dalam ayat hari ini berbicara tentang Rahel yang telah lama mati, yang hancur hatinya karena kematian anaknya, seolah-olah masih hidup dan masih meratapi kehilangannya.
Sejarahnya, Rahel adalah nenek moyang suku-suku kerajaan utara Israel, yang memisahkan diri dari kerajaan Yehuda. Namun demikian, keturunannya dibuang ke pengasingan oleh Salmaneser V, raja Asyur, pada tahun 721 S.M. Belakangan, setelah Asyur jatuh di bawah kerajaan Babel, kerajaan Yehuda di Selatan juga menemui nasib yang sama. Tetapi ada harapan—bagi kedua rakyat yang terbuang. Demikianlah TUHAN memperingatkan: “Cegahlah suaramu dari menangis, dan matamu dari mencucurkan air mata, sebab untuk jerih payahmu ada ganjaran, demikianlah firman TUHAN; mereka akan kembali dari negeri musuh… Anak-anak akan kembali ke daerah mereka” (Yer.31:16,17).
Matius mengutip ayat 15 (di dalam Mat.2:17,18) untuk menggambarkan ibu-ibu yang meratap ketika Herodes yang Agung membantai anak-anak lelaki mereka dalam rangka membunuh bayi Yesus. Jelas, Alkitab melalui Yeremia merujuk kepada peristiwa yang sangat berbeda. Namun kutipan Matius yang diluar konteks tersebut tetap memelihara semangat di dalam pesan asli Yeremia, yaitu harapan di tengah-tengah kedukaan yang melanda.
Mungkin para pelajar Alkitab di masa kini harus meninggalkan kebiasaan mengutip di luar konteks yang dilakukan para penulis yang terinspirasi, dan focus pada metodologi eksegesis taat-asas sehingga dapat memberitakan dengan benar “perkataan kebenaran” (2 Tim.2:15).

Renungan Pagi 6 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
6 Juni 2018

Kejujuran Seorang Nabi
Amin! Moga-moga TUHAN berbuat demikian! Moga-moga TUHAN menepati perkataan-perkataan yang kaunubuatkan itu dengan dikembalikannya… semua orang buangan itu dari Babel ke tempat ini” (Yeremia 28:6).
Alkitab menyebutkan adanya nabi-nabi Baal. Mereka adalah nabi-nabi palsu, dan Elia telah menghajar mereka dengan hebatnya. Namun Alkitab juga menyebutkan nabi-nabi TUHAN, yang asli (Yeremia) dan yang bukan (Hananya). Bagaimana cara membedakannya (karena keduanya berbicara mengatasnamakan Allah).
Salah satu cara membedakan keabsahannya adalah dengan melihat keakuratan ramalan mereka. “apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi…, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; terlalu berani nabi itu telah mengatakannya” (Ul.18:22). “Ujian” bagi nabi ini, tentu saja, mensyaratkan penantian apakah suatu ramalan terbukti atau tidak. Tetapi bagaimana jika pesan kenabian itu menuntut pengambilan keputusan yang segera?
Lebih jauh lagi, munculnya kejadian yang diramalkan tidak selalu menunjukkan integritas seorang nabi. Di bagian lain kitab Ulangan kita membaca: “Apabila… seorang nabi atau seorang pemimpi… memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat, dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya, maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu” (Ul.13:1-4).
Yeremia menemukan dirinya berada dalam kesulitan semacam itu. Ia meramalkan bahwa tentara Babel akan membawa sebagian besar penduduk sebagai tawanan perang dan mengasingkan mereka selama 70 tahun. Tetapi Hananya, nabi TUHAN yang satunya lagi meramalkan: “Beginilah firman TUHAN…: Aku telah mematahkan kuk raja Babel itu. Dalam dua tahun ini Aku akan mengembalikan ke tempat ini segala perkakas rumah TUHAN… beserta semua orang buangan dari Yehuda yang dibawa ke Babel” (Yer.28:2-4).
Siapa yang benar? Yeremia? Hananya? Yeremia sendiri pun nampak bingung, setidaknya untuk sesaat. Apakah Hananya benar? Karena itu Yeremia menjawab penuh harap dalam ayat har ini: Moga-moga TUHAN menepati perkataan-perkataan yang kaunubuatkan itu.” Namun ternyata, Yeremialah yang menyampaikan pesan asli, dan dua bulan kemudian Hananya mati dan dikuburkan.
Tidak ada cara yang mudah untuk menguji kejujuran seorang nabi. Namun Rasul Paulus, jauh di kemudian hari, mengajarkan bahwa salah satu karunia Roh adalah “membedakan bermacam-macam roh” (1 Kor.12:10). Dibutuhkan suatu karunia roh untuk membedakan klaim-klaim kenabian.

Tuesday, June 5, 2018

Renungan Pagi 5 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
5 Juni 2018

Kesombongan
Tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku” (Yeremia 9:24).
Pada kenyataannya, para pembual seringkali tidak memiliki sebanyak yang disombongkannya. Memang ada orang-orang yang pantas untuk menjadi sombong. Namun demikian, menyombongkan diri bukanlah hal yang pantas. “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya” (Yer.9:23).
Dunia mengenal banyak orang pintar. Kita umumnya, saat berpikir tentang orang jenius, akan berpikir tentang Albert Einstein, yang benar-benar cemerlang. Dewasa ini ada Stephen Hawking, yang didera penyakit Lou Gehrig, adalah seorang jenus besar. Mensa International diduga telah menyatakan Michael Tienken sebagai orang paling pintar di dunia.
Dunia juga memiliki orang-orang bertubuh kuat. Ada yang mengatakan bahwa almarhum Louis Cyr adalah orang terkuat di dunia. Pada suatu kesempatan ia dilaporkan dapat mengangkat beban ½ ton dengan satu jari. Pada tahun 1895 beban yang bisa diangkatnya naik menjadi lebih dari 1 ton. Pada tahun 2006 seorang Amerika bernama Phil Pfister memenangkan kontes Met-RX World’s Strongest Men.
Majalah Forbes secara konsisten telah menobatkan Bill Gates, pendiri Microsoft Company, seorang yang drop-out dari perguruan tinggi, menjadi orang terkaya di dunia. Pada tanggal 9 Oktober 2007, ia memiliki kekayaan senilai $56 milyar. Pernah pada tahun 1999 kekayaannya mencapai $100 milyar. Selama beberapa tahun, Warren Buffett dari Omaha, Nebraska, dianggap sebagai orang terkaya kedua di dunia. Pada tahun 2008 Buffet menyalip Bill Gates sebagai orang terkaya, tetapi kembali disusul oleh Gates pada tahun 2009. Pengusaha Meksiko Carlos Helu pada saat itu menduduki tempat ketiga.
Kebijaksanaan, kekuatan, dan banyaknya uang, tidak menjadi pembenaran untuk sombong. Allah berfirman, “Tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku” (ay.24). Mengapa mengenal Allah begitu istimewa? Karena pribadi Allah yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi” (ay.24). Allah mengatakan bahwa “semuanya itu Kusukai” (ay.24).
Lebih jauh lagi, sungguh menyenangkan bila umat Allah meniru teladan-Nya—menunjukkan kasih setia, keadilan, dan kebenaran dalam semua tindakan mereka. Ironisnya, bilamana kita benar-benar menjadi seperti Dia yang penuh kasih, tidak dipilih kasih dan jujur, kita juga akan menjadi orang yang tidak mementingkan diri sendiri.

Renungan Pagi 4 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
4 Juni 2018

Bulan Madu Telah Usai
Pergilah memberitahukan kepada penduduk Yerusalem dengan mengatakan: “Beginilah firman TUHAN: Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya” (Yeremia 2:2).
Allah mengalami pernikahan yang bermasalah—dengan bangsa Israel. Mereka telah memasuki sebuah ikatan yang menggembirakan, tetapi sekarang ada suatu masalah yang jelas-jelas dilakukan oleh satu pihak. Allah sebagai mempelai pria tidak bercela. Tetapi sekarang… apa yang tersisa bagi Allah hanyalah kenangan masa lalu. “Aku teringat…kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun.” Ya, gurun Sinai adalah tempat yang aneh untuk berbulan madu, tetapi Allah mengenangnya dengan penuh kesedihan. (Sungguh aneh bagaimana Allah memiliki kenangan manis saat pengembaraan di gurun, sementara tingkah laku pengantin baru-Nya saat itu membuat Musa menggeram, “Bahkan kamu menentang TUHAN, sejak aku mengenal engkau” [Ul.9:24]. Nampaknya Allah hanya mengenang saat-saat tertentu saja.)
Dalam kenangan-Nya, pernikahan itu menuju kehancuran tatkala Ia membawa pengantin-Nya masuk ke Tanah Perjanjian. “Aku telah membawa kamu ke tanah yang subur untuk menikmati buahnya dan segala yang baik dari padanya. Tetapi… kamu menajiskan tanah-Ku; tanah milik-Ku telah kamu buat menjadi kekejian” (Yer.2:7). Anda hampir-hampir dapat menyaksikan Allah meneteskan air mata ketika Ia bertanya dengan hati yang sakit, “Apakah kecurangan yang didapati nenek moyangmu pada-Ku, sehingga mereka menjauh dari pada-Ku?” (ay.5).
Dalam beberapa pasal Allah mengajukan dakwaan kepada bangsa Israel, terkadang dalam bahasa yang penuh warna. Pengantin-Nya telah mendua hati. “Sungguh, mereka membelakangi Aku” (ay.27). “Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih” (Yer.3:1). “Dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu” (ay.3). “Sudahkah Aku menjadi padang gurun bagi Israel?” Ia merenung. Situasinya begitu bobrok sampai pada titik di mana Ia “memberikan kepadanya surat cerai” (Yer.3:8). Perceraian sepertinya sudah diputuskan, tanpa ada kemungkinan rujuk kembali. Namun demikian, Allah menginginkan istri-Nya yang tidak setia itu kembali. “’Kembalilah, hai Israel, perempuan murtad’… , Aku… tidak akan murka untuk selama-lamanya’” (ay.12). TUHAN beranggapan, “Pikir-Ku: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali kepada-Ku” (ay.7). “Tetapi ia tidak kembali” (ay.7). Apa yang Allah harapkan, tidak terjadi.
Pilihan kita membuat perbedaan. Ketika kita menggunakan kebebasan yang diberikan Allah kepada kita, sebuah goresan ditambahkan ke atas kanvas, satu hal yang Allah pilih untuk menanggapinya.

Renungan Pagi 3 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
3 Juni 2018

Nabi dan Imam
Inilah perkataan-perkataan Yeremia bin Hilkia, dari keturunan imam yang ada di Anatot…datanglah firman TUHAN kepada Yeremia” (Yeremia 1:1, 2).
Tidak sering Alkitab menampilkan imam dan nabi sekaligus sebagai tokohnya. Di antaranya yang memenuhi kriteria tersebut adalah Samuel, dan Yeremia. Biasanya, para imam cenderung untuk mempertahankan status religius mereka, dan para nabi cenderung mengkritisinya. Barangkali bisa dikatakan bahwa para imam itu konservatif, sedangkan para nabi progresif, bahkan mungkin radikal! Para imam menekankan pentingnya persembahan hewan korban, sedangkan para nabi menyebut perbuatan mereka hampa makna… apabila tidak disertai gaya hidup yang lurus dan adil. Tapi sebenarnya, jika seseorang sudah hidup benar, untuk apa lagi mereka perlu mempersembahkan korban?
Di satu sisi, fungsi imam yang utama adalah mewakili umat untuk menghampiri hadirat Allah—melayani sebagai pengantara bagi umat sementara mereka mengatur darah korban. (Beberapa ahi berpendapat bahwa para imam di kemudian hari pun berperan mendoakan jemaat—sebuah fungsi pengantara juga.) Di lain pihak, fungsi kenabian yang utama adalah mewakili Allah untuk menghampiri umat-Nya—melayani sebagai pengantara atau pembawa pesan Allah. Itulah mengapa kita sering membaca tulisan nabi-nabi yang diawai dengan “Demikianlah firman TUHAN…”
Yeremia menyatukan kedua peran itu dalam pelayanannya. Ia melakukan komunikasi dua arah, mewakili umat untuk berbicara kepada TUHAN dan mewakili TUHAN untuk berbicara kepada umat-Nya.
Seperti dicatat dalam bacaan tanggal 30 Januari, gembala Protestan tidak berfungsi sebagai imam melainkan nabi. Tidak, mereka tidak berkeliling sambil meramalkan masa depan, tapi itu hanyalah salah satu makna kenabian. Kenabian dapat juga—dan seringkali—merujuk pada pesan-pesan dari Allah yang disampaikan melalui juru bicara-Nya. Para pengkhotbah mendekati umat sebagai wakil Allah dengan menyampaikan Firman-Nya.
Tentu saja di dalam gereja Katolik Roma, fungsi klerus sebagai seorang imam—para pria (bukan wanita) dijalankan dengan mempersembahkan korban Misa. Gereja-gereja Katolik berfungsi sebagai bait suci, di mana tubuh dan darah Yesus yang dianggap sudah bertransubstansi menjadi pusatnya. Tetapi di gereja-gereja Protestan tidak ada mezbah tempat mempersembahkan korban Misa. Alkitablah yang menjadi pusat perhatian, sementara penginjil—baik pria maupun wanita—menerangkan dan menggunakan Alkitab di dalam khotbah mereka.
Perbedaan peran imam dan nabi membuat pemahaman dan perilaku yang berbeda pula dalam menjalankan kebaktian.

Renungan Pagi 2 Juni 2018


“POTRET KASIH ALLAH”
2 Juni 2018

Ciptaan Baru Allah
Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati” (Yesaya 65:17).
Salah satu aspek dari perjanjian yang luas dan mencakup segala sesuatu yang akan dilakukan oleh TUHAN adalah penciptaan tata dunia baru. (Bukan, bukan seperti yang diwacanakan oleh presiden Gerald Ford dan George W. Bush.) Kita menemukan penjelasannya—dengan rincian yang detil—di dalam Yesaya 65 dan 66.
“Aku menciptakan Yerusalem,” firman-Nya. Tetapi tunggu, bukankah kota itu sudah ada? Tetapi Yerusalem yang ini akan menjadi tempat yang “penuh sorak-sorak dan penduduknya penuh kegirangan” (Yes.65:18). Yang pasti, itu bukanlah Yerusalem di masa kerajaan yang murtad, atau yang ada selama pengasingan di Babel atau juga yang dibangun kembali pada zaman Ezra dan Nehemia atau yang kita dengar di siaran berita televisi. Di dalam Yerusalem yang ini “tidak akan kedengaran lagi bunyi tangisan dan bunyi erangpun tidak” (ay.19). Tidak ada Tembok Ratapan di sana!
Oh, orang-orang masih akan mati di dalam ciptaan baru ini, tetapi… “tidak akan ada lagi bayi yang hanya hidup beberapa hari” (ay.20). Tingkat kematian bayi sungguh mengerikan di Timur Dekat kuno. Setidaknya hingga abad pertama, sepertiga bayi yang lahir meninggal saat dilahirkan. Dan sepertiga dari bayi-bayi yang berhasil melewati tahun pertama mereka meninggal sebelum berusia 6 tahun. Di sini, tidak ada lagi “orang tua yang tidak mencapai umur suntuk” (ay.20). Sekali lagi, dalam abad pertama hanya segelintir orang yang mencapai usia 60. Namun di sini, “siapa yang mati pada umur seratus tahun masih akan dianggap muda, dan siapa yang tidak mencapai umur seratus tahun akan dianggap kena kutuk” (ay.20). Kepada anggota masyarakat perjanjian yang mencakup semua ini akan dipertontonkan “bangkai orang-orang yang telah memberontak” (Yes.66:24).
“Mereka akan mendirikan rumah-rumah dan mendiaminya juga; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan memakan buahnya juga” (Yes.65;21)—sebuah potret yang menggembirakan di saat banyak petani penyewa bangkrut, kehilangan harta dan rumah karena tak mampu membayar bunga yang terlalu tinggi. Selain itu, hidup akan penuh berkat, karena Allah berkata bahwa “sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawab” (ay.24).
Bahkan hewan-hewan yang bebal pun akan menikmati ketentraman ciptaan baru Allah. “Serigala dan anak domba akan bersama-sama makan rumput, singa akan makan jerami seperti lembu… Tidak ada yang akan berbuat jahat… di segenap gunung-Ku yang kudus” (ay.25).
Jelas sekali, tata dunia baru yang digambarkan di sini tidak pernah terjadi. Namun banyak orang Kristen yang mendaur ulang nubuatan ini, meskipun dengan melewatkan beberapa rincian (seperti adanya kematian), dan menerapkan selebihnya pada apa yang mereka baca di dalam Wahyu 21 dan 22.

Friday, June 1, 2018

Renungan Pagi 1 Juni 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
1 Juni 2018

Tanda Sabat
Berbahagialah orang yang melakukannya, dan anak manusia yang berpegang kepadanya: yang memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya” (Yesaya 46:2).
Di sepanjang Alkitab kita telah menjumpai sejumlah Upacara Bahagia, yaitu ayat-ayat yang biasanya diterjemahkan dengan “Berbahagialah...” Ayat kita hari ini adalah satu diantaranya—sebuah ucapan berkat bagi mereka yang memelihara hari Sabat.
Sepantasnyalah bagi orang Israel untuk memelihara hari Sabat, karena bagi mereka Sabat adalah peringatan akan kuasa penciptaan dan penebusan Allah. Tetapi kitab Yesaya menggambarkan pemelihara Sabat lainnya. Yesaya 56 berharap bahwa “orang asing” pun akan “menggabungkan diri kepada TUHAN untuk melayani Dia…dan untuk… memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya, dan yang berpegang kepada perjanjian-Ku” (ay.6). Dari ayat-ayat lain di Perjanjian Lama ditemukan bahwa orang-orang bukan-Israel, memandang diri mereka sebagai orang luar yang “tidak layak.” Di sinilah pintu terbuka bagi mereka untuk melayani TUHAN dan merayakan Sabat bersama dengan orang Yahudi. Sebagai tambahan, ayat 6 mengatakan bahwa (yang sebelumnya) orang luar ini akan menjadi pelayan-pelayan Allah, sebuah istilah yang merujuk pada kelompok imam. Dan Allah menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa “dari antara segala bangsa… akan Kuambil imam-imam” (Yes.66:20,21).
Senada dengan itu, Allah mengatakan bahwa orang-orang kebiri, yang nyata-nyata tidak memiliki keturunan dan karenanya tidak memperoleh berkat, akan “memelihara hari-hari Sabat-Ku dan…berpegang kepada perjanjian-Ku” (Yes.56:4). Allah mengatakan bahwa kepada jiwa-jiwa yang malang ini, yang didiskriminasi dalam Pentateukh, “Akan Kuberikan dalam rumah-Ku dan di lingkungan tembok-tembok kediaman-Ku suatu tanda peringatan dan nama—itu lebih baik dari pada anak-anak lelaki dan perempuan—, suatu nama abadi yang tidak akan lenyap akan Kuberikan kepada mereka (ay.5).
Menjadi jelas kiranya dalam ayat-ayat Alkitab tersebut bahwa sesuatu telah berubah—dengan drastis. Jika sebelumnya di dalam Pentateukh tanda istimewa sebagai bagian dari umat perjanjian adalah sunat, sekarang menjadi pemelihara Sabat. Hak istimewa perjanjian telah diperluas. Perjanjian telah menjadi inklusif, tidak lagi eksklusif.
TUHAN menghendaki “untuk mengumpulkan segala bangsa dari semua bahasa” (Yes.66:18) dari Tarsis, Libia, Lidia, Tubal, dan Yunani. Mereka akan tiba di Yerusalem “di atas kuda dan kereta dan di atas usungan, di atas bagal dan unta betina yang cepat” (ay.20). “Aku akan berkenan kepada korban-korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbah-Ku, sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa” (Yes.56:7).

Renungan Pagi 31 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
31 Mei 2018

Allah Ialah Ibu
Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melakukannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yesaya 49:15).
Selama berabad-abad umat Allah memiliki berbagai kesempatan untuk mencurigai bahwa TUHAN telah melupakan mereka. Selama mereka tinggal di Mesir—atas perintah Yusuf—mereka menderita sebagai budak Firaun. Pada masa hakim-hakim, berkali-kali orang Filistin menindas mereka. Di zaman kerajaan, kesulitan datang dari segala sudut—dari tetangga Kanaan mereka, dari bangsa Mesir, dari bangsa Asyur, dan dari bangsa Babel. Selain itu, teguran dan peringatan keras dari Allah telah mengantarkan dugaan bahwa Allah telah meninggalkan mereka.
Tidak mengherankan ketika ”Sion berkata: ‘TUHAN telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku’” (Yes.49:14).
Allah menjawab pikiran negatif mereka dengan membandingkan diri-Nya dengan seorang ibu. “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehinga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau (ay.15).
Setiap bulan Mei, orang-orang di pelbagai bangsa merayakan kasih ibu. Lebih dari 150 juta lembar kartu Hari Ibu dibeli setiap tahun di Amerika Serikat. Kartu-kartu itu berisikan kata-kata sanjungan yang indah tentang tinggi dan dalam serta lebarnya kasih seorang Ibu. Sungguh menyenangkan bisa menghargai kasih setia mereka. Namun, Allah mengatakan bahwa dapat saja terjadi hal yang tak terbayangkan—seorang ibu melupakan bayinya. Kendati demikian, kasih Allah kekal selamanya.
Masih ada lagi mengenai potret kasih Allah sebagai seorang ibu yang mengasihi ini. Musa mempelajari bahwa Allah itu penuh kasih sayang (Ul.30:3). Dan pemazmur menulis bahwa Allah “itu pengasih dan penyayang” (Mzm.111:4). Kita menerima pernyataan itu begitu saja; tentu TUHAN itu mengasihi umat-Nya. Apa yang kebanyakan kita tidak menyadarinya adalah bahwa kata Ibrani yang diterjemahkan “kasih” dan “sayang” itu memiliki arti “rahim.” Itu adalah akar kata yang sama untuk kata “menyayangi” dalam ayat hari ini. Seperti halnya seorang ibu yang membawa bayinya selama sembilan bulan di rahimnya hingga terbentuk ikatan yang kuat di antara mereka, demikianlah Allah membawa umat-Nya di dalam “rahim-Nya.” Hati-Nya mendambakan “anak-anak”-Nya.
Ya, kasih Allah lebih dalam daripada, bahkan kasih yang kita peringati di Hari Ibu.

Tuesday, May 29, 2018

Renungan Pagi 30 Mei 2018



“POTRET KASIH ALLAH”
30 Mei 2018

Allah Ialah Pencipta
Tetapi sekarang, beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: ‘Janganlah takut…engkau ini kepunyaan-Ku’” (Yesaya 43:1).
Salah satu tema yang banyak dijumpai di sepanjang Alkitab adalah konsep penciptaan. Dimulai dari ayat pertama Alkitab Ibrani, Allah digambarkan sebagai Pencipta, julukan yang diberikan bahkan oleh para teolog liberal. Tema ini tidak berubah hingga zaman Yesaya. Terkandung di dalam pesan-pesan sang nabi suatu pernyataan tegas tentang kuasa penciptaan dari Allah.
Berikut ini hanya sebuah contoh: “Ya TUHAN semesta alam, … Hanya Engkau sendirilah Allah … Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi” (Yes.37:16). “TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi” (Yes.40:28). “Akulah TUHAN…yang menciptakan Israel” (Yes.43:15). Aku telah membentuk engkau” (Yes.44:21). “Akulah TUHAN, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi—siapakah yang mendampingi Aku?” (ay.24). “Beginilah firman TUHAN, Yang Mahakudus, Allah dan Pembentuk Israel… Akulah yang menjadikan bumi dan yang menciptakan manusia di atasnya; tangan-Kulah yang membentangkan langit, dan Akulah yang memberi perintah kepada seluruh tentaranya” (Yes.45:11,12). “Sebab beginilah firman TUHAN, yang menciptakan langit,—Dialah Allah—yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang menegakkannya,—dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong, tetapi Ia membentuknya untuk didiami” (ay.18).
Perhatikan bahwa kuasa penciptaan dari Allah dinyatakan dengan dua cara: (1) dalam penciptaan bumi dan (2) dalam penciptaan umat-Nya, Israel. Pesan-pesan Yesaya secara bergantian merujuk kepada dua penciptaan ini. Keduanya datang dari tangan Allah yang satu dan sama—TUHAN. Dalam kenyataannya, keduanya nyaris merupakan satu pertunjukan kreativitas Allah. TUHAN menciptakan Planet Bumi, dan Ia menghendaki agar planet ini berpenghuni. Untuk itu, Ia membentuk Israel, dan mempercayakan kepada mereka suatu daerah, Tanah Perjanjian. Bangsa Israel bertindak sebagai petani penyewa, sedangkan Allah sebagai pemilik tanah, dan ketika mereka menjualnya untuk menyambung hidup, Ia akan menjadi goel dan menebus tanah itu bagi mereka, seperti yang kita catat dalam renungan kemarin.
Hari ini kita membaca ayat Alkitab tentang Penciptaan seperti pembaca sebuah buku geologi. Kita menggali penjelasan dan petunjuk tentang umur bumi. Kita mencoba memeras informasi tentang bagaimana dan bilamana ia terbentuk. Pokok utama dari semua ini, bagaimanapun, adalah sebuah pernyataan kuasa penciptaan dari Allah dengan sebuah tujuan besar—membentuk sebuah bangsa. Untuk itulah, Ia berhak memanggil mereka “umat-Ku.” Dan hari Sabat mengabadikan hal itu.